Dalam zaman pembangunan ini kita merasakan silih bergantinya stress dan eustress. Stress yang terlalu banyak berakibat jiwa tertekan, mendorong terwujudnya akibat-akibat negatif. Sesekali muncul juga eustress. Jiwa terasa plong alias senang dan bahagia rohani-jasmani, meski belum mampu mengobati stress yang bertubi-tubi. Dulu, ketika nenek moyang kita masih hidup di gua-gua dan hutanpun, menghadapi stress berupa harimau-harimau bertaring tajam nan bengis yang selalu mengintai dan siap menerkamnya.
Kini stress yang kita hadapi adalah pemakan mangsa yang lebih bengis lagi, berbentuk pekerjaan yang dirancang secara jelek. Atau ketidakselarasan lingkungan kerja. Ingin menang bersaing, ingin Indeks Prestasi atau Indeks Prestise yang tinggi, dan serba keinginan yang lain, yang di luar kemampuan diri akan berubah bentuknya menjadi stress. Entah stress yang berasal dari pekerjaan rumah, pekerjaan organisasi/kantor/lembaga, atau lingkungan.
Ketika stress itu hadir kepada diri kita, maka kita menjadi terangsang, tanggap, dan bereaksi. Pada tahap tanda bahaya, stress telah mengganggu seluruh sistem tubuh kita. Tekanan darah naik, nafas mendengus, otot dan saraf menjadi tegang, biji mata melotot dan membesar. Dan pada tahap berikutnya kita melakukan perlawanan terhadap kehadiran stress, sehingga kita merasakan kelelahan, kegelisahan, dan ketegangan apabila pertahanan kita lemah. Konsentrasi kitapun buyar. Ilham macet. Sampai akhirnya kita tiba pada tahap kelelahan yang sangat ketika kita terus menerus terkena stress yang sama dan sejenis. Sistem pertahanan diri kita untuk menentang atau menyesuaikan diri menjadi lelah selelah-lelahnya. Barangkali benar, siapa saja di antara kita, aku, atau anda, makin kerap dan frekuensi tinggi terkena tanda-bahaya, melakukan perlawanan dan kelelahan karena stress yang berasal dari pekerjaan atau bukan pekerjaan, atau interaksinya, makin mudah menimbulkan macam-macam akibat.
Boleh jadi kita menerima akibat positif, semisal: diri termotivasi dan terangsang untuk kerja lebih giat lagi. Atau mendapat ilham dan inspirasi untuk memasuki kehidupan yang lebih baik. Inilah yang sebenarnya kita inginkan. Kita ingin mampu mengubah stress menjadi eustress. Dari yang negatif menjadi positif. Dari musibah menjadi hikmah hasanah. Sering, memang, kita tak mampu memanejemeni konflik antara stress dan eustress. Badan, pikiran, dan daya kemampuan lainnya yang kita miliki terbatas. Akhirnya, mau tak mau, di antara kita terpaksa menerima akibat sebagai konsekuensi dari stress yang datang sendiri atau kita cari-cari sendiri. Boleh jadi ada di antara kita yang mengalami akibat subjektif, semisal: kegelisahan, agresi, kelesuan, kebosanan, depresi/kemuraman yang rendah, perasaan terpencil, dll. Atau akibat perilaku, semisal: peledakan emosi, tertawa gelisah, berperilaku impulsif, makan-minum-merokok berlebihan, mudah terserang penyakit, atau kecelakaan penyalahgunaan obat dll.
Boleh jadi kita juga akan menerima akibat kognitif, misal: tak mampu mengambil keputusan yang baik, konsentrasi kurang, peka terhadap kecaman dan rintangan mental. Atau akibat fisiologis, seperti: kadar gula darah meningkat, tekanan dan denyut jantung naik, mulut kering, berkeringat, biji mata membesar, panas dingin berganti, susah tidur, makan terasa duri dan minum pun terasa lilin. Dan akhirnya kita akan mengalami akibat keorganisasian/kelembagaan, yakni: kemangkiran (bolos/malas), produktivitas rendah, mengasingkan diri dari teman sekerja, ketidakpuasan kerja, menurunnya keterikatan atau loyalitas terhadap organisasi atau lembaga atau kantor atau cita-cita atau idealisme, apatis alias cuek atau masa bodoh atau ketidakpedulian.
