Setiap orang berhak memilih jalan hidup sendiri. Kemana akan pergi, dengan siapa akan menjalani kehidupan, dan apa yang akan dilakukan. Setiap orang berhak untuk menjadi apa yang mereka inginkan dan cita-citakan di masa depan. Bukan hanya itu, mereka berhak memiliki harapan-harapan yang ingin terwujud serta pekerjaan yang ingin mereka lakukan di masa depan.
Sama halnya dengan Dr. Mohammad Nasih, dia juga memiliki jalan hidup sendiri. Pilihan hidup Nasih adalah menjadi seorang pengajar. Namun dalam hal ini, Nasih berbeda dengan pengajar yang lain. Sebagai seorang pengajar, Nasih melaksanakannya dengan kesungguhan hati. Karena dalam pandangannya, belajar paling efektif adalah dengan mengajar. Saat mengajar, dia mendapatkan hal-hal baru yang menambah pengetahuannya, sehingga pengetahuan yang dimilikinya semakin luas.
Dalam mengajar, paradigma Nasih dipengaruhi pemikiran Socrates, “Pendidikan itu mengobarkan api, bukan mengisi bejana.” Jika seorang guru menjadikan muridnya sebagai bejana lalu mengisinya, maka suatu saat akan terhenti karena pelbagai hal. Berbeda dengan mengobarkan api, maka api itu akan semakin besar dan melahap semua yang dilewatinya. Menghilangkan rasa malas, meluluhlantakkan kebodohan, agar tercapai kehidupan yang didambakan.
Di Monash Institute -rumah perkaderan yang Nasih dirikan pada tahun 2010 di Semarang- Nasih selalu menekankan kepada anak-anak ideologisnya untuk bisa menikmati jalan yang sulit lagi mendaki, jalan yang Nasih tempuh selama ini. Lalu, apa itu jalan sulit lagi mendaki? Jalan sulit lagi mendaki ialah jalan yang di dalamnya terdapat pelbagai perjuangan yang mesti dilakukan dengan komitmen yang baik dan penuh kesabaran. Tidak ada perjuangan yang mudah. Jika perjuangan itu mudah, maka semua orang mampu melakukannya. Pasti, akan ada rintangan yang menerpa di setiap perjuangan yang harus dihadapi oleh seorang pejuang.
Layaknya orang yang sedang mendaki gunung, adakalanya orang itu sampai ke puncak gunung. Adakalanya hanya setengah perjalanan saja. Ada juga yang belum mulai mendaki, sudah mundur karena khawatir tidak mampu untuk melakukannya. Jalan yang akan ditapaki tentu tidak akan mulus layaknya jalan tol. Akan ada tanjakan-tanjakan terjal dan licin, rumput liar yang lebat, dan rasa lelah yang memeluk jiwa raga. Jika dia mampu untuk melewati semua rintangan itu, maka dia akan sampai di puncak dan disambut dengan keindahan pemandangan yang tiada tara. Rasa sakit dan lelah akan terbayarkan dengan keindahan yang disuguhkan oleh alam.
Begitu pula dengan Nasih, banyak rintangan yang dihadapi dalam menapaki jalan sulit lagi mendaki. Dalam sepekan, Nasih harus bepergian Semarang-Jakarta-Rembang. Saat Nasih berada di Semarang, Nasih gunakan waktunya untuk berjumpa dan bercengkrama dengan anak biologis dan istrinya. Selain itu, juga untuk mengajar anak-anak ideologisnya yang ada di Monash Institute Semarang.
Ada banyak mahasiswa yang dikader di rumah perkaderan Monash Institute. Nasih mengajar dan menempa mereka dengan sabar dan harapan yang besar. Seringkali Nasih memarahi kadernya yang tidak beres dalam belajar. Hal ini dilakukan karena Nasih menginginkan semua kadernya bisa menjadi orang yang besar di masa depan kelak. Sebab, semakin besar tekanan yang didapatkan seorang kader, maka akan semakin kuat pula kekuatan yang dimilikinya untuk menghadapi suatu masalah. Mereka akan terbiasa menghadapi masalah dengan kesulitan yang lebih tinggi.
Para Disciple (sebutan untuk kader di Monash Institute) diharapkan dapat bersinergi untuk mencapai visi Nasih yang besar, membangun karakter kepemimpinan umat dan bangsa. Untuk mewujudkan visi Nasih yang besar itu, Nasih menekankan beberapa hal kepada anak-anak ideologisnya. Nasih mendoktrin anak ideologisnya agar dapat berilmu, berharta, dan berkuasa. Melalui tiga kompetensi ini, disciples dapat bersinergi untuk mewujudukan visi besar Nasih.
Saat Nasih tidak di Semarang, ada banyak kegiatan yang dia lakukan, misalnya menjadi pemateri pada beberapa jenjang training perkaderan, seperti Intermediet Training HMI di pelbagai wilayah Nusantara. Selain itu, Nasih juga sering berdiskusi dengan para elit politik negeri ini untuk membahas pelbagai macam permasalahan. Kesibukan-kesibukan ini benar-benar dinikmati Nasih sebagai bentuk perjuangannya untuk umat dan bangsa.
Tantangan yang harus Nasih hadapi tidak hanya orang yang bodoh dan bebal, tetapi juga orang yang menentang kebenaran karena takut akan kehilangan pengaruh. Jika pengaruh mereka hilang, maka mereka pun akan kehilangan sumber penghidupan mereka. Oleh karena itu, kebanyakan orang berebut untuk mendapatkan pengaruh yang besar dan pengaruh itu juga menjadikan candu bagi mereka.
Cara Nasih Menikmati
Bagaimana cara Nasih menikmati jalan yang sulit lagi mendaki? Dalam menikmati jalan ini, Nasih memiliki pelbagai cara, yang tentu Nasih lakukan dengan sabar, istiqomah dan sungguh-sungguh melakukannya.
Pertama, Nasih menganggap semua perjalanan dalam jalan sulit ini (perjalanan Jakarta-Semarang-Rembang dalam tiap pekan) sebagai suatu wisata atau liburan. Bagi mayoritas orang pastinya wisata merupakan hal yang menyenangkan. Tidak ada rasa susah atau gelisah saat berlibur ke destinasi wisata. Orang akan lupa dengan masalah pelikpun yang sedang dihadapinya saat berlibur atau berwisata. Oleh sebab itu, Nasih menganggap jalan sulit lagi mendaki ini sebagai wisata yang menyenangkan. Karena hal itu akan menyembunyikan atau melenyapkan rasa susah dan gelisah saat menghadapi suatu malasah pelik sekalipun.
Kedua, karena dengan menapaki jalan yang sulit lagi mendaki akan memacu adrenalin yang akan memicu hormon-hormon untuk menyokong kekuatan yang besar. Terpacunya adrenalin akan menjadikan dirinya lupa dan tak bisa membedakan antara rasa sakit dan lelah dengan kesenangan. Semuanya akan terasa menyenangkan. Seorang pejuang sejati akan mampu melakukan hal demikian. Dengan terbiasa melakukan atau merasakan rasa sakit saat berjuang, maka seorang pejuang akan nyaman dengan rasa itu.
Ketiga, Nasih bisa menikmati jalan yang sulit lagi mendaki ini karena mindset yang benar. Tubuh akan merespon dengan baik jika mindset seseorang baik pula. Hal ini terjadi karena semua keadaan tubuh dipengaruhi oleh mindset. Karena itu, men-setting pikiran sangat diperlukan. Dengan mindset yang benar itu menjadikan Nasih yang tidak mudah lelah dan sakit dalam menapaki jalan sulit lagi mendaki ini. Selain ilmu, juga dibutuhkan fisik yang kuat atau basthotan fii al-jisim agar dapat berjalan dengan lancar dan akseleratif. Pikirkan yang baik-baik dan tinggalkan pikiran yang buruk.
Ada banyak jalan yang sebenarnya bisa ditempuh Nasih, tetapi Nasih lebih memilih jalan yang sulit lagi mendaki. Alasan mengapa Nasih lebih memilih jalan ini dari pada jalan yang lain, karena hanya sedikit orang yang menghendaki atau mau untuk menempuh jalan ini. Nasih lebih mementingkan kualitas dibandingkan kuantitas. Walaupun yang menempuh jalan ini sedikit, tetapi dengan kualitas dan mutu yang baik itu akan lebih bagus dibandingkan dengan jumlah yang banyak, tetapi kualitasnya buruk. Dengan kualitas yang baik akan memudahkan untuk mencapai visi yang besar.
Dalam menapaki jalan ini, Nasih memang harus memiliki kesabaran yang luar biasa agar mampu untuk menikmatinya. Bagi kebanyakan orang, sabar berarti menerima keadaan yang ada dengan pasrah tanpa melakukan apapun untuk berusaha mengubah keadaan. Dalam perspektif Nasih, sabar berarti bertahan dalam situasi dan terus melakukan usaha untuk mengubah keadaan menjadi keadaan yang lebih baik lagi. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Oleh: M. Faiz Mubarok, Menteri Sarana dan Prasarana Monash Institute Kabinet Militan, Mahasiswa Jurusan Biologi UIN Walisongo