Sempit dadaku mendengar guraumu
Mekar mawar mendadak layu
Jatuh diterjang angin bernada pilu
Hujanpun turut menyumbang air sendu
Menggenangkan luka di dalam qalbu
Semua menampakkan ketinggian
Tak kudapati ranting untuk berpegangan
Tetapi aku sudah berjanji untuk bertahan
Bertahan terhadap cinta dan cita yang sudah kuangankan
Itulah satu-satunya tumpuan
Tak ada pilihan
Tertidur bersama kepicikan
Tersenyum bersama kepalsuan
Tertawa bersama kepura-puraan
Termenung bersama keputusasaan
Menghancurkan kepingan asa yang telah kurintis
Menyadarkanku tentang pengorbanan yang terbalas sadis
Meringis merasakan sepotong hati teriris
Menahan mata untuk menyapa tangis
Menepukkan tangan untuk tergerak menulis
Lelah rasanya makin menggunung
Jenuh pun sudah hampir memecahkan tempurung
Dan alirannya kini tak mampu kubendung
Menghancurkan asa yang sudah kubangun laiknya gedung
Kini aku termenung
Kau ini Abu Lahab atau Abu Jahal???
Atau malah Dajjal??
Atau Kadal?
Sial!
Desiran laut biru tidak mampu memecah luka
Aku memandang langit dengan menengadah
Berharap dada ini menjadi lapang
Memberi ruang untuk penghianatan
Pergi sejauh-sejauhnya untuk meninggalkan
Agar yang tersisa tinggal puing-puing ketulusan
Akan ku susun kembali untuk merengkuh kemenangan
Semarang, 29 Februari 2020
Bagus puisinya, Bang.. Keren.