Abah Nasih sapaan akrab Dr. Mohammad Nasih adalah pendiri Pondok Perkaderan Monash Institute Semarang dan Sekolah Alam Planet Nufo Rembang. Kedua tempat ini memilki program menghafal al-Qur’an yang dibimbing langsung oleh Abah Nasih al-Hafidz. Metode menghafalnya diambil dari pengalaman Abah Nasih dalam menghafalkan al-Quran.
Abah Nasih mondok sejak kelas 1 SMA di Pondok Pesantren Salafiyah An-Nur Lasem. Layaknya setiap Pondok Pesantren Salafiyah yang lain, Pondok Pesantren Salafiyah An-nur juga memilki spesialisasi keilmuan. Pondok Pesantren ini lebih dikenal sebagai Pondok Kitab di kalangan masyarakatnya karena pembelajarannya yang selalu mengkaji kitab-kitab klasik Islam.
Kitab Klasik Islam atau yang sering disebut sebagai kitab kuning atau kitab gundul sudah tidak asing lagi bagi Abah Nasih. Sejak usia 10 tahun, Abah Nasih sudah terbiasa membaca kitab gundul. Nahwu, Sharaf dan pelajaran pondok lainnya sudah dipelajari Abah Nasih di rumahnya sejak kecil.
Sejak kecil juga, Abah Nasih sudah dituntut orang tuanya untuk menghafal al-Qur’an. Tuntutan ini diberikan karena memang Bapak dan Ibu Abah Nasih juga merupakan penghafal al-Qur’an. Namun sampai masuk SMA, Abah Nasih belum juga menyelesaikan hafalan Qur’annya. Jangankan hafal al-Qur’an secara keseluruhan, Surat Yasin saja masih kesulitan bagi Abah Nasih kecil.
Motivasi memang menjadi penentu untuk mewujudkan sesuatu, tidak terkecuali untuk menghafalkan al-Qur’an. Abah Nasih menemukan motivasi untuk menghafalkan al-Qur’an, setelah ayahnya meninggal. Teringat oleh keinginan Ayahnya yang menginginkan anaknya lebih dari dirinya, timbullah tekad dalam diri Abah Nasih agar segera menyelesaikan hafalannya.
Teringat oleh keinginan sang ayah tersebut, Abah Nasih mulai mencari cara agar bisa menghafalkan al-Qur`an di pondok kitab tersebut. Banyak cara yang Abah Nasih lakukan untuk mencapai target. Abah Nasih mengurangi waktu tidurnya. Semua waktu Abah Nasih dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Abah Nasih sering menghafal di belakang Masjid Lasem. Tempat tersebut tepat berada di samping kuburan Mbah Sambu. Kegiatan tersebut menjadi kegiatan rutin yang dilakukan Abah Nasih setiap malam.
Setiap malam belajar di belakang mesjid lasem sampai ketiduran dan terbangun di subuh hari sekitaran jam 03.00 WIB adalah kebiasaan Nasih ketika di pondok. Abah Nasih pernah berkata bahwa bangun jam 03.00 WIB dan lansung mandi merupakan pola hidup yang baik. Mandi pada jam yang terbilang masih sangat dingin membuat kepala dan badan kita terasa fresh dan tidak membuat kita mudah ngantuk saat subuh. Di waktu ini juga, Abah Nasih melanjutkan hafalan Qur’annya.
Tiada waktu yang terbuang secara cuma-cuma, setiap ada waktu luang pasti ada saja yang dilakukannya. Target agar hafalannya segere selesai membuat Abah Nasih tidak pernah ber-leha-leha. Ia sangat jarang tidur, mungkin ia tidur hanya beberapa jam saja. Bahkan, ia juga pernah diperintahkan untuk tidur oleh kiainya.
Perbedaan pendirian yang dimilikinya menjadikannya terlihat berbeda dari yang lain. Keinginan terbesar Abah Nasih mendorongnya untuk terus berjuang dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga agar dapat mencapai satu tujuan.
Menghafal di pondok yang bukan pondok tahfidh tidak terlalu ringan, karena sistem pembelajaran yang berbeda. Pondok Pesantren Annur yang bukan pesantren Tahfidh al-Qur’an membuat Abah Nasih tidak bisa menyetorkan hafalannya di pondok tersebut. Untuk itu, Abah Nasih harus pulang ke kampung halamannya untuk menyetorkan hafalan tersebut kepada Ibundanya, Bu Khudzaifah. Itu dilakukan dengan istiqamah dan penuh cinta.
Namun, sebenarnya menghafal itu bisa dimana saja, tidak harus di pondok tahfidh yang penting kita ada kemauan. Karena dimana ada kemauan in syaa allah akan ada jalan seperti itulah kata motivasi yang sangat tepat untuk orang yang merasa bahwa ia tidak bisa. Cukup memiliki prinsip bahwa jika ada kemauan, in syaa allah akan bisa. Begitulah, yang dilakukan seorang yang kerap disapa Abana oleh para santrinya. Walaupun, dulunya tidak mondok di pondok tahfidh, tapi ia sanggup menyelesaikan hafalannnya dalam jangka waktu yang sangatlah singkat, yaitu 1½ tahun.
Bukan perkara yang mudah untuk dapat menyelesaikan hafalan dalam waktu yang sangat singkat. Tentu ada cara tersendiri yang dimiliki oleh Abana untuk dapat mencapai target hafalan secepat itu. Dan cara yang ia lakukan adalah dengan berusaha segiat mungkin mengubah pola hidup yang lebih bermanfaat dan tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Dan akhirnya, pada masanya ia dapat mencapai sebuah hasil yang maksimal dan sesuai harapan. Wa Allah a`lam bi al-shawwab.
Oleh: Ulya Indarini, Parlemen Monash Institute Kabinet Militan, Wasekum P3A HMI Komisariat Iqbal 2019-2020