Siapa yang tidak pernah mendengar nama Raden Fattah? Atau menurut lidah orang Jawa menjadi Raden Patah. Atau yang biasa disebut Panembahan Jin Bun. Ia adalah pemimpin pertama Kesultanan Islam di Jawa. Dengan bekal keilmuan Islam yang mapan dari Sang Guru, Sunan Ampel, ia menanamkan panji-panji Islam dalam wadah yang kuat, yaitu kekuasaan Islam. Bersama Dewan Penasihat Kesultanan, Dewan Walisongo, ia berhasil memindahkan cahaya kejayaan surya Majapahit menuju bumi Islam Demak Bintoro.
Pada tahun 1448 M/ 1370 S Raden Fattah kecil lahir di Palembang dengan nama Raden Hasan. Demikian nama yang diberikan oleh ayah tirinya, Swan Liong/Arya Damar, yang merupakan penguasa Palembang. Sedangkan ibunya, Putri China Sie Tien Nio/ Siu Ban Ci, memberikan nama Raden Yusuf. Kakek Raden Fattah dari pihak ibu adalah Syaikh Bentong, seorang pendakwah Islam asal negeri Champa. Lalu siapa ayah kandung Raden Fattah?
Raden Fattah merupakan putera dari Kertabhumi/ Brawijaya V Kerajaan Majapahit dengan Putri China Sie Tien Nio/ Siu Ban Ci. Konon, Kertabhumi sangat mencintai Siu Ban Ci. Oleh karena itu, Rajasawardhana, kakek Raden Fattah, menghadapi ancaman dari para konspirator Dewan Sapta Prabu. Para konspirator ini mengganjal Rajasawardhana untuk menaiki tahta Majapahit, bila Kertabhumi tetap beristeri puteri China yang beragama Islam. Kertabhumi berpisah pada 1447 M dan menyerahkan Putri Siu Ban Ci kepada sahabatnya Swan Liong/Arya Damar di Palembang. Akhirnya, setahun setelah kelahiran Raden Hasan, Swan Liong memperistri Putri Sui Ban Ci.
Raden Fattah belajar agama Islam sejak belia bersama adiknya, Raden Husain. Sekitar tahun 1459 M, pada usia 11 tahun, Raden Hasan diarahkan oleh Swan Liong untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan agama Islam di pulau Jawa. Di sana ia menyantri kepada Sunan Ampel Denta. Sunan Ampel menggembleng Raden Fattah dengan ilmu-ilmu ajaran Islam, termasuk pentingnya menghormati orang tua (birr al-walidain).
Pada tahun 1388 S/1466 M, saat Raden Hasan/ Jin Bun berusia 18 tahun, dan masih dalam pendidikan di Pesantren Ampel Denta. Ayah kandung Jin Bun, Kertabhumi selaku pewaris tahta, berusaha mengambil hak tahtanya yang telah direbut oleh Bhre Pandan Salas. Sunan Ampel, guru Raden Hasan mengetahui ketidakadilan itu, meminta santrinya Raden Hasan untuk membantu ayahnya Kertabhumi di Majapahit, menegakkan keadilan, dengan memperjuang-kan menjadi Raja Majapahit, walau ayah kandungnya saat itu masih beragama Hindu. Akhirnya, Kertabhumi berhasil merebut kembali tahtanya dan ia memberikan kawasan hutan Glagah Wangi sebagai hadiah kepada anak kandungnya.
Selang beberapa waktu, setelah pulang dari menuntut ilmu di Malaka, Raden Fattah membuka hutan Glagah Wangi bersama beberapa santri Pesantren Ampel Denta. Karena berhasil membuka hutan, Raden Hasan digelari Raden Fattah (arti Fattah bhs Arab adalah membuka) oleh Sunan Ampel. Setelah pembukaan hutan Glagahwangi selesai, Raden Fattah bermukim di suatu daerah yang disebut dengan Rowo Bathok. Semenjak Raden Fattah mukim di Rowo Bathok banyak warga masyarakat datang untuk belajar ilmu agama Islam di rumahnya, yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya, dan Raden Fattah pun mendirikan pondok pesantren. Wilayah hutan Glahgahwangi selanjutnya telah dibuka untuk pemukiman dan pesantren, maka semakin ramai dan kemudian atas ijin ayahnya, wilayah itu kemudian dilepas dari Jepara.
