Memiliki ambisi untuk menjadikan negeri yang Thayyibatun wa Rabbun Ghafur merupakan impian yang tidak henti-hentinya untuk diwujudkan oleh setiap orang di bumi pertiwi ini. Begitupun dengan seorang pemuda yang berasal dari desa terpencil sekalipun. Mohammad Nasih, pemuda kelahiran Rembang 1 April 1979 ini tampaknya tidak bergurau untuk mewujudkan negeri yang benar-benar gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo serta mendapat ridla Ilahi.
Keterbatasan akses di pedesaan tidak meredupkan semangat Nasih untuk gigih berjuang. Putra kedua dari pasangan H. Mohammad Mudzakir (alm) dan Hj. Chudzaifah ini sedari kecil, sudah terbiasa hidup bersahaja meskipun ayahnya menjadi salah satu pejabat tinggi di desa. Keprihatinan dan kedisiplinan adalah makanan sehari-hari yang kedua orang tuanya berikan kepada Nasih. Tidak heran jika Nasih menjadi sosok yang tahan banting ketika dewasa.
Bagi penulis, Nasih bukan hanya sekadar guru. Lebih dari itu, ia patut dijadikan guru bangsa yang telah melahirkan ide-ide mencerahkan untuk ditularkan kepada genarasi muda. Politisi muda dan hafal al-Qur’an ini sangat akrab dengan forum-forum diskusi baik di level lokal bahkan Nasional. Kemampuannya sebagai pengajar di Program pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menjadikan dirinya dikenal luas di penjuru negri ini.
Sebagai seorang politisi, berbagai pengalaman telah Nasih dapatkan. Asam-garam perjuangan untuk memperbaiki negeri membuat nasih harus juga menepi. Beliau menyadari bahwa negri yang tidak sehat ini membutuhkan orang-orang yang bisa diajak sinergi dalam satu visi. Ia akhirnya mendirikan lembaga untuk menampung anak-anak muda untuk diberdayakan dan ditempa. Istilah yang sering ia ucapkan adalah ‘Perbaikan dari pinggir”. Usaha tersebut diwujudkan dengan mendirikan rumah perkaderan Monash Institute pada tahun 2011.
Selain itu juga, inisiatif mendirikan lembaga perkaderan Monash Institute merupakan strategi (siyasah) Nasih untuk membina anak-anak muda, ditempa sedemikian rupa dengan dasar ilmu langsung dari sumbernya (al-Qur’an dan al-Sunnah). Selain politisi, kapasitas Nasih sebagai ulama’ (Alumnus Tafsir-Hadits IAIN Walisongo) tidak diragukan lagi. Bermodalkan al-Qur’an yang sudah menghujam di dada (red: Hamilah al-Qur’an), dia mampu menjelaskan berbagai hal sesuai denga konteks dan fenomena-fenomena yang sedang terjadi.
Nasih adalah santri yang pernah mondok di Pesantren AN-Nur, Lasem. Ia juga merupakan murid Gus Qayyum sejak duduk di bangku SMA. Nasih termasuk murid yang akrab dengan Gus Qayyum. Berdiskusi dengan beliau adalah makanan sehari-hari yang Nasih dapatkan dibanding dengan santri-santri lainnya. Sehingga pola-pola dasar keIslaman dan khazanah Intelektual Islam telah ada sebelum Nasih terjun ke dunia kemahasiswaan. Maka tidak heran jika al-Qur’an dan Tafsir ala Nasih (Tafsîr al-Nasîhah) adalah salah satu objek kajian diterapkan di Monash Intitute sebagai lahan untuk mengkader generasi muda.
Dengan berdirinya rumah perkaderan tersebut, membuat Nasih harus mengatur jadwal dengan sangat baik di tengah kesibukannya di Ibu kota. Padatnya aktivitas yang ia jalani, tidak menjadikan Nasih kendur dalam membina anak-anak didiknya. Sejak tahun 2011 sampai dengan sekarang. Akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk memuluskan visinya. Ayah 4 anak ini memilih untuk menghabiskan akhir pekannya juga bersama anak-anak ideologisnya. Atana Hokma Denena, Atena Hekma Mellatena, Atana Molka Atana dan Atana Dawla Boldanena (anak bungsu yang masih kecil) selalu ia bawa ketika aktifitas mengajarnya di Monash Institute
Aktivitas ini bukalah aktivitas yang biasa kebanyakan orang dapat lakukan. Layaknya orang-orang menikmati masa libur setiap akhir pekannya. Nasih memilih berlibur dengan caranya sendiri. Mengajar anak-anak biologis dan ideologisnya. Hingga tidak banyak waktu yang Nasih habiskan dengan Istrinya. Bahkan bagi Nasih tidak ada istilah libur dalam kamus kehidupannya. Dalam menjalani aktivitas demikian, tentu butuh kerelaan dan sinergis dengan keluarga tercinta, terkhusus Istrinya.
Mengajar bukanlah aktivitas asing bagi Nasih. Bahkan kata Nasih: mengajar adalah kesenangan,”ibarat bebek disuruh berenang”. Sejak kelas 5 SD ia sudah mengajar ngaji anak-anak di Madrasah milik orangtuanya. Dilanjut lagi sejak mahasiswa, Nasih sudah aktif menjadi guru di HMI -dari lingkup komisariat sampai dengan nasional- yang menjadikan dirinya semakin lihai dalam me-manage massa. Belum lagi, Nasih aktif di organisasi-organisasi kepemudaan tingkat nasional, yaitu Gerakan Pemuda Islam (GPI) (2006-2010), Pengurus pusat MASIKA ICMI (2006-2011). Pengalaman panjang tersebut menjadi bekal Nasih untuk kembali mengkader melahirkan calon-calon pemimpin bangsa.
Keberhasilan Nasih mendirikan lembaga perkaderan sejak tahun 2011 hingga saat ini, nampaknya banyak orang yang melirik. Keinginan untuk bergabung dalam menjalani misi suci tersebut dapat Nasih rasakan. Terbukti dengan adanya simpatisan yang mewakafkan gedung untuk keberlangsungan misi suci ini. Undangan permohonan menjadi pembicara dari tiap daerah terus berduyun datang untuk berdiskusi tentang rumah perkaderan ala Mohammad Nasih itu. Masih banyak lagi berbagai macam undangan dan bentuk penghargaan lainnya.
Track record yang ia raih, tidak menjadikannya berbusung dada bahkan menanggalkan idealismenya. Semangat yang Nasih miliki dalam membenahi negeri dari berbagai lini terus ia jalani. Bahkan luar biasanya, semangat itu terus ia tularkan pada generasi muda-mudi tiada henti. Jam terbang yang Nasih miliki semakin membuat ia berapi-api untuk mewujudkan visi membangun negeri. Tidak sedikit setiap orang yang bersua dengan Nasih, mereka seperti tersengat lebah untuk sama-sama berjuang dalam menghadapi situasi negeri yang tidak sedang baik ini. Sayangnya, tidak banyak yang memiliki “tenaga kuda” untuk menghadapi situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan hati.
Itulah semangat hidup yang ditunjukkan oleh Nasih selama ini dalam memperjuangkan nilai-nilai keummatan dan kebangsaan. Cukup berat kiranya jika perjuangan itu dilakukan oleh Nasih seorang. Maka ia mengajak seluruh muridnya untuk berjamaah dalam menjalankan misi profetiknya. Semoga, Nasih dan seluruh muridnya, senantiasa dalam keberkahan dan perlindungan Allah Swt. Dengan harapan misi yang selama ini diperjuangkan bisa membuahkan hasil yang benar-benar maksmial. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Oleh: Rudi Sharudin Ahmad, Disciples 2014 Monash Institute asal Kuningan Jawa Barat, Ketua HMI Cabang Semarang Periode 2018-2019.