Antara Sang High Profile dan Low Profile
Akibat-akibat stress akan mudah menyerang kita terutama bila kita termasuk orang yang high profile, tapi kurang begitu ganas menyerang orang yang low profile. Kita sendiri tidak tahu pasti termasuk yang high profile atau low profile. Mungkin di antara keduanya, sesekali high beberapa kali low. Orang yang high profile biasanya mempunyai karakteristik: terus menerus keras berupaya menyelesaikan pekerjaan sebanyak mungkin dalam waktu singkat. Agresif, berambisi, bersaing, dan penuh kekuatan. Berbicara secara eksplosif, menyuruh orang lain cepat-cepat menyelesaikan perintahnya. Tidak sabar, benci menunggu yang dianggapnya merupakan pemborosan waktu berharga. Selalu berjuang keras melawan orang, barang, peristiwa, dan berbagai tantangan. Maka, konon, kita yang high profile ini apabila karakteristiknya tersebut menghadapi kendala/hambatan atau tekanan alias stress, akan harus berhadapan dengan akibat-akibat di atas.
Sebaliknya, menurut hematku, orang high profile, hendaknya didampingi oleh orang yang low profile, apakah temannya, istri/suaminya, atau sekadar sekretarisnya. Setidaknya agar ia tidak terlalu parah menerima akibat stress. Malah siapa tahu, teman, sang istri/suami atau sekretaris ini dapat menetralisir akibat-akibat buruk dari stressnya. Boleh jadi, teman atau sahabat kerja di organisasi atau lembaga tersebut sengaja dipilih yang relatif menyejukkan. Yang mampu menghadirkan ketenangan. Sehingga lembaga ini terselamatkan dari akibat negatif stress. Lembaga jangan sampai ikut terkorbankan atau terkuburkan oleh kepemimpinan atau pemimpinnya, yakni orang yang high profile, yang perfectionist, dan ambisius. Sampai di sini lalu kita bertanya pada diri kita, bagaimana kita harus menyelamatkan diri kita, rumah kita, dan lembaga kita dari stress? Stress yang terlalu ringan akan menghadirkan kebosanan, menurunnya motivasi, kemangkiran, dan kelesuan. Sementara stress yang terlalu berat akan memunculkan perilaku lekas marah, tak bisa tidur alias insomnia, meningkatnya kesalahan dan kebimbangan.
Menjemput Dewi Eustress
Aku, kami, dan kita menginginkan stress optimal yang menghasilkan amal saleh optimal, motivasi tinggi, tenaga besar, persepsi tajam, dan ketenangan batin. Maka guru kita senantiasa menganjurkan agar kita dapat menemukan diri kita kembali bagaikan santri dan orang desa yang tenang tanpa stress. Atau kita memohon agar seluruh anggota rumah kita dapat berbagi tugas dan kasih sayang. Dan technical aid atau expertise dari luar lembaga kita dalam rangka kerja samakah atau talent scoutingkah, agar cita-cita, program, dan pekerjaan dari lembaga dapat diperkaya, disusun, atau ditentukan kembali sehingga lebih bermakna, lebih menantang, dan membuahkan kebaikan-kebaikan secara intrinsik sesuai dengan harapan umat.
Adakah orang yang siap membantuku, kami, kita, dan lembaga kita? Perlukah kita mengimpor dari Boston, Baghdad, Bonn atau Bekasi? Atau dari dalam Bogor saja? Rumahku dan rumah kita boleh jadi sudah terlalu kecil untuk dijejali program muluk bagai rayuan gombal untuk mempertahankan “prinsip”. Aku dan kita barangkali terlalu kecil dibandingkan dengan besaran stress yang berasal dari dalam maupun luar lingkungan. Dan juga terlalu kecil dibanding dengan harapan eustress yang nan tak kunjung datang, bagai mimpi di siang bolong. Sementara kita masih belum beranjak dari rumah kita, dan juga eustress masih di tempat persembunyiannya, maka stress dengan bobot mati jutaan ton terus menerus memburu kita dari segala sudut dan penjuru. Sehingga akhirnya kita terkurung dalam penjara stress. Lalu berkembanglah berbagai jenis penyakit jasmani semisal jantung koroner menyempit, lever akut, alergi, dan eksim. Juga penyakit hati, antara lain saling curiga, intai mengintai, dan tuduh menuduh sudah menjadi budaya keseharian.
Boleh jadi lalu tinggal menunggu saja lonceng kematian, bagai tikus mati di lumbung padi. Tapi kita tak mau mati bagai tikus itu. Kita harus bangkit dengan melakukan redefining, restructuring, dan relocating. Rumah dan lembaga yang sedang kita bangun dan isi itu boleh jadi juga harus direconsidered, ditinjau kembali. Sekarang. Ya, sekarang juga. Usia kita senantiasa bertambah dan umur kita kian berkurang. Usia “rumah” kita sudah lebih dari setengah abad. Namun, semua itu berjalan di tempat saja. Mari kita jemput dewi eustress. Get success without stress. Wallahu a’lamu bi al-shawab.