Akhirnya sore itu datang juga setelah kurasakan penantian yang sangat panjang. Pantas saja, bagi para pecinta, penantian sama dengan siksaan. Makin panjang waktu penantian, makin berat siksaan. Padahal, rasanya aku belum jatuh cinta. Aku hanya memendam rasa penasaran. Gadis itu melewatiku begitu saja tanpa tanya nama.
Setelah shalat Ashar, aku kembali menggenjot Astreaku menuju rumah Bu Aisyah. Tak lama setelah kupencet bell, pintu pun dibuka.
“Assalaamu ‘alaikum,” kataku memberikan salam layaknya tamu.
“Wa ‘alaikum salam. Mas yang kemarin kan?” tanyanya untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Iya,” jawabku singkat sambil memberikan senyuman kecil.
Mbak Nur, pembantu asal Grobogan itu langsung mempersilakanku masuk. Aku melangkahkan kaki dengan pasti, karena sudah tahu ke mana harus menuju. Sampai di depan komputer, aku langsung menghidupkannya, lalu mencari file yang kemarin sudah kubuka.
“Oh, Mas Azam sudah datang.” Suara Bu Aisyah memecah kesunyian.
“Iya, Bu. Mumpung sedang mood,” kataku.
Jawabanku pasti dipahami oleh Bu Aisyah dengan persepsi sebagai seorang penulis yang sedang memiliki mood. Padahal, moodku kali ini bukan hanya dalam hal menulis, tetapi juga ditambah dengan rasa penasaran tentang gadis berjilbab merah yang lewat dengan gaya apa adanya.
Selanjutnya, kami bekerja dalam diam. Aku memelototi kata per kata, membetulkan huruf yang kurang atau keliru, lengkap dengan titik dan komanya. Sementara Bu Aisyah membolak-balik buku dan kitab yang ada di depannya, lalu mengutipnya.
“Oh ya, Mas Azam. Bagaimana caranya agar Rahma bisa segera ikut LK I ya?” Rupanya gadis imut berjilbab kemarin itu bernama Rahma. Berarti kasih sayang. Mungkin ungkapan rasa antara Bu Aisyah dengan suaminya. Satu hal terjawab, tanpa aku harus bertanya.
“Saya sudah bilang pada dia, agar di samping kuliah, juga aktif berorganisasi. Sepertinya dia cukup tertarik. Mumpung dia belum mengikuti aktivitas lain. Bukan Komisariat FK juga tidak apa-apa,” kata Bu Aisyah menambahkan.
“Setiap akhir pekan ini ada kok, Bu. Ini sedang musim LK. Dan Komisariat FK sepertinya sudah mengajukan penyelenggaraan LK. Lebih baik ikut LK Komisariat FK saja. Sebab, biasanya kalau FK di dekat kampus. Mereka tidak bisa jauh-jauh dari kampus. Biasanya ada praktikum yang tidak bisa ditinggalkan. Yang paling sering mereka sebut adalah praktikum anatomi. Karena itu, LK diskors sampai praktikum selesai. Baru dilanjut lagi,” kataku agak panjang untuk meyakinkan Bun Aisyah.
“Kalau begitu, lebih baik Rahma ikut yang FK saja ya. Nanti tolong Mas Azam kasih tahu Rahma dan apa saja yang harus dipersiapkannya.”
Pernyataan Bu Aisyah itu bagaikan angin segar yang berhembus keras melalui sela-sela jendela kaca yang terbuka tak terlalu lebar. Angin segar itu tidak lain adalah harapan.
“Iya, Bu. Dik Rahma masih kuliah ini?”
Aku dapat kesempatan untuk memastikan di mana gadis yang sebenarnya kutunggu kemunculannya dari balik pintu seperti kemarin atau turun tangga dari langai dua.
“Rahma kuliah. Tadi bilang, mungkin akan pulang setelah maghrib, karena setelah kuliah ada acara apa gitu.” Bu Aisyah memberikan kepastian yang membuat harapanku bisa berjumpa kembali dengan Rahma hilang. Sebab, kalau seperti kemarin, sebelum maghrib, aku sudah disuruhnya pulang.
“Ini nanti ada tulisan yang harus diedit lagi. Habis maghrib, Mas Azam belum ada acara kan?”
Kata-kata Bu Aisyah ini membuatku kembali menemukan kesempatan. Jika aku ada acara dengan walikota Semarang sekalipun, pasti aku akan memilih untuk mengatakan belum.
“Belum ada, Bu. Sebenarnya mau ada rapat harian. Tapi ternyata banyak pengurus yang ada acara sampai malam. Mereka minta di akhir pekan saja,” kataku meyakinkan.
“Ya sudah, kalau begitu, Mas Azam nanti maghrib di sini saja. Di dekat ruang tamu ada tempat shalat kecil. Agar setelah shalat nanti bisa langsung melanjutkan editing. Syukur-syukur bisa langsung selesai. Kalau belum bisa selesai, ya tidak usah dipaksakan. Bisa dilanjut besok,” kata Bu Aisyah yang membuat harapanku makin besar. Ya, harapan bisa ngobrol dengan Rahma, gadis berjilbab merah cerah kemarin itu.
***
Adzan maghrib berkumandang. Bu Aisyah memintaku untuk mengakhiri pekerjaan dan segera shalat. Setelah menunjukkan sebuah kran di depan sebuah kamar mandi di bagian tengah rumah, juga tempat shalat di dekat ruang tamu, Bu Aisyah meninggalkanku. Tentu untuk shalat juga di kamarnya. Aku mendengar beliau memberikan perintah dengan halus kepada pembantunya.
