HIKMAH, KEKUASAAN, DAN KEBAIKAN YANG BANYAK

Baladena.ID/Istimewa

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.

Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an di Monasmuda Institute Semarang.

Kata hikmah yang biasanya diartikan secara sederhana dengan kebijaksanaan adalah bahasa Arab yang tidak hanya telah diserap ke dalam bahasa Indonesia, tetapi bahkan telah menjadi salah satu kata yang masuk dalam khazanah konsep politik penting kenegaraan di Indonesia. Sebab, kata ini dijadikan sebagai salah satu nilai penting di dalam salah satu sila Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia, yaitu sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Dalam sila ini, kata hikmah disebut berulang dengan makna dalam bahasa Indonesianya.

Kata hikmah kadang juga diartikan dengan filsafat. Setidaknya, itu bisa ditemukan dalam istilah hikmat al-isyraq (filsafat iluminasi) yang digagas oleh al-Syuhrawardi dan hikat al-muta’aliyah (filsafat transendetal) yang digagas oleh Mulla Sadra. Sedangkan filsafat berasal dari dua kat filo yang berarti cinta, dan sofia yang berarti kebijaksanaan. Maka filsafat sering diartikan sebagai cinta kebijaksanaan. Berfilsafat karena itu menjadi aktivitas untuk mendapatkan kebijaksanaan. Dari sini, nampak sekali benang merah antara al-hikmah, filsafat, dan kebijaksanaan.

Kata al-hikmah disebut di dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali (al-Baqarah: 129, 151, 231, 251, 269, Ali Imran: 48, 164, Al-Nisa’: 54, 113, al-Maidah: 110, al-Nahl: 125, al-Isra’: 39, Luqman: 12, al-Ahzab: 34, Shad: 20, al-Zukhruf: 63, al-Jumu’ah: 2). Paling banyak kata al-hikmah beriringan dengan kata al-kitab (ketetapan) dan tiga di antaranya beriringan dengan kata al-mulk (kekuasaan, al-Baqarah: 251, an-Nisa’: 54, dan Shad: 20) .

Hikmah yang biasanya diartikan dengan kebijaksanaan adalah isim mashdar (sumber) yang menghasilkan dua kata lain yang juga digunakan dalam khazanah politik kenegaraan di Indonesia, yaitu hukum dan hakim. Dari sini nampak bahwa kata hikmah berada dalam domain pembuatan keputusan dan juga putusan. Berarti, aspek yang dilingkupinya adalah politik dan juga hukum.

Dalam aspek hukum, kata hikmah secara paradigmatik lebih kuat memberikan pengaruh, karena kata hakim dilafalkan sama dengan aslinya. Maknanya adalah orang yang bijaksana atau pemilik hikmah. Hanya orang yang bijak atau bijaksanalah yang memiliki kapasitas untuk menegakkan hukum, termasuk di dalamnya menjatuhkan hukuman. Sedangkan, kata hukum ini digunakan secara nyaris bulat-bulat dari pelafalan aslinya dalam bahasa Arab, hukm. Seorang hakim tidak bisa menjatuhkan vonis secara hitam putih, tetapi harus melihat sebuah kasus secara komprehensif, sehingga bisa menghasilkan kebijaksanaan untuk memutuskan atau memberikan vonis secara benar, agar terhindari dari pendhaliman.

Kebijaksanaan juga sangat penting dalam ranah politik dalam konteks membangun kebijakan politik. Itulah pesan moral penting dalam sila ke-4 Pancasila. Sebab, kebijakan politik memiliki pengaruh signifikan dalam kehidupan seluruh rakyat sebuah negara.

Kebenaran yang diperjuangkan tanpa kebijaksanaan, bisa berujung kepada kegagalan, atau setidaknya hasilnya tidak optimal. Sebaliknya, memperjungkan kebenaran dengan kebijaksanaan tinggi akan mengantarkan kepada hasil yang besar. Itulah sebab, al-Qur’an menyatakan bahwa orang yang diberikan kebijaksanaan, sejatinya telah diberikan kebaikan yang banyak.

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (al-Baqarah: 269)

Kebaikan yang dihasilkan akan berlipat ganda jika kebijaksanaan diformulasikan menjadi kebijakan politik dan dieksekusi dengan kekuasaan yang efektif.  Kebijakan politik berimplikasi secara sangat luas bahkan menyeluruh karena sifatnya yang inklusif. Satu kebijakan politik bisa mengikat—dan berpengaruh kepada—seluruh warga negara. Dan dalam konteks kebijakan politik yang memerlukan perangkat, negara yang memilikinya bisa membuat seluruh warga negara benar-benar merasakannya.

وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ

… kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) kekuasaan (kerajaan/pemerintahan) dan hikmah dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. (al-Baqarah: 251)

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۖ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا

ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kekuasaan (kerajaan/pemerintahan) yang besar. (an-Nisa’: 54)

وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ

Dan Kami kuatkan kekuasaan (kerajaan/pemerintahan)nya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kemampuan menyelesaikan perselisihan dengan cermat. (Shad: 20)

Kebijaksanaan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan ketetapan, karena ada situasi dan kondisi tertentu yang jika sebuah ketetapan diterapkan, justru menyebabkan kedhaliman. Contoh kebijaksanaan yang seolah bertentangan dengan ketetapan Allah muncul dari Khalifah Umar bin Khaththab saat diangkat kepadanya kasus pencurian. Namun, setelah dilihat oleh Umar bahwa pencurian itu dilakukan disebabkan oleh keadaan terpaksa, karena kelaparan.

Karena itu, al-Qur’an memberikan tekanan khusus agar kekuasaan benar-benar digunakan secara tepat dan cermat untuk membangun aturan hukum dan menegakkannya, tidak boleh memperturutkan hawa nafsu. Sebab, hawa nafsu akan menyesatkan dari jalan Allah dan karena itu diancam keras dengan adzab yang pedih.

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Shad: 26)

Ancaman besar ini tentu saja karena implikasi kekuasaan sangat besar. Jika kekuasaan digunakan untuk membangun kebijakan yang berbasis hikmah atau kebijaksanaan dan menjalankannya juga dengan hikmah, maka implikasi kebaikannya juga besar. Tentu saja, balasan baik Allah juga besar. Sebaliknya, jika kekuasaan disalahgunakan, maka akibat buruknya pasti juga besar. Karena itulah ancaman siksanya juga besar. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *