Cinta adalah sebuah kata yang tak lagi asing di telinga siapapun, lebih khusus, penulis akan mengupas cinta yang terjadi pada kaum muda-mudi. Banyak ungkapan, bahwa cinta adalah sebuah luapan rasa tanpa logika, sebagaimana lirik lagu Agnes Monica, ‘cinta ini kadang-kadang tak ada logika…’. Pemuda adalah subjek sekaligus objek sasaran cinta. Oleh karena itu, saat serangan dan virus ‘cinta’ tersebut bersarang tepat di dada pemuda, ia akan menjadi makhluk yang paling sulit dinasehati. Layaknya orang yang telah dimabuk cinta, ia akan terus berlayar menuju dermaganya. Keberadaanya seolah misteri yang tak rasional untuk diwujudkan dalam rumpun bahasa. Sebab itu, cinta seringkali dipandang sebagai kebutuhan dan hasrat personal yang unik yang kemudian menempatkan cinta dalam wilayah privat.
Dalam pemaknaan dan definisi suatu term, tentu ada unsur yang mempengaruhi, dalam kasus ini (cinta), konstruksi sosial dan budaya adalah faktor yang mempengaruhi penentuan maknanya. Menurut Grossi, pada satu sisi cinta dipandang memiliki hubungan erat dengan patriarki dan heteroseksualitas. Hal ini terlontar, mengingat narasi tentang cinta acap kali dikaitkan dengan prokreasi, keluarga, pernikahan dan rumah tangga, juga dengan hubungan monogami dan/atau poligami dan kesetiaan. Dengan demikian, bagi perempuan, cinta dengan mudah diterjemahkan dengan menjadi seorang istri atau ibu. Di sisi lain, cinta dilihat tidak terikat dengan keharusan dan batasan sosial, sebaliknya ia terkait dengan gagasan tentang kebebasan, persamaan dan agensi.
Tradisi Yunani klasik menyebutkan, ada tiga jenis cinta: eros, philia,dan agape. Eros adalah cinta yang berbasis pada ego, philia adalah cinta persahabatan, sedangkan agape adalah perjamuan cinta–wujud cinta yang kedudukannya paling tinggi (cinta tak bersyarat, cinta tanpa batas, dan cinta yang hanya memberi tanpa berharap kembali). Kemudian, saat cinta diterjemahkan dalam kisan romantika muda-mudi, apakah ia ditempatkan pada pemaknaan yang pertama (eros)? Jika demikian maka cinta yang berbasis ego akan selalu menempatkan kedua insan (laki-laki dan perempuan) dalam dua posisi, yaitu subjek dan objek. Telah diketahui, bahwa narasi cinta dibentuk melalui jalan konstruksi sosio-budaya: di mana cinta dipandang mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan sistem patriarki dan heteroseksualitas.
Dengan demikian, cinta dalam bahasa laki-laki adalah sebuah hasrat yang menempatkan ia sebagai subjek yang melakukan ekspose pada objeknya, dengan kata lain, cinta dalam perempuan adalah jalan penyerahan diri pada pihak yang ingin menguasai dan mendominasi. Terlebih, saat menengok ungkapan jawa, perempuan disebut wanito, dengan maksud wani ditoto (berani dibentuk dan diarahkan), imbuhan kata ‘di’ adalah sebuah isyarat yang menandakan pekerjaan pasif, dikenai pekerjaan. Sebab, itu dalam tataran ini perempuan adalah objek, bukan subjek.
Menurut Simone de Beauvoir, laki-laki dapat menempatkan cinta sebagai entitas yang terlepas dari dirinya, sementara bagi perempuan cinta adalah eksistensinya. Bagi laki-laki, jatuh cinta membuat mereka menginginkan objek yang dicintainya menjadi milikinya dan mengaku diri sebagai subjek yang berdaulat untuk memiliki dan mengendalikan sang objek. Sedangkan bagi perempuan jatuh cinta adalah meleburkan diri atau menyerahkan segalanya kepada objek yang dicintai. Dengan kata lain, cinta dijadikan alat untuk melegitimasi ketidakadilan pada perempuan yang disponsori oleh sistem patriarki–tanpa sadar telah terjadi perbudakan tubuh perempuan (eksploitatif).
Ada sebuah contoh. Seorang istri tidak boleh tidur terlebih dahulu sebelum suaminya pulang, seorang istri harus se-iya-sekata dengan suaminya, dan aktivitas terhormat bagi seorang istri ialah di dapur dan di ranjang. Akibatnya, konstruksi yang dibangun lewat jalan sosio-budaya membuat status sosial lebih menghormati bentuk tubuh perempuan daripada menghargai keindahan pikirannya.
Inilah pikiran purbasangka yang kini masih dipelihara rapih dalam budaya kita: budaya patriarki. Sebagaimana hal yang sama dikatakan oleh Bell Hooks, bahwa dosa patriarki yang paling utama adalah membentuk laki-laki untuk percaya bahwa mereka terlahir untuk mendominasi dan mengontrol, sementara perempuan dibentuk untuk percaya bahwa mereka terlahir untuk didominasi dan dikontrol oleh laki-laki.
Sedangkan, dalam wikipedia, Philia (φιλία philos), adalah cinta tahap kedua. Ia adalah kecintaan luhur dan tumbuh dari hasil persahabatan mendalam sehingga menerbitkan rasa ‘kami’ atau ‘kita’. Philia tidak hanya memikirkan keinginan untuk menuntut, tetapi juga ingin memberi. Ia suatu kecintaan bermakna, melebihi sekadar sukatan material. Cinta yang diwujudkan dalam ikatan persaudaraan (ukhuwwah).
Dalam konteks kebangsaan, contohnya adalah perasaan turut merasakan penderitaan saudaranya yang tertimpa musibah, sehingga hatinya terpanggil untuk mengulurkan bantuan, baik material maupun non-material. Sedang dalam hubungan sehari-hari, saat philia ini terjalin antara laki-laki dan perempuan, laki-laki berperan sebagai subjek dan perempuan sebagai objek, maka rawan terjadi baper (bawa perasaan), sebab perhatian yang ditunjukkan terkadang disalah pahami atau menimbulkan tanya, maka berhati-hatilah dalam mengendalikan rasa.
Selanjutnya, Agape dalam bahasa Yunani, sering diterjemahkan dengan “cinta”. Nah, cinta Agape itu adalah cinta yang tak bersyarat, cinta yang tidak menuntut, cinta yang berkorban, dan cinta yang menerima apa adanya. Inti dari cinta Agape itu ialah kemauan atau kesediaan untuk terus mencintai tanpa memandang kekurangan atau kesalahan orang yang dicintai. Mencintai sang objek cinta dengan kesediaan dan kegembiraan yang disengaja. Tidak seperti kata cinta dalam kebanyakan konteks atau bahkan yang biasanya sering disalah artikan untuk merujuk kearah romantisme cinta atau seksualitas belaka, juga tidak merujuk kearah cinta philia untuk menyatakan cinta dalam bentuk persahabatan atau kasih persaudaraan.
Cinta Agape adalah cinta yang melibatkan pengorbanan penuh, kesetiaan, dan tindakan kehendak untuk memaafkan/memaklumi dan panjang sabar, bahkan dengan rela memberikan nyawa sendiri untuk orang yang dicintai. Ini adalah kadar cinta yang paling tinggi dan paling sulit untuk dilakukan karena dalam konteks definisi cinta ini adalah bentuk dari pengorbanan dan mengikis habis semua ego dan kehendak pribadi.
Dengan memiliki cinta ini (agape), maka seseorang tidak akan memposisikan perempuan sebagai objek ekploitasi dan tumbuhlah penjagaan kehormatan sebagai bagian dari dirinya, sebagaimana Islam mengajarkan bahwa perempuan adalah sebaik-baik perhiasan dunia, dengan menambahkan kata ‘shalihah’ setelahnya.
Jadi, cinta adalah fitrah dari Tuhan yang tidak berjenis kelamin, bukan menempatkan laki-laki ataupun perempuan dalam nilai tinggi rendahnya, melainkan sebagai anugerah untuk saling menebar kasih dan sayang (rahmah), hingga menghadirkan ketenangan (sakinah) dengan bekal cinta (mawaddah). Wallahu a’lamu bi al-shawaab.