Senja kali ini penuh dengan mendung pekat, disertai derai rintik hujan selama hampir tiga puluh menit. Mendung masih berputar-putar. Setelah ratusan hari terakhir, akhirnya bulir-bulir yang dirindukan mengguyur sepetak tanah yang kerontang. Tanganku tak henti kusentuhkan pada tetes-tetesnya. Tak henti panca aromaku menari menjajaki setiap sudut bau tanah basah.
Hujan selalu ajaib, seperti mesin waktu yang tak bisa dibendung untuk berputar mundur. Ini hujan pertama di di desaku semenjak kepulanganku seminggu lalu. Bebal sekali aku ini, malah menjebakkan diri dalam pusaran keping di pinggiran petak persawahan saat itu. Hujan pertama, di atas gubuk tua. Meneduh serampangan. Aku berdiri di gubuk kosong, seperti biasa mulutku selalu menggerutu. Sambil sesekali mengumpat karena notif darimu tak kunjung mengambang di layar ponselku.
Maka aku harus apa jika kita terus menerus seperti ini, saling serang antarkubu? Merasa menjadi objek yang paling merugi. Merangkul kebisuan namun ingin yang paling dimengerti. Kita ini sama-sama penganut gengsi. Egoisme tingkat tinggi.
Seharusnya aku memulai dengan menghentikan rasa lebih terhadap harapku. Mengadaptasi keadaan bahwa kecewa bukan untuk dipelihara. Merapal ampun untuk segera mengikis penyakit hati dalam jiwa.
Senja seolah mengiba bahwa setiap setelahnya hanya ada satu jepit rindu yang kembali terhimpit. Karsa dan aroma sendu semakin lupa sebab dia telah diperbudak karenanya.
Seperti laut yang nampak tak berujung, lalu untuk apa pelabuhan dibangun jika bukan sebagai pangkal, meski hanya untuk singgah. Tak semua rindu dapat dibayar tuntas, seperti kuku yang habis dipangkas. Boleh jadi aku hanya meminjammu dari seseorang.