Memiliki anak seorang hafidh/hafidhah merupakan impian bagi sebagian besar orangtua yang menganut agama Islam (baca: muslim). Pencapaian tersebut tentunya tak lepas dari kecerdikan orangtua dalam memberikan pendidikan yang benar pada anak. Sebelum mulai mengajak anak menghafal dan mempelajari al-Qur’an, terlebih dahulu orangtua harus menanamkan rasa cinta dalam hati anak-anak terhadap al-Qur’ani. Sebab, itu merupakan suatu pekerjaan yang dirasa lebih sukar jika dijalani tanpa ada rasa cinta di dalamnya.
Menanamkan rasa cinta pada al-Qur’an hendaklah dimulai sejak dini (masa kanak-kanak). Mengapa demikian? Karena pada masa tersebut merupakan waktu terbaik dalam pembetukan watak yang utama. Bila sejak dini telah ditanamkan kecintaan terhadap al-Qur’an, maka benih-benih kecintaan itu akan lebih mengakar dan membekas pada anak. Bagai mengukir diatas batu. Sehingga kelak akan sangat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Maka, peran orangtua sebagai pendidik utama anak sangatlah dibutuhkan. Orang tua merupakan sekolah pertama bagi anak-anak mereka, maka tidak heran ketika karakter anak tidak jauh berbeda dari orangtuanya. Para orangtua tidak hanya bertanggung jawab dalam hal materi saja, perihal agama juga sangat penting.
Abana sudah mulai menerapkan sistem pembelajaran al-Qur’an pada HoHeMoDa (sapaan keempat anak Abana) semenjak usia mereka masih sangat belia. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba menanamkan rasa cinta terhadap al-Qur’an pada mereka dengan cara-cara tertentu. Salah satunya ialah dengan membiasakan HoHeMo dengan lingkungan yang Qur’ani. Itulah sebab Abana selalu mengajak mereka mengunjungi Darul Qalam 1 di setiap waktu mengisi kajian i’robul Qur’an atau ketika sekedar mengimami sholat jama’ah di Monash Institute.
Jika ditela’ah kembali, sebenarnya hal ini merupakan hal yang cukup sepele bagi sebagian orang. Karena sesungguhnya, penulis sendiri pernah bertanya-tanya tentang alasan Abana yang selalu membawa mereka ke Darul Qalam 1. Pertanyaan tersebut pada akhirnya terjawab sendiri oleh keadaan, bukan oleh siapa pun. Jawabannya terlihat dari proses perkembangan belajar Hokma dan Hekma yang terbilang cukup signifikan bagi anak-anak seusia mereka. Bagaimana tidak? Di usia belia tersebut, mereka sudah bisa membaca al-Quran dengan metode yang terbilang cukup rumit. Metode ini membutuhkan pemikiran dua kali lebih keras, yaitu dengan metode utawi iku. Dikatakan rumit, karena metode ini bukan sekedar membaca al-Qur’an saja, melainkan sekaligus mengidentifikasi i’rob perkata, sembari menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Tentu metode ini membutuhkan kecermatan yang lebih tinggi daripada metode yang lain. Namun, dengan lancarnya HoHe mampu mengikuti metode tersebut dengan lancar. Kemapuan mereka tidak kalah dibandingkan kemampuan I’robul Qur’an disciples. Bahkan, pernah beberapa kali abah meminta Hokma (anak pertamanya) untuk membacakan beberapa ayat menggunakan metode utawi iku di hadapan seluruh diciples ketika kajian subuh. Alhasil banyak diciples yang merasa takjub dengan cara membaca Hokma yang cukup luwes dan beraturan tersebut.
“Masya Allah sekali Hokma ini, terkadang saya merasa malu padanya. Sudah sedewasa ini, namun kemampuan I’robul Qur’an saya masih terasa rendah, berbalik dengan Hokma yang sudah cukup baik padahal usianya masih sangat muda,” ujar salah satu disciple Monash Intitute ketika penulis bertanya perihal tanggapannya kepada kemampuan Hokma.
Bentuk pengajaran al-Qur’an Abana kepada HoHe terbilang lebih tegas dibandingkan ketika mengajarkan i’robul Qur’an pada disciples. Dalam sistemnya, Abana membacakan beberapa ayat, sedangkan HoHe menyimak bacaan Abana dengan saksama. Kemudian mereka akan mengikuti bacaan Abana secara perlahan. Tidak lupa Abana memberikan peringatan jika ada keliru dalam bacaan mereka. Bahkan, ia tak segan-segan memberi sanksi kepada HoHe jikalau kesalahan mereka dalam membaca ayat tersebut melampaui batas kewajaran. Sanksi yang ia berikan tentunya bukan berarti Abana membenci HoHe, melainkan berlandaskan kasih sayang. Abana khawatir jika hanya diingatkan saja, maka kesalahan tersebut akan terus-menerus terulang.
Pencapaian tersebut tentunya tidak lepas dari pengaruh lingkungan qur’ani yang selama ini abana terapkan pada putra-putrinya. Ketika ia mengajak HoHeMo ke Darul Qalam 1, sebenarnya abana memiliki maksud mulia di dalamnya. Yaitu membiasakan mereka dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dan kebiasaan disiplin para disciple Monash Intitute. Sebab, pada usia tersebut memang merupakan masa terbaik untuk menanamkan pembiasaan diri. Abana sudah menerapkan trik tersebut bahkan ketika HoHeMo masih berusia 2/3 tahun. Bukan tanpa alasan, melainkan hal tersebut sudah terbukti dalam sebuah penelitian terkemuka. Riset membuktikan bahwa, usia 0-6 tahun ialah Golden Age yaitu masa dimana seorang anak mengalami pesatnya perkembangan otak. Dalam usia tersebut, anak akan mengalami masa tumbuh kembang yang sangat cepat. Neurotransmitter otak sedang aktif-aktifnya, sehingga mudah bagi anak untuk menyerap ajaran dari orang tua. Bahkan, hendaknya orangtua mulai mengenalkan al-Qur’an kepada anak sejak di dalam kandungan, “Karena sejak usia itulah sambungan antar neuron mulai terbentuk,” ujar Elly Risman salah satu pakar psikologi terkemuka di Indonesia.
Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadits: “Didiklah anak-anakmu dengan tiga perkara: mencintai Nabimu, mencintai ahlul baitnya, dan membaca al-Qur’an, karena orang-orang yang memelihara al-Qur’an itu berada dalam lingkungan singgasana Allah pada hari ketika tidak ada perlindungan-Nya, mereka beserta para nabi-Nya dan orang-orang suci.” Dari hadist Nabi Muhammad SAW di atas tergambar bahwa pentingnya mengenalkan al-Qur’an sejak dini. Penanaman nilai al-Qur’an sejak dini sangat diperlukan untuk mempersiapkan generasi Islam menjadi insan yang mumpuni dan dapat menjaga kelestarian al-Qur’an, sehingga seorang anak mampu membaca dan menulis, serta memahami makna al-Qur’an.
Dalam hal ini, Seorang sarjana muslim yang masyhur Ibnu Khaldun menekankan akan pentingnya pendidikan al-Qur’an sejak usia dini. Dia menegaskan kembali bahwa mengajarkan al-Qur’an kepada anak usia dini merupakan syiar agama yang juga dipraktikkan para salafussholeh. Mereka mengajarkan al-Qur’an di setiap penjuru kota, sehingga keimanan dan akidah yang benar tertanam kuat dalam diri. Al-Qur’an merupakan pondasi utama pendidikan yang diatasnya dibangun berbagai kreasi dan nilai-nilai penting lain. Tak bisa dipungkiri setiap orang tua mendambakan anak-anaknya menjadi penghafal al-Qur’an. Akan tetapi, sebagai orang tua hendaknya bermuhasabah diri dan bertanya pada diri sendiri, sudahkah menjadi teladan bagi anak? Ingatlah keteladan merupakan faktor paling penting dalam proses penanaman pendidikan anak dan menjadi dorongan utama sehingga sang anak mau belajar.
Dengan penerapan metode yang pas dan tepat, dapat membuat anak merasa ingin terus mempelajari al-Qur’an. Penanaman nilai-nilai al-Qur’an sejak dini sangat diperlukan untuk mempersiapkan generasi Islam menjadi insan yang mumpuni dan dapat menjaga kelestarian al-Qur’an. Minimal seorang anak mampu membaca dan menulis serta mampu memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
Oleh: Naila Aulia, Disciple 2019, Wakil Mentri Bahasa Monash Institute Semarang