Sejatinya, manusia diciptakan di muka bumi ini adalah untuk beribadah, sehingga tidak ada waktu selain hanya untuk beribadah. Allah SWT berfirman dalam QS Az-Zariyat [51]:56 yang berbunyi:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Az-Zariyat [51]:56)

Perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan ibadah ini cakupannya sangat luas, sebagaimana definisi ibadah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ta’ala:

الْعِبَادَة هِيَ اسْم جَامع لكل مَا يُحِبهُ الله ويرضاه من الْأَقْوَال والأعمال الْبَاطِنَة وَالظَّاهِرَة.

“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua yang Allah cintai dan Allah ridlai, baik ucapan atau perbuatan, yang lahir (tampak, bisa dilihat) maupun yang batin (tidak tampak, tidak bisa dilihat).” (Al-‘Ubudiyyah, hlm. 44)

Jika ditinjau dari segi pelaksanannya, maka ibadah itu dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu ada ibadah yang waktu pelaksaannya sudah ditentukan dan ada ibadah yang waktu pelaksaannya tidak ditentukan.

Sebut saja misalnya, sholat dan puasa Ramadhan. Inilah salah dua dari contoh ibadah yang waktu pelaksanaannya sudah ditentukan. Masing-masing dalil yang menegaskan demikian adalah QS An-Nisa’ [4]:103 dan QS Al-Baqarah [2]:185.

Allah SWT berfirman:

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ ۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

“Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa’ [4]:103)

Baca Juga  Islam dan Perubahan Sosial

شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS Al-Baqarah [2]:185).

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana hukumnya jika dua ibadah tersebut tidak bisa dilakukan di waktu yang telah ditentukan, karena ada udzur syar’i? Mengingat, di dalam Kitab Qawaidul Fiqhiyah, yaitu kaidah keempat puluh tiga telah dijelaskan bahwa:

 الْعِبَادَاتُ الْمُؤَقَّتَةُ بِوَقْتٍ تَفُوْتُ بِفَوَاتِ وَقْتِهَا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

“Ibadah yang ditentukan pada waktu tertentu tidak bisa didapatkan jika telah keluar waktunya kecuali karena adanya udzur.”

Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa ibadah yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya itu dapat dilakukan di lain waktu hanya bagi orang-orang berudzur syar’i. Namun, perlu digaris bawahi bahwa meskipun sholat dan puasa adalah dua ibadah yang waktu pelaksanaannya sudah ditentukan, cara penghukumannya bagi orang yang sakit itu berbeda.

Baca Juga  Abu Sufyan bin Al-Harits; Tak Ada Dendam

Hukum puasa Ramadhan bagi orang sakit itu boleh diganti di hari yang lain ketika sudah sehat. Ketentuan ini berdasarkan pada potongan firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah [2]: 185.

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَۗ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”

Sedangkan, hukum sholat bagi orang sakit adalah tetap melaksanakan sholat pada waktu itu sesuai dengan kemampuannya. Ketentuan ini berdasarkan QS At-Tagabun [64]:16 dan HR al-Bukhari no. 1117.

Allah SWT berfirman:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah;”

Dalam sebuah hadis dikisahkan bahwa:

كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah” [HR al-Bukhari no. 1117]

Dalam riwayat yang lain,

فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيَا وَرِجْلَاهُ إِلَى القِبْلَةِ

“Apabila tidak bisa, maka dengan isyarat, dan kakinya mengarah ke kiblat.”

Selain udzur karena sakit, udzur karena berada dalam bahaya pun diperintahkan untuk sholat pada waktu yang telah ditentukan. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah dalam QS al-Baqarah [2]:239 yang berbunyi:

Baca Juga  Audiensi PC IPNU dan IPPNU dengan Pemda Brebes

فَاِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا اَوْ رُكْبَانًا ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ

“Jika kamu takut (ada bahaya), salatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan. Kemudian apabila telah aman, maka ingatlah Allah (salatlah), sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui.” (QS al-Baqarah [2]:239)

Jadi, ibadah sholat ini adalah ibadah yang kewajibannya tidak bisa gugur selagi masih memiliki kesadaran (berakal). Dan ibadah sholat ini tidak bisa digantikan di waktu yang lain, sebagaiman puasa yang bisa digantikan di waktu yang lain. Wallahu a’lamu bi al-shawaab

Oleh: Abdurrahman Syafrianto, S.H., Guru Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen Rembang, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang, Alumnus Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.

Abdurrahman Syafrianto
Guru Mulia Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen Rembang, Alumnus Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang, Sekretaris Umum Pimpinan Daerah GPII Kota Semarang

    Bertarung dengan Rindu

    Previous article

    Tilik dan Eksistensi Perempuan Islam

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Fikih