Wawancara dengan Dr. Mohammad Nasih, M.Si., Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Rumah Tahfidh Darun Nashihah MONASH INSTITUTE Semarang
Sekolah saja, sudah sangat banyak yang melakukan. Mondok saja juga demikian. Namun, sekolah dengan tinggal di pondok dan menghafalkan al-Qur’an, itu yang masih jarang. Memang, itu tidak mudah untuk dilakukan. Perlu daya tahan fisik dan mental, juga kemampuan mengatur waktu agar semuanya bisa berjalan seimbang, sehingga lebih banyak pengetahuan berpadu untuk bisa memahami keluasan Islam.
Untuk mengetahui pengalaman yang cukup jarang itu, baladena.id melakukan wawancara eksklusif dengan Dr. Mohammad Nasih, M.Si. yang memiliki pengalaman relatif lengkap menjalani sekolah, mondok, dan sekaligus juga menghafalkan al-Qur’an. Baru-baru ini juga mendirikan Sekolah Alam Planet NUFO di Desa Mlagen, Pamotan, Rembang, Jawa Tengah, dengan program khsusus menghafalkan al-Qur’an dengan target maksimal sebelum lulus SMU sudah hafal 30 juz. Bagaimana dinamika hidup menjalani semuanya itu? Berikut petikan wawancaranya:
Baladena.Id : Abah Nasih, bisakah menceritakan sekelumit awal niat menghafalkan al-Qur’an?
Abah Nasih : “Awalnya sih ya niat, ya nggak niat. Saat niat belum kukuh itu, kadang saya hafalkan, kadang saya tinggalkan. Namanya saja belum mengerti kebutuhan. Sepertinya, itu terjadi saat saya kelas VI sekolah dasar, di MI di desa saya, Mlagen, Pamotan, Rembang. Saya mulai hafal beberapa halaman saja juz 1.”
“Bahkan, saat guru saya mengadakan sayembara, yang hafal surat Yaasiin, mendapatkan hadiah buku tebal, saya tidak begitu antusias. Sepertinya agak terpancing juga sedikit untuk berusaha menghafalkan, tetapi intinya tidak hafal total. Yang dapat hadiah buku itu teman saya. Menghafalkan surat Yaasin yang hanya beberapa halaman saja ternyata saya tak bisa. Hahahaha.”
[blockquote footer=”Abah Nasih, Mengenang Masa Lalu”]”Menghafalkan surat Yaasin yang hanya beberapa halaman saja ternyata saya tak bisa. Hahahaha.”[/blockquote]
“Untungnya, karena berbagai sebab, saya tetap sekolah diniyah sore setelah sekolah pagi. Di sekolah diniyah itu, mau tidak mau, saya berhadapan dengan teks Arab atau kitab gundul, mulai dari Nahwu, Sharaf, Fikih, Tauhid, sampai Tafsir. Karena tiap hari menghadapi itu, walaupun tidak paham, akhirnya hafal kaidah-kaidah dasar bahasa Arab.”
“Nah, ketika saya mondok di Lasem, saat sekolah MAN Lasem, kehidupan saya mulai agak berubah. Saya mulai senang membaca teks, karena di pondok ada kajian berbagai kitab yang isinya bagi saya menarik. Bangun tidur, setelah shubuh langsung disuguhi kajian Tafsir Jalalayn yang waktu di rumah sudah diajarkan oleh bapak saya, tapi kemudian saya mogok.”
“Kajian di pondok An-Nur Lasem ini massal. Peserta mendengar suara Pak Kiai yang sangat keras melalui load speaker. Sampai di seluruh pojok area pondok, bahkan sampai toilet pun suara Mbah Yai terdengar. Jadi, mau tak mau, kajian tafsir saya dengar.”
“Dan isinya mulai membuat saya tertarik. Kajian sampai pukul 06.30. Usai kajian, langsung lompat untuk makan di warung sebelah, lalu setengah berlari menuju sekolah yang jaraknya hampir 1KM. Ramai-ramai jalan kaki. Sepulang sekolah pukul 13.30, sudah ada kajian Kitab Tasawuf Tanwir al-Quluub karya Syaikh Amin al-Kurdi sampai waktu shalat ashr. Ini diikuti tidak banyak orang. Hanya beberapa santri khusus saja dan belasan santri dari pondok lain, juga beberapa warga sekitar.”
“Pukul 16.00 sampai menjelang maghrib ada kajian massal lagi. Habis maghrib, saat awal mondok itu ada ngaji Dahlan Alfiyyah dan Syudzur al-Dzahab oleh Gus Qayyum, putera Mbah Manshur yang kini menggantikah Abahnya. Habis Isya’ sampai pukul 21.00 ngaji lagi Arba’in al-Nawawi, kumpulan hadits pilihan Syaikh Nawawi dan Minhaj al-Abidin ringkasan Ihyaa’ Uluum al-Diin.”
“Dan saya ikuti semua dengan semangat. Karena itulah, segala teori yang saya pelajari di rumah ditambah di madrasah diniyah mulai aktif. Saya mulai paham maksud pelajaran-pelajaran yang dulu diajarkan oleh bapak saya. Tentu karena usia sudah bertambah dan akal sudah mulai aktif.”
“Puncaknya ketika menjelang semester I MAN berakhir, bapak saya meninggal. Saya terpukul. Saya merasa sangat kehilangan. Setelah tiga hari di rumah, karena bapak meninggal itu, saya kembali ke pondok. Malam harinya saya merenung; saya harus bisa menghafalkan al-Qur’an.”
“Akan saya penuhi harapan bapak saya. Tekad saya makin kuat. Besoknya benar-benar saya mulai. Saya manfaatkan waktu di luar waktu kajian pengasuh pesantren yang sangat sempit itu untuk menghafal. Alhamdulillah, Allah memberikan kemudahan.”
Baladena.Id : Jadi, menghafal setelah momentum bapak meninggal?
Abah Nasih : “Iya. Sebab, dulu bapak saya pernah bilang, saat marah kepada saya, karena menabrak warga kampung sebelah, katanya malu punya anak saya, karena tidak memiliki prestasi yang bisa dibanggakan. Hahaha. Inilah saatnya saya akan membuktikan. Agar bapak saya melihat saya dari alam lain. Gitulah kira-kira. Hahaha. Maka saya juga rajin ikut simaan keliling kecamatan Jam’iyyat al-Qurraa’ wa al-Huffadh Kecamatan Pamotan yang dulu ketuanya adalah bapak saya. Untuk menguji hafalan saya setelah disimak oleh ibu saya.”
Baladena.Id : Ibu hafal al-Qur’an juga?
Abah Nasih : “Alhamdu lillaah. Saya memang sering katakan bahwa orang tua hafal al-Qur’an itu modal. Namun, yang ortunya tidak hafal al-Qur’an juga akan bisa, asalkan serius. Bapak ibu yang hafal itu kan atas-atasnya juga tidak hafal to? Hahaha.”
Baladena.Id : “Jadi, kata kunci untuk bisa menyelesaikan hafalan al-Qur’an sambil sekolah itu sesungguhnya apa?”
Abah Nasih : “Yang saya rasakan sangat membantu saya adalah mengerti artinya. Itu memudahkan saya untuk mengingat ayat-ayat yang saya hafalkan. Selain itu, jika bertemu dengan kisah yang merupakan rangkaian ayat-ayat menjadi lebih mudah lagi. Isinya yang baru saya ketahui maksudnya, menambah semangat juga, karena ada ilmu baru. Karena itulah, sejak tahun 2015, anak-anak yang mau menghafalkan al-Qur’an, saya wajibkan mengerti artinya dulu, detil lengkap i’rabnya. Dengan begitu, mereka lebih mudah untuk sukses menghafalkan 30 juz.”
Baladena.Id : “Berapa lama Abah Nasih dulu menyelesaikan 30 juz itu?”
Abah Nasih : “Saya tidak ingat persisnya ya. Tapi, ya itu tadi, pertengahan tahun kelas I MAN saya mulai, dan seingat saya sebelum naik kelas III sudah selesai.”
Baladena.Id : “Wah, hanya kurang dari dua tahun ya? Cepat sekali ya?”