Raden Fattah telah berhasil mendirikan pemukiman yang ramai dan makmur serta pondok Pesantren Glagah Arum pada tahun 1476 M/ 1398 S dengan jumlah para pemuda santri 2000 (Khafid dan Pujo, 2008: 40). Sehingga dengan jumlah santri tersebut bisa mendirikan jamaah shalat Jum’at sendiri. Berita tentang hal ini terdengar sampai di keraton Majapahit.
Sementara itu para Adipati Majapahit yang beragama Hindu dengan semangat melaporkan bahwa mereka mengkhawatirkan Raden Fattah melatih para pemudanya. Pejabat Majapahit menyangka mereka nantinya akan melakukan pemberontakan kepada Majapahit. Sebaliknya Brawijaya V bangga mendengar laporan keberhasilan anaknya dan lebih senang lagi karena daerah Bintoro Demak maju dengan pesat dan bandar lautnya semakin ramai dikunjungi pedagang-pedagang. Brawijaya V mengangkat Raden Fattah menjadi Adipati Anom Bintoro Demak (1477 M/ 1399 S) saat usianya 29 tahun, ditandai candra sengkala Kori Trus Gunaning Janmi (Khafid dan Pujo, 2008: 43).
Dalam perjalanan waktu, pemerintahan Kertabhumi masih menghadapi kekacauan, banyak Adipati yang gugur, namun tidak sedikit Adipati yang memisahkan diri dari kekuasaan Majapahit. Pandan Salas yang diturunkan tahta oleh Kertabhumi melarikan diri dan hanya sebagai Adipati Keling Kediri. Namun Pandan Salas sebenarnya masih ingin menguasai kembali Majapahit, namun gagal sampai tahun 1471 M, Majapahit belum juga dapat dikuasainya, dan menyerahkan cita-cita pada anaknya, Girindrawardhana. Girindrawardhana berusaha mempersatukan kembali seluruh wilayah Majapahit yang sudah terpecah belah.
Girindrawardhana mempersiapkan pasukan perang untuk menyerang pusat Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Pada 1478 M, ribuan pasukan perang Girindrawardhana menyerang Majapahit. Setelah terjadi peperangan, akhirnya pada tahun 1400 C/1478 M, Girindrawardhana berhasil merebut kembali tahta Majapahit dan mengalahkan Bhre Kertabhumi (Brawijaya V). Runtuhnya Majapahit masa pemerintahan Brawijaya ke V terjadi pada tahun 1400 C/1478 M ditandai candra sengkala Sirna ilang Kertaning Bumi (Akasah,2016: 12).
Setelah mendengar kekalahan Bhre Kertabhumi, kadipaten Bintoro Demak segera melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Raden Fattah segera mempersiapkan kekuatan untuk menuntut balas dengan menyerang Prabu Girindrawardhana. Menurut Naskah Tradisi Cirebon, pada 1481 M/ 1498 S, pasukan gabungan Raden Fattah Adipati Anom Bintoro Demak dalam jumlah sangat banyak menyerang keraton Majapahit. Pasukan Demak menggunakan siasat perang dengan gelar Supit Urang dan pasukan kadipaten Bintoro mengepung keraton Majapahit selama 10 hari. Girindrawardhana yang keturunan Erlangga menyerah karena pengepungan itu dan Majapahit ditaklukkan pada 1481 M oleh pasukan Demak. Maka selanjutnya segala pusaka legitimasi kebesaran Majapahit dibawa ke Demak dengan menggunakan tujuh muatan kuda (Mulyana, 2008: 76).
Pada tanggal 10 Besar pasukan Majapahit di bawah Girindrawardhana menyerah tanpa syarat. Untuk memperingati kemenangan pasukan Demak mengalahkan pasukan Majapahit, maka setiap tanggal 10 Besar/ 10 Dzulhijjah diadakan peringatan Grebeg Besar. Setelah para wali dan Raden Fattah menyepakati hari Senin (Soma) Kliwon malam Selasa Legi tanggal 11 malam 12 Rabiul Awal 860 H/ 16 Mei 1482 M/1404 S dengan sengkalan Warna Sirna Catur Nabi, maka Raden Fattah selaku Adipati Bintoro dinobatkan menjadi Sultan Bintoro Demak tanpa Sunan Ampel (w.1478) (Mulyana, 2008: 76). Wa Allaahu a’lamu bi al-shawaab.
Oleh: Agusti Alfi Nurul Insani, Mahasiswa Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Walisongo Semarang.