Nelson Mandela, tokoh dunia penerima anugerah nobel perdamaian, pernah mengucapkan sebuah kata bijak:
“A vision without action is just a dream. Action without vison is just a waste of time. A vision with action is able to change the world!”
Kata bijak presiden Afrika Selatan itu, sangat cocok apabila dilekatkan dalam diri Mohammad Nasih, yang oleh para santrinya kini dipanggil Abah. Sosok Abah yang saya kenal adalah orang yang mampu menyelaraskan visi, ucapan dan tindakannya. Beruntung, saya bisa mengenal Abah dari dekat. Sehingga saya tak ragu untuk mengatakan bahwa ia merupakan sosok yang bisa merubah dunia kelak.
Banyak hal yang dapat saya pelajari dari sosok Abah. Dari caranya menjaga komitmen, menjadi manusia disiplin dalam banyak hal, caranya berpikir, dan lain-lain. Saya melihat langsung perilaku tersebut secara praktek dalam hidup sehari-hari. Baik dilingkungan rumah perkaderan Monash Institute maupun dilingkungan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Karena, sebelum sebagai pengasuh Monash Insitute, Abah menjadi Instruktur di HMI sejak masih semester tiga. Bagi saya, Abah adalah teladan yang nyata.
Tahun 2017, saya berkesempatan mendampingi Abah dalam acara Intermediate training (LK II) HmI Cabang Ponorogo, Jawa Timur. Salah satu jenjang training formal di HmI. Abah menyampaikan pemikirannya tentang kriteria menjadi seorang pemimpin. Menurut Abah, ada tiga kapasitas yang harus dimiliki seorang pemimpin. Pertama, ‘ilmu al-‘ulama’ (kapasitas keilmuan ilmuan sejati). Seorang pemimpin, tidak boleh sembarang orang. Ia harus punya kapasitas keilmuan yang memadai serta integritas tinggi. Tanpa ilmu, pemimpin akan sulit memimpin rakyatnya. Oleh karena itu, kapasitas keilmuan pemimpin harus benar-benar teruji. Sehingga punya pengaruh besar di kalangan masyarakat luas.
Kedua, amwalu al-aghniya’ (memiliki kekayaan sebagaimana orang-orang kaya). Selain kapasitas keilmuan yang mapan, pemimpin harus mandiri secara finansial. Sehingga, gerak langkahnya bisa bebas. Ia juga tidak mudah dikendalikan orang-orang yang punya kepentingan pribadi. Serta tidak akan memiliki beban moral karena ada “hutang materi”, misalnya. Dengan kemerdekaan finansial, pemimpin tidak akan terbebani dengan aktifitas yang membutuhkan dana besar tanpa harus meminta sumbangan.
Adapun kapasitas ketiga, yakni siyasat al-mulk wa al-mala’ (kapasitas politik para penguasa dan elit politik). Kapasitas ini juga dianggap sangat penting dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin. Tugas pemimpin di antaranya adalah mengurusi dan mengatur rakyat. Maka, memimpin adalah sebuah seni supaya rakyat yang diurusi menjadi sejahtera. Yang paling penting, kepemimpinan juga harus bisa menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpin. Abah Nasih telah memiliki ketiganya, hanya saja, Tuhan belum memberikan kekuasaan yang bisa digunakan untuk merealisasikan ide-ide briliannya.
Sebagai guru utama rumah perkaderan Monash Institute, Abah juga seringkali diundang sebagai pembicara dalam berbagai training ataupun seminar. Bagi saya, Abah tidak hanya penulis dan guru biasa, ia juga seorang cendikiawan muslim yang dinanti-nantikan gagasannya. Ia bisa “melompat” dari satu tempat ke tempat lain, dari satu training ke training lainnya. Semua ikhtiar demi perbaikan, dijalani dan dinikmati sehingga tidak mengenal rasa lelah. Tidak hanya menjadi pembicara bagi orang dewasa saja. Acara anak-anak, remaja, orang tua, bahkan yang usia lanjut pun selalu berusaha didatangi selama tidak ada udzur syar’i.
Abah juga pernah menjadi presidium Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (Masika ICMI) pusat. Sebagaimana kita ketahui, ICMI merupakan rumah bagi para pemuda muslim di berbagai kalangan, untuk menguatkan kajian-kajian kecendikiaan dengan paradigma keislaman dan keindonesiaan. Menurut Abah, paradigma keislaman dan keindonesiaan perlu ditekankan karena di masa depan, persaingan ideologi, peradaban dan kebudayaan akan semakin kuat.
Abah percaya, dengan memiliki keteguhan visi serta jamaah yang kuat, usahanya tidak akan sia-sia. Pengalaman-pengalaman Abah di dunia pendidikan, politik, organisasi, menghasilkan kesimpulan bahwa kualitas SDM kita mengalami degradasi. Tidak hanya degradasi kualitas SDM, namun juga degradasi moral. Terhitung, awal tahun 2020 ini banyak sekali deretan kasus korupsi di Indonesia, seperti Jiwasraya (13,7 T), Asabri (10 T), Century (8 T), dll. Berdasarkan Indeks Prestasi Korupsi (IPK) Indonesia 2018, Indonesia menduduki peringkat 38 dari 180 negara di dunia. Semakin kecil peringkat angka, semakin mengindikasikan suatu negara banyak terjadi korupsi.
Di sisi lain, ternyata Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan kuota haji terbanyak dunia. Bahkan tak jarang kita jumpai orang-orang yang menunaikan haji lebih dari satu kali dan umroh berkali-kali. Jadi, korupsinya berlipat-lipat dan hajinya bisa berkali-kali. Padahal, negara kita masih banyak dihuni kaum miskin dan gelandangan. Kondisi ini menunjukkan bahwa negara kita belum melakukan kesalehan secara total.
Apabila kita mengenal dua jenis kesalehan, yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial, maka kita telah memisahkan antarkeduanya dalam praktek. Kesalehan ritual berarti, kita menjalankan ibadah yang berhubungan langsung pada Sang Pencipta, seperti sholat, zakat, puasa, dll; namun tidak peduli dengan keadaan sekitar. Sedangkan yang dimaksud dengan kesalehan sosial adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Seperti suka menolong, santun terhadap sesama, dll. Meski kemudian, dari kelompok ini banyak yang tidak serajin kelompok pertama. Kelompok ini lebih mementingkan hablu min an-naas.
Dari sini, kita melihat bahwa Islam telah terkotak-kotakkan. Dimana sering kita jumpai sekelompok umat yang ibadahnya sangat tekun, namun masih acuh terhadap sesama. Seolah-olah, Islam hanya mengajarkan ibadah-ibadah yang berhubungan dengan Allah. Sebaliknya, sering kita jumpai orang-orang dengan segudang aktifitas keummatan, namun dalam hal ibadah pribadi masih dikesampingkan. Islam telah mengajarkan kita untuk pasrah atau tunduk secara kaffah; “…. Udkhuluu fi as-silmi kaaffah.” Semua tahu bahwa ibadah kita harus menyeimbangkan antara hablu min Allah dan hablu min an-naas. Kesalehan itu haruslah total, komplit dan tidak boleh mengabaikan salah satunya.
Hal itu bisa saya lihat dalam diri Abah. Ia sering menuturkan, “Kalau jama’ah di dalam shalat saja tidak bisa, bagaimana dengan jama’ah di luar shalat?” Selain mampu menyelaraskan visi, ucapan dan tindakan, Abah juga sosok yang bisa menyeimbangkan kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Konsistensi Abah dalam melakukan perbaikan, masih terus berjalan. Lembaga perkaderan Monash Institute, saat ini sudah berumur 10 tahun, dan akan terus berikhtiar mencetak generasi pejuang. Insyaa’a Allah. Masih ada lembaga perkaderan lain yang dijalankan Abah, seperti di Jakarta. Yang terbaru, adalah sekolah alam SMP yang diberi nama Planet NUFO (Nurul Furqon) yang terletak di desa kelahiran Abah, di Mlagen, Rembang.
Semua yang sudah dikerjakan Abah itu tadinya seperti mustahil. Banyak orang yang menganggap Abah sedang mengigau dengan ide-idenya, tetapi semesta mengatakan lain. Abah seakan tidak pernah mengenal kata menyerah. Ia selalu yakin atas pikiran dan idenya, lalu diusahakan untuk menjadi kenyataan.
“Yakin Usaha Sampai” (Yakusa) barangkali kata itu merupakan “dzikir” rutin yang dijalani Abah supaya semangatnya terus berkobar dalam melakukan perbaikan. Terus bergerak menjelajah kehidupan nan luas, menanamkan paradigma qur’ani, dan memperkuat barisan jama’ah. Abah yakin, bahwa usaha yang dilakukan selama ini, akan sampai pada hasil yang membahagiakan. Karena sejatinya, hidup adalah perjuangan. Perjuangan itu butuh