Beberapa hari kemarin, selama lebih kurang empat hari, saya diundang oleh Pusat Studi Pesantren untuk bergabung dalam forum penguatan media sosial dan literasi pesantren. Saya dan yang lain, satu sama lain saling berbagi pengalaman dan ilmu berkaitan dengan cara untuk bagaimana kita mengoptimalkan media sosial dan literasi Pesantren.
Berkaitan dengan konten dalam bentuk narasi maupun video. Berbekal sharing empat hari itu, melalui catatan ini saya akan berusaha menyuguhkan realitas dan penguatan-penguatan lain agar eksistensi Pesantren di era media sosial ini semakin kuat dan produktif.
Mau tidak mau kita harus melek literasi. Aktivitas membaca, menulis dan kajian ilmiah harus dibudayakan. Para santri, kiai dan masyarakat Pesantren harus bangkit dari kemalasan. Sudah saatnya kita mewarnai–bukan diwarnai–media sosial dengan khazanah-khazanah Pesantren. Kita semua harus turun tangan dan blusukan di media sosial.
Konsep tawadlu yang sering kali dihembuskan–betapapun era tengah dalam pusaran era post-truth–mesti diperbaharui. Tawadlu di era media sosial itu adalah bukan dengan berdiam diri dan acuh tak acuh, melainkan bergegas melengkapi kekurangan dan mengoptimal potensi yang ada. Segala ilmu, tradisi dan aktivitas Pesantren harus kita dakwahkan di media sosial.
Oleh karenanya, para santri harus dibekali sejumlah kemampuan untuk bisa cakap dan cerdas dalam bermedia sosial. Pelatihan demi pelatihan untuk mengoptimalkan media sosial harus digalakkan. Ini tidak lain karena sumber daya Pesantren begitu melimpah ruah.
Para santri, kiai dan umumnya masyarakat Pesantren sudah harus sadar dengan era yang serba cepat ini. Kurikulum yang ada di Pesantren harus segera diselaraskan dengan teknologi. Ini tidak lain agar Pesantren tidak usang di makan zaman. Pesantren harus membuktikan agar eksistensinya akan selalu berkesuaian dengan konteks zaman apapun.
Para kiai dan nyai di Pesantren harus membekali diri dengan kemampuan public speaking. Ilmu dan segala macam literasi khas Pesantren harus disampaikan dengan cara-cara yang efektif. Karena itu kecakapan dalam public speaking sangat dibutuhkan. Kemasan dakwah Pesantren juga harus menarik dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Pesantren tidak boleh terperosok pada egoisme, sehingga umat malah justru menaruh tidak apresiatif terhadap Pesantren. Demikian juga para santri, agar tidak hanya menimba ilmu saja tanpa mempelajari metode atau strategi untuk menyampaikannya yakni public speaking.
Media sosial adalah momen terbaik agar literasi berbasis Pesantren dapat menyebar dan viral secara optimal. Pesantren harus menjadi juru damai Islam moderat di Indonesia dan dunia. Maka dari itu Pesantren jangan sampai terjungkal pada lubang membalas ujaran kebencian dengan ujaran kebencian yang serupa. Para dai-dai Pesantren harus memahami psikologi dan etika dalam berdakwah, agar misi rahmatan lil’alamin dalam Islam betul-betul terbukti. Seruan-seruan dakwah yang keluar dari mulut para dai Pesantren harus disampaikan secara universal dan komprehenship. Tidak terjebak nyinyir dan menuding para dai lain yang berbeda.
Pesantren, selain harus mengorbitkan para santrinya untuk berdakwah go public, mereka juga harus berbagi peran agar bermunculan videografer dan desain grafis yang berlatar belakang santri. Sebarkan dakwah literasi Pesantren dengan cara yang membumi. Ini tidak lain agar umat yang awam sekalipun dapat memahaminya dengan mudah. Dewasa ini kita sedang membutuhkan para juru dakwah yang membumi, yang dapat diterima oleh umat manapun, bahkan umat radikal sekalipun.
Yang tak kalah penting juga adalah penguatan dakwah pemberdayaan. Saya ingin menegaskan bahwa dakwah literasi tanpa dakwah pemberdayaan tidak akan efektif dan optimal–untuk enggan mengatakan buang-buang uang dan anggaran. Ini semata-mata didasari oleh dakwah seperti yang dulu pernah diteladankan oleh Nabi saw. Dakwah bil lisan, yang ditunjang dengan dakwah bil qalam berikut dakwah bil haal, yakni dakwah pemberdayaan. Dakwah pemberdayaan yang dimaksud adalah upaya konkrit ke dalam program-program ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Urgensi dakwah pemberdayaan inilah yang selama ini luput dari kebanyakan Pesantren. Padahal dakwah pemberdayaan merupakan ruh dan ujung tombak eksistensi Pesantren. Dakwah pemberdayaan inilah yang telah lama dikonsepsikan dan bahkan dijalankan oleh umat radikal. Mari kita segera isi kekosongan dakwah ini, dakwah yang moderat sekaligus dakwah memberdayakan umat. Kita hindari acara dan program yang sebatas seremonial. Kita sudah tidak ada waktu untuk berleha-leha, sehingga umat banyak yang terpedaya dakwah-dakwah radikal. Kita harus serius dalam berdakwah, dakwah kita harus kolaboratif, tidak lagi sendiri-sendiri. Saya yakin, saya dan kita sekalian pasti bisa!
Wallaahu a’lam
Mamang M Haerudin (Aa)
Cirebon, 26 Oktober 2019, 14.53 WIB