“Mbak Nur, tolong siapkan makan untuk Mas Azam. Seadanya saja. Masih ada telur di kulkas yang saya beli kemarin, kok,” katanya.
“Nggih, Bu,” jawab Mbak Nur dengan bahasa Jawanya yang medok.
Aku langsung bertakbir. Mestinya setelah takbir itu, aku menganggap semua urusan dunia ini kecil. Hanya Allah saja yang besar. Namun, pikiranku malah teringat kepada perkataan Bu Aisyah bahwa Rahma akan kembali kira-kira setelah maghrib. Jangan-jangan dia datang pada saat aku shalat. Shalatku jadi tidak khusyu’. Pikiran melayang-layang. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga untuk kukendalikan, tetap saja melayang.
Tiba-tiba terdengar suara mesin mobil masuk halaman. Tak lama kemudian, bell berbunyi. Mbak Nur rupanya sudah hafal suara mobil yang datang itu, sehingga sebelum bel berbunyi, dia sudah berada pada posisi sejajar denganku. Tak sampai setengah menit kemudian, terdengar suara kunci diputar, lalu menyusul bunyi deritan pintu.
“Dekat tol sana hujan, tapi sini enggak sama sekali.” Terdengar suara yang sama dengan gadis berjilbab merah kemarin.
“Tadi gluduk sebentar. Tapi terus ilang,” kata Mbak Nur.
Percakapan mereka membuat shalatku makin tidak khusyu’. Apalagi ketika keduanya masuk dan pada posisi sejajar dengan posisi shalatku.
“Eh, ada laki-laki. Mbak Nur kok nggak kasih tahu. Untung jilbab tidak kucopot,” katanya dengan nada ada tawa kecil di dalamnya.
Nampaknya Rahma kaget melihatku shalat di rumahnya. Mungkin dia tidak melihat motorku di sisi paling kanan halaman. Memang agak di pojok, dan mungkin di luar juga sudah agak gelap. Terlebih warna motorku hitam. Kalau dia melihatnya, mestinya dia sudah tahu bahwa ada aku di dalam rumah. Sebab, kemarin sudah ada tanda yang sama saat dia datang.
Setelah shalat, aku tidak langsung beranjak. Aku tetap duduk, karena belum tahu apa yang harus kulakukan. Beberapa menit kemudian, barulah terdengar suara Bu Aisyah menanyakan kepada Mbak Nur tentang keberadaanku.
“Mbak Nur, Mas Azam di mana? Sudah selesai shalat kan?”
Aku langsung mendekat ke sumber suara. “Sudah, Bu,” jawabku setelah melewati pintu ruang keluarga.
“Ayo makan dulu, Mas. Apa adanya ya. Jangan sungkan-sungkan,” kata Bu Aisyah.
“Iya, Bu,” jawabku yang bingung juga mau mengatakan apa lagi.
Aku duduk di sebuah kursi dengan sandaran tinggi sampai ke tengkuk. Di atas meja sudah ada sayur berkuah dengan telur dadar dan kerupuk bandung. Aku mengambil nasi di dalam rice cooker dan menambahkan sayuran campur-campur yang berkuah. Pada suapan pertama, aku agak kaget. Sebab rasanya menurutku aneh. Ada manisnya. Lidahku lidah orang Pantura yang biasa dengan sayur dengan rasa asin tanpa manis sama sekali. Di rumah inilah pertama kali aku merasakan sayur berasa manis.
“Rasanya manis ya, Mas? Ini yang bumbuin ibu. Ibu kan orang Yogya,” tanya Mbak Nur yang tidak membutuhkan jawaban. Bu Aisyah lahir dan sampai kuliah di Yogyakarta.
Untung ada krupuk bandung dengan rasa asin yang cukup kuat. Beberapa suap kumasukkan ke dalam mulut dengan agak memaksakan diri, sehingga aku makan agak lambat. Sampai terdengar suara pintu di bagian belakang rumah dibuka. Rahma muncul dengan pakaian rumahan dan jilbab instan. Aku melihat penampilannya yang jauh lebih apa adanya. Dan menurutku memang gadis ini menarik karena penampilannya yang apa adanya.
“Nok, tanya Mas Azam, apa yang mesti kamu persiapkan untuk ikut LK I,” kata Bu Aisyah kepada Rahma yang sudah berdiri di dekat meja makan.
“Katanya di training itu ada pembongkaran keyakinan ya, Mas? Kata senior-senior ngeri.”
Rahma langsung bertanya tanpa rasa sungkan kepadaku yang baru dua kali muncul di rumahnya.
“Ya istilahnya jangan pembongkaran, agar tidak ngeri. Tepatnya pembaruan pemahaman, agar kalau sebelumnya tidak benar, bisa dibetulkan,” kataku dengan gaya akrab dan berusaha semaksimal mungkin agar dia tertarik untuk benar-benar mau ikut.
Bincang-bincang di ujung makan itu membuatku mendapatkan kesempatan untuk menanyakan sesuatu yang sangat penting.
“Nomor HP Dik Rahma berapa? Nanti kukasih kabar kalau ada info tentang LK-LK,” kataku bermuatan modus.
Dengan ringan saja menyebutkan nomor HPnya. Aku mencatatnya dengan sangat antusias penuh kebahagiaan. Misi berhasil. Nomor HP yang baru saja kucatat adalah modal awal. Dengan modal itu, aku akan mendapatkan banyak kesempatan untuk bertahta di hati Rahma.
(Bersambung)
Oleh: Mohammad Nasih, Pengumpul Fatwa Cinta