“Cinta tidak bisa dimakan. Gombalan tidak mengenyangkan. Hidup itu butuh makan. Maka perlu harta kekayaan.” Begitu bunyi ungkapan sebagian orang yang protes dengan lelahnya hidup dalam jurang kemiskinan. Pengikut madzhab realistis juga berkeluh demikian. Lalu di mana posisi harta kekayaan untuk menjadi sebab datangnya cinta yang dialami oleh seseorang?
Cinta bisa datang karena banyak sebab; bisa karena tampang, bisa karena kebaikan, bisa karena kekayaan, bisa karena masa depan, bahkan bisa bermula dari sekedar diambilkan air untuk mencuci tangan (Abana).
Cinta disebabkan harta bisa dilatarbelakangi faktor materialisme yang ada pada diri seseorang yang sudah merasa bosan dengan hidup miskin, ingin meningkatkan derajat di mata orang sekitar, atau bisa juga karena faktor pengaruh keluarga dengan iming-ming masa depan cerah. Ia ingin mengubah masa depannya dengan instan. Kembali kepada QS. al-Adiyat: 8:
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan”.
Mengenai ayat tersebut, dalam kitab Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an dikatakan, kecintaan berlebihnya pada harta membuatnya materialistis, mengumpulkan harta dengan jalan apa pun, tidak peduli halal atau haram. Cintanya itu juga membuatnya bakhil dan cenderung menggunakannya untuk sesuatu yang tidak benar.
Al-Shahawi dalam menafsirkan ayat tersebut setelah mengomentari pendapat al-Jalalaini mengatakan bahwa cinta yang berlebihan pada harta menyebabkan seseorang menjadi kikir, yang berarti hubbu al-khair pada ayat tersebut berarti bakhil atau kikir. Ini tentu menjauh dari jalan menuju Allah swt. Naudzu billah.
Oleh sebab itu, cinta yang tumbuh sebab kekayaan harus benar-benar diteliti dan dibersihkan dari orientasi-orientasi selain Allah swt. Mencintai adalah anugrah, maka jangan campuradukkan dengan hal yang salah, supaya tidak menyebabkan masalah. Semoga cinta-cinta kita semua dijaga oleh Yang Maha Cinta, agar tetap bersih dari pengaruh. Namun demikian, harta tidak bisa dikesamping begitu saja.
Harta menjadi pilihan rasional di zaman yang makin edan seperti sekarang ini. Jangankan jaman now, pada 1932 saja, seorang perempuan bernama Hayati pernah berkata kepada Zainudin, “Engkau miskin, saya pun miskin. Hidup tak akan bahagia kalau tidak dengan uang.” Kisah cinta yang tadinya menghidupkan pengharapan berubah menjadi cinta yang mengurai pilu, (hanya) gara-gara kekayaan. Zainudin yang telah menumbuhkan cinta bersama Hayati akhirnya harus menerima kenyataan bahwa Hayati lebih memilih menuruti keluarganya untuk menikah dengan Aziz, pemuda yang lebih berharta, berkuturunan, dan beradat-berlembaga.
Pernikahan yang didasarkan pada gengsi dan kehormatan ini berakhir dengan penghiatan. Aziz memilih untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri dan meninggalkan istrinya tanpa pertanggungjawaban. Kisah yang ada dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” itu memberikan pelajaran bahwa pernikahan yang diorientasikan kepada harta kekayaan tanpa dilandasi cinta yang tulus tidak akan membawa kepada kebahagiaan. Itu soal pernikahan ya!
Sebelum masuk ke pernikahan, adakah cinta yang disebabkan oleh kakayaan? Tentu ada, dan mungkin banyak. Kebetulan contoh subjek yang ada dalam novel di atas adalah perempuan. Bagaimana dengan posisi perempuan dalam hal ini? Kembali kepada pepatah Arab:
“المرأه تصادق فيلسوفا وتحب شاعرا وتتزوج تاجرا”
Kekayaan memang menjadi daya tarik yang sangat menjanjikan kebahagian di masa depan, termasuk dalam membangun percintaan menuju pelaminan. Bagaimana dengan laki-laki? Kalau ada, sepertinya mereka menjadikan kekayaan sebagai orientasi, bukan sebab cinta. Dan ini berbahaya! Tetapi tentu ada juga, mereka jatuh cinta kepada perempuan yang kaya raya agar hartanya bisa dipakai untuk berjuang bersama, sehingga hidup pernikahan tidak dimulai dari nol. Tentu ini bagus.
Ada satu kisah nyata, seorang kawan yang berasal dari daerah Pantura Jawa, sebut saja Kamboja, menikah dengan laki-laki kaya raya bernama Si Borju, padahal ia sudah sering disakiti oleh lelaki itu. Borju sebenarnya mendompleng ayahnya yang seorang pengusaha besar. Ia mendapatkan banyak fasilitas mewah dari orang tuanya, sebut saja mobil gonta-ganti, motorpun dari yang kecil sampai yang gede ada semua, dan lain sebagainya. Borju terkenal baik karena tidak berat menghamburkan uangnya terutama dengan perempuan yang disukainya.