Abah Nasih : “Kalau saya ingat-ingat, dan saya rasakan, saya waktu itu memiliki semangat yang luar biasa. Pokoknya kalau belum menambah hafalan dan belum muraja’ah minimal 6 juz, tidak akan tidur. Bahkan seringkali, saya muraja’ah di kuburan Mbah Sambu dan Mbah Ma’shoem di belakang dan samping Masjid Jami’ Lasem. Mencari tempat yang sepi.”
“Kalau di pondok kan ramai dan pasti ada saja teman yang ngajak ngobrol. Kalau kantuk sudah tak tertahan, saya makan obat anti kantuk. Dulu yang terkenal namanya Ultrakap. Obat anti ngantuknya para sopir itu. Saya bisa tidur maksimal enam, bahkan empat jam saja sehari semalam. Bahkan saya masih ingat, suatu malam, saat saya muraja’ah di mushalla pondok, dan mungkin karena suara saya terlalu keras, Mbah Manshur mengingatkan saya dari jendela dan mengatakan: “Cung, mripat iku nduwe hak dinggo istirahat (Jawa: Nak, mata itu juga punya hak untuk istirahat)”.
[blockquote footer=”Kiai Mansur Lasem”]”Cung, mripat iku nduwe hak dinggo istirahat“[/blockquote]
“Setiap ingat kejadian ini, saya selalu terharu sampai mata saya berkaca-kaca rasanya. Semoga Allah memberikan tempat terbaik untuk beliau. Ini sering saya ceritakan pada anak-anak yang menghafalkan al-Qur’an. Bahwa semangat tinggi itu bisa mengalahkan kantuk dan lelah. Kebanyakan disuruh bangun untuk muraja’ah, ini malah saya disuruh tidur oleh kiai saya. Pokoknya saya dulu mendapatkan momentum yang memicu saya dan juga tempat yang cocok untuk memandu saya menghafalkan al-Qur’an dengan cepat.”
Baladena.Id : “Lalu merawat hafalannya bagaimana? Apalagi sekarang melakukan kesibukan yang luar biasa?”
Abah Nasih : “Nah, ini dia lagi saya dapat keberuntungan. Ibu saya kan tahu bahwa saya saat kuliah S1 kena penyakit liberal. Semoga Allah mengampuni dosa saya pada fase ini. Aamiin. Ibu saya bikin peraturan, pokoknya minimal setahun sekali saat haul bapak, saya harus simaan khataman, membaca al-Qur’an dengan disimak minimal dua orang, mulai pukul 07.00 sampai pukul 17.00. Kalau ada acara tertentu, perintah Ibu untuk melakukan hal yang sama, harus saya penuhi.
Kalau tidak, maka bisa tidak diberi uang untuk bayar SPP kuliah. Sampai walaupun kemudian saya bisa bayar SPP sendiri, kebiasaan simaan tahunan itu tetap harus saya lakukan. Pernah saya goda ibu saya untuk nyetel kaset murattal saja menggantikan simaan saya, saya dimarahi habis-habisan oleh ibu saya, sehingga saya tidak berani mengulanginya lagi.
Kalau sekarang, saya memanfaatkan waktu luang saat perjalanan. Perjalanan ke bandara atau ke stasiun setengah sampai sejam. Menunggu di bandara lebih dari sejam. Saat terbang rata-rata sejam. Menunggu antri naik atau turun, sudah lumayan. Dari bandara ke tempat tujuan bisa sejam lebih. Apalagi kalau naik kereta Semarang-Jakarta atau sebaliknya, lebih dari enam jam.
Kalau baca apalagi nulis, mata kan sakit karena masih goyang-goyang. Paling cocok ya untuk muraja’ah, karena tidak harus fokus melihat tulisan. Kalau lupa saja, lihat teksnya. Kalau satu juz butuh waktu setengah jam, kan sudah cukup itu. Jadi, sebenarnya kita sekarang ini punya banyak waktu muraja’ah lo. Apalagi bagi warga di kota-kota yang jalanannya macet. Atau setidaknya banyak buang waktu di perjalanan. *