Perselingkuhan menjadi bahan perbincangan yang sangat marak dan menarik. Sebab, perselingkuhan tidak hanya dilakukan oleh pihak laki-laki saja, tetapi perempuan di setiap golongan juga melakukannya.
Pengertian perselingkuhan menurut Vaughan, salah satu anggggota Alpha Kappa Alpha, perkumpulan perempuan Afrika-Amerika adalah keterlibatan seksual dengan orang lain yang bukan merupakan pasangan resminya. Data yang diperoleh Hawari (2002) menyebutkan bahwa perselingkuhan yang terjadi di Jakarta, 90% dilakukan oleh suami dan 10% dilakukan oleh istri. Ia juga mengemukakan suami mulai berselingkuh ketika usianya diperkirakan 40 tahun.
Kasus perselingkuhan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun di kota-kota kecil juga sering terjadi. Masalahnya, berita tentang perselingkuhan ini sangat mudah tersebar dan sangat menjadi sorotan di kota besar karena segala sesuatu lebih transparan termasuk dalam hal norma.
Menurut Debbie Layton-Tholl, seorang psikolog, perselingkuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah menikah pada dasarnya tidak semata-mata didasarkan pada kebutuhan untuk mencari kepuasan seksual. Alasan yang terakhir di sebut itu malah mempunyai persentase terendah dibandingkan dengan alasan yang lain. Alasan paling besar dan kuat yang mendorong perilaku orang untuk selingkuh 90% karena tidak terpenuhinya kebutuhan emosional dalam hubungan antara suami istri. Kebutuhan seksual bukanlah menjadi alasan pertama dan utama, tapi justru muncul setelah terjadinya kehancuran emosional dalam kehidupan perkawinan seseorang karena orang tersebut mencoba mencari orang lain yang dapat memenuhi kebutuhan emosional. Jadi, perilaku seksual yang sering mewarnai affair atau pun perselingkuhan sebenarnya merupakan sarana untuk memelihara dan mempertahankan affair tersebut, dan bukan menjadi alasan utama.
Ramainya kasus perselingkuhan memang sudah banyak menjadi bahan perbincangan publik dan faktanya tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kekerasan.
Kecekatan polisi dalam menanggapi pengaduan dan peningkataan jumlah kasus yang ditindaklanjuti merupakan salah satu kemajuan yang perlu dicatat dalam penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kekerasan dalam rumah tanggga (KDRT) ini sudah sangat sering didengar di mana-mana. Kebanyakan, kasus ini sering dialami oleh perempuan (istri) dan anak-anak karena mereka dianggap lemah oleh sebagian laki-laki (suami). Oleh karena itu, peran negara dan masyarakat sangat diperlukan untuk melindungi dan membantu korban KDRT ini.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terdapat dalam UU No.23 Tahun 2004, bagi pelaku KDRT terdapat ancaman pidana baik itu denda maupun hukuman penjara, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat berupa kekerasan psikis, fisik, seksual, serta menelantarkan rumah tangga.
Kasus KDRT adalah perbuatan yang kurang baik, di mana perempuan dan anak-anak seharusnya dijaga dan disayangi, malah diperlakukan yang tidak wajar dari laki-laki (suami). Pelaku KDRT ini sudah seharusnya mendapatkan hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang telah dia lakukan.
Seperti yang terdapat dalam UU No 23 Tahun 2004 pasal 44 ayat 1 yaitu orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga akan di pidanha penjara 5 Tahun dan denda Rp.15.000.000.00 (lima belas juta rupiah).
KDRT ini juga termasuk perilaku yang melanggar HAM karena setiap manusia memiliki HAM dalam berbanggsa dan bernegara. Selain itu, KDRT juga telah melanggar sila ke-2 pancasila. Oleh sebab itu, KDRT harus benar-benar dihapuskan untuk melindungi korban dan menyadarkan pelaku. Kekerasan yang sering terjadi dalam rumah tangga ada banyak. Diantaranya adala faktor ekonomi dan kepribadian dari pelaku kekerasan itu sendiri.
KDRT berdampak negatif bagi korban, misalnya korban KDRT selalu menyalahkan diri sendiri, selalu menyendiri, takut berkomunikasi dengan orang lain, tidak percaya diri, selalu merasa tidak enak, serta trauma yang dialami oleh perempuan membangun kembali sebuah keluarga.
Perselingkuhan dan kekerasan dapat menimpa siapa saja. Namun, yang sering mengundang perhatian masyarakat setempat adalah perselingkuhan dan kekerasan yang menimpa perempuan. Menurut Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan, tingkat kekerasan yang dialami perempuan Indonesia sangat tinggi. Sekitar 24 juta perempuan atau 11,4% dari total penduduk Indonesia, pernah mengalami tindakan kekerasan dan perselingkuhan. Perilaku kekerasan yang sering dialami oleh perempuan Indonesia adalah kekerasan yang terjadi dalam ranah domestik, misalnya pelecehan, penganiyayaan, pemaksaan, bahkan perselinkuan juga dianggap sebagai salah satu bentuk kekerasan. Namun, tidak menutup kemungkinan pula dalam ranah publik perempuan tidak mendapat tindakan kekerasan.
Perselingkuhan dan Kekerasan