Kamboja sebenarnya memiliki wajah ayu, badan proporsional, dan jauh lebih berpendidikan (sedang lanjut S2) dibandingkan dengan Borju yang pendidikannya di bawah dia, plus berbadan pendek, gemuk, gelap, intinya kalau untuk ukuran “keren” zaman sekarang: “Nggak banget lah”. Bahkan sebulan sebelum pernikahan, Kamboja mendapatkan informasi kalau calon suaminya ketahuan bersama perempuan lain di hotel. Tentu saja kawan Kamboja menangis sejadi-jadinya, bingung mau melanjutkan pernikahan yang direncanakan atau tidak.
Karena undangan pernikahan mereka sudah kadung disebar, akhirnya mereka menikah. Dia terkadang mengelak, ketika ditanya apakah sebab kekayaan dia mencintai laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu. Tetapi dari kedalaman dia bercerita, sungguh sangat disayangkan dia mencintai suaminya karena kekayaan yang minus kebaikan. Cintanya membabi buta. Dia berpikir dengan kekayaan semua akan bisa diubah, termasuk karakter suaminya yang tidak baik tersebut.
Kita doakan, semoga bertambah kebaikan dan kebahagian (ziyadatu al-khair wa al-sa’adah) selalu untuk dan atas mereka. Dan keduanya dihimpun dalam kebaikan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmdzi dan Ibn Majjah:
بَارَك اللهُ لَك وَبَارَكَ عَلَيْك وَجَمَعَ بَيْكَمُاَ فِيْ خَيْرٍ
Dengan demikian, dapat dipahami, meski harta bisa menjadi sebab seseorang mencinta, tetapi ia harus diikuti oleh kebaikan. Kebaikan ini tidak hanya kerelaan melepas hartanya, tetapi juga kebaikan-kebaikan pada sendi-sendi yang lain harus dia punya. Ini untuk menjaga kesucian cinta, agar tetap diorientasikan kepada Sang Pemilik Cinta Yang Maha Cinta Allah Swt.
Dari cerita Kamboja dan Borju di atas, kita dapat membenarkan anekdot yang berbunyi: “Uang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang.” Tidak perlu memgambil contoh yang sulit-sulit, di tingkatan SMA saja dapat kita jumpai seorang mencintai sebab seorang itu kaya. Alasannya sederhana, agar kalau jam istirahat atau pulang sekolah bisa ditraktir jajan. Ini ada orang yang share pengalaman. Heu.
Lebih jauh lagi, ketika sudah menikah nanti segenggam beras dan sebutir garam pun harus bisa dibeli dari uang seorang laki-laki. Karena itu, harta menjadi sarana yang penting dan perempuan boleh mengharap ini dari calon suaminya. Pria yang belum mapan secara finansial mungkin tidak akan sanggup untuk mencukupi kebutuhan kecil seperti itu. Bisa jadi mereka hanya akan menyuruhmu bersabar. “Sabar, Dek. Mas lagi berusaha ini. Doakan terus.”
Mungkin itulah salah satu contoh kecil mengapa banyak wanita menginginkan pria mapan, karena tidak lain untuk dapat memenuhi kebutuhan. Mereka tidak mau ambil risiko untuk mencoba hidup dengan penderitaan. Namun, seorang perempuan juga boleh memilih untuk bertahan bersama laki-laki yang dipilihnya untuk berjuang demi masa depan. “DARI NOL YA, MAS,” seperti kata pelayan SPBU. Tentu butuh keyakinan dan ilmu yang cukup untuk sampai pada taraf yang demikian. Dia berpikir: “Kita akan kembali ke masa depan.”
Nah, pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan bagaimana cinta bisa disebabkan oleh (melihat) masa depan? Ini tingkatan yang sangat menarik, bahkan paling menarik. Tunggu yaa. In syaa’a Allah.
Ada sesuatu yg bikin saya penasaran, mengenai kalimat terakhir yg bang Aziz tulis.
Jatuh cinta karena kekayaannya.
Saya pernah menjumpai seorang wanita yg bisa dibilang cantik, menikah dengan lelaki yg memiliki tingkat ketampanan yang standar, hanya karena lelaki tersebut memiliki kekayaan.
😁
Ditunggu cerita lainnya, Pak Doktor.
Bagiku ini bukan cinta kak, cinta itu tingkat tertinggi perasaan, sebelumnya ada rasa kagum, suka,sayang kemudian derajat tertinggi adalah cinta itu sendiri.
Ketika aku mencintai, aku tidak akan memberikan alasan apapun. Entah itu kaya, baik, rajin, ganteng, dan sebagainya.
Maaf pak. Saya justru baru saja mengerti jika cinta itu ada sebabnya. Soalnya, setahu saya, cinta itu tidak pernah meminta apa alasannya. Sebab, ketika cinta memiliki alasan, saya rasa cinta itu tidaklah tulus kepada Allah.
Sebagian wanita ada yg mau memulai hidup susah dengan lelaki pilihannya untuk berjuang bersama..
Namun lelaki sejati tidak akan pernah membiarkan wanita yang dikasihinya hidup susah lagi menderita..