Mengutamakan Umat

Seorang pemimpin sering dihadapkan pada pilihan realitas yang sama-sama penting, sehingga ia dituntut harus mampu menentukan mana yang menjadi prioritas. Pemimpin adalah orang yang mampu memengaruhi orang lain untuk melakukan hal-hal baik sesuai dengan yang disepakati. Pemimpin menduduki posisi satu level lebih tinggi daripada yang dipimpin. Orang yang dipimpin disebut pula sebagai umat.

Manusia dibentuk oleh dua elemen, ummi dan umat. Ummi berarti ibu. Ia membentuk manusia di lingkup keluarga. Sedangkan umat membentuk manusia melalui lingkungan. Kelompok manusia yang berasal dari keluarga masing-masing kemudian bertemu dalam lingkungan disebut dengan umat. Dengan kata lain, umat juga bisa disebut sebagai masyarakat. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ali Imran ayat 104, yang menjelaskan tentang seruan kepada hamba-Nya agar menjadi umat yang menyeru kebajikan, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Umat  yang mampu melaksanakan keduanya adalah umat ynag beruntung.

Nasih pernah menulis berkaitan dengan menyeru kebajikan dan mencegah kemungkaran. “Orang yang hanya amar ma’ruf[1], biasanya dibilang sejuk. Orang yang nahyi munkar[2] biasanya dibilang profokator. Ketahuilah, amar ma’ruf itu mudah. Nahyi munkar itu yang susah. Sebab, pelakunya akan bereaksi. Mengajak orang sedekah, tidak akan membuat orang tersiggung, melarang orang meneruskan bisnis haram, bisa membuat mereka takut mati lalu melawan. Perintah Tuhan tidak hanya amar ma’ruf, tapi juga nahyi munkar. Tidak bisa STMJ, Shalat Terus Maksiat Jalan.”

Sebelum menjadi umat, sejatinya manusia adalah individu yang memiliki hak dan kewajiban. Setiap individu memiliki arah langkah masing-masing. Ia diberikan kebebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya. Adapun pedoman arah langkahnya adalah al-Qur’an. Lagi, Tuhan menyeru kepada umat-Nya untuk menjadi umat terbaik dengan menempuh jalan jihad. Salah satu firman Allah yang dengan jelas memandu manusia untuk menempuh jalan jihad adalah Q.S. At-Taubah ayat 24 berikut:

Bacaan Lainnya
banner 300x250

قل إن كان أباؤكم و أبناؤكم و إخوانكم وأزواجكم و عشيرتكم و أموال إقترفتموها و تجارة تخشون كسادها و مساكن ترضونها أحب إليكم من الله و رسوله و جهاد في سبيله فتربصوا حتى يأتي الله بأمره والله لا يهدى القوم الفاسقين

Artinya: “Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Alah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” Q.S. At-Taubah: 24.

Allah telah dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa keluarga dan hal-hal yang tercantum dalam ayat di atas tidak boleh menghalangi hamba manapun untuk berjihad di jalan Allah, yakni dalam rangka mencintai-Nya dan rasul-Nya. Jihad berasal dari bahasa Arab yang menurut syariat Islam memiliki arti berjuang dengan sungguh-sungguh. Menegakkan dan menjaga agama Islam untuk tetap kokoh sebagaimana kokohnya Islam pada masa kepimpinan Rasulullah SAW.

Nasih, doktor ilmu politik yang sedang berjihad itu telah lama meninggalkan tanah kelahiran. Bertahun-tahun merantau ke tanah orang demi menghapuskan kebodohan. Nasih tak akan pulang sebelum kesuksesan berada dalam genggaman. Begitu ia terus melakukan kebaikan sejak muda hingga sekarang.

Jalan jihad lain yang ia pilih setelah kapasitas keilmuan yang ia miliki cukup mumpuni adalah menanam manusia. Ini adalah jalan satu-satunya investasi masa depan. Sebab, Nasih ingin tetap “hidup”. Hidup dalam jiwa yang tetap terbaca perjuangannya meski raga tak lagi ada. Karena itu, Nasih membangun rumah perkaderan sebagai wadah untuk menumbuh-kembangkan (pikiran) manusia. Ia menanam manusia, agar jiwanya mampu bertahan hidup selamanya. Hingga akhirnya, terwujudlah Yayasan Monash Institute yang ia rintis sejak 2010 silam.

Kini rumah perkaderan itu mulai menampakkan bunganya satu persatu. Berbunga cantik dan berbau harum. Mengharumkan namanya sebagai pendidik sekaligus pengkader.  Dalam jihadnya, Nasih memegang teguh QS. al-Taubah ayat 24. Sejak memiliki tanaman di Darul Qalam Monash Institute, ia sering meninggalkan keluarganya. Waktu tujuh hari dibagi seadil-adilnya. Empat hari di Jakarta, dua hari di Semarang dan satu hari di Rembang. Jadwal bisa berubah sewaktu-waktu. Hanya beberapa jam saja ia sisihkan untuk istri dan anak-anaknya. Hampir seluruh waktunya dihabiskan bersama tanaman-tanaman untuk kehidupan masa depannya.

Nasih mengibaratkan santri didikannya seperti besi yang dipanaskan. Besi yang bisa ditempa kemudian dibentuk sesuai dengan yang diinginkan. Melalui rekontruksi cara berpikir, mengubah kebiasaan hidup, dan menumbuhkan energi positif pada tiap-tiap kepala santrinya. Santri-santrinya selalu dituntut untuk disiplin. Karena itu, ia menamai santrisantrinya dengan sebutan disciples.

Umat adalah prioritas. Pertama dan paling utama. Seabagai seorang doktor muda yang memiliki kapastias keilmuan mumpuni banyak tawaran yang diberikan kepadanya untuk menempuh studi lanjut ke luar negeri atau sekedar menambah wawasan di Negara tetangga. Tanpa biaya bahkan mendapatkan pesangon. Nasih selalu menolak. Sebab, yang demikian tidak dapat memberi pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Dia hanya akan mendapatkan keuntungan untuk diri sendiri sedang tanaman yang ia tanam akan layu bahkan mati jika ia tinggalkan dalam jangka waktu yang lama.

Keluarga Bukan Prioritas

Nasih kini sudah berkeluarga. Di keluarga biologisnya Nasih adalah seorang ayah dari dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Hingga saat ini ia tak memperdulikan tempat tinggal pribadinya. Mertua yang begitu baik meminta Nasih beserta anak istrinya untuk tetap tinggal satu atap bersamanya. Meskipun masih ada dua adik iparnya, bagi Nasih yang terpenting adalah tanamannya tumbuh subur.

Bukan tanpa protes. Awal kali mendirikan Monash Institutu, sebagai seorang perempuan yang memiliki naluri selalu ingin diperhatikan, istri Nasih sering terbakar cemburu. Bagaimana tidak, waktu sepekan ia habiskan tidak untuk istri dan anak-anaknya. Okky, namanya, hanya memperoleh waktu beberapa jam saja untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari Nasih.

Merasa tak kuat, Okky menulis surat dalam secarik kertas sebagai ungkapan rasa cemburu yang selama ini ia pendam dalam-dalam. Iya, Oky memang sibuk dengan profesi dokternya. Ia juga tidak terlalu sering menghabiskan waktu di rumah. Terkadang ketika Nasih datang Oky pergi, begitu sebaliknya. Karena tak ada waktu untuk bertatap muka membicarakan perihal hati, Okky mengungkapkan kecemburuannya dalam secarik kertas. Ia tak mau cintanya dibagi, bahkan ia tidak mendapatkan lebih dari seperampat perhatian suaminya itu.

“Aku pulang, kamu belum ada. Aku bangun, kamu sudah tidak ada. Sebenarnya kamu itu pulang untuk siapa? Untuk aku atau anak-anak ideologismu itu?”

Begitulah salah satu ungkapan dalam surat tersebut.

Hampir seluruh waktu dan tenaga Nasih diberikan kepada umat bukan istri yang sudah ia pilih. Nasih mulai memahami kondisi demikian. Sedikit demi sedikit ia berbicara dengan sang istri, menyatukan visi. Memberikan pemahaman bahwa yang ia lakukan bukan karena ia tak menyayangi sang istri, justru itulah wujud cinta yang ingin ia buktikan bahwa memperbaiki umat akan otomatis memperbaiki keluarganya. Menyayangi umat sama halnya menyayangi keluarganya. Hingga akhirnya, istri dan keluarganya mengerti dan justru sangat menyuport perjuangan Nasih sampai hari ini.

Selain itu, Nasih lebih memilih mendidik intensif santri-santrinya dibandingkan mendidik anak kandungnya. Waktu luang yang ia miliki sering dihabiskan untuk merawat tanaman dibanding mengurusi anak-anak biolgisnya. Sang mertua sering mengingatkan Nasih agar turut memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Tidak melulu fokus pada santri-santri yang menurut sang mertua belum tentu bisa memberikan ia keuntungan.

Hingga suatu saat ia menyadari bahwa anak biologisnya juga harus mendapatkan pendidikan yang cukup dari dirinya. Awalnya, ia berpikir sederhana, dengan mengajar anak-anak ideologisnya, maka mereka akan menjadi tahu dan akan mengajari anak-anak biologis Nasih. Sekarang, ia selalu mengajak anak-anaknya ke pesantren untuk dididik dengan porsi yang sama dengan tenamannya, bahkan lebih keras.

Dengan komitmen yang luar biasa kepada anak didiknya itulah, Nasih terkadang “marah” ketika menjumpai merek tidak serius. Pernah suatu ketika, ada beberapa santrinya kedapatan memilih mengikuti acara di luar untuk bersenang-senang dan meninggalkan agenda besar yang diadakan Monash Institute. Saat itu, ia sedang mengecek kehadiran disciples. Di saat itu juga, melalui Direktur Eksekutif Monash Institute Mokhamad Abdul Aziz, Nasih menuliskan pesan untuk mereka: “Saya menomorsatukan kalian dan menomorduakan istri dan anak-anak saya, lalu kenapa kalian menomorduakan saya dengan menomorsatukan orang lain yang tidak jelas visi dan ikatannya?”

Pada akhirnya, semua hal Nasih lakukan untuk tanaman masa depannya. Baginya, umat adalah prioritas. Memperbaiki umat hingga menjadi baik akan menjamin keluarganya menjadi lebih baik. Jika umat baik keluarganya pasti akan menjadi lebih baik. Sebailknya, jika keluarga baik, umat belum tentu bisa menjadi baik. Dengan sangat tegas Nasih berkata di hadapan santri-santriya, “Bagaimana bisa kalian mengutamakan orang lain sedangkan Saya menomor satukan kalian dan menomor duakan keluarga Saya.” Tidak sebatas kata, kalimat itu benar adanya Nasih lakukan.

Oleh: Ummi Mukhoyyaroh, Disciple Monash Institute 2014, Ketua Umum Pimpinan Wilayah Corps Gerakan Pemuda Islam Indonesia Putri (PW Corps GPII Putri) Jawa Tengah 2019-2020.

Editor: Anzor Azhiev

 

Catatan kaki:

[1] Ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan dirikepada Allah. Amar ma’ruf adalah memerintah/menyeru kepada kebajikan.

[2] Munkar adalah segala perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah. Nahyi Munkar adalah mencegah melakukan perbuatan yang bisa menjauhkan diri dari Allah.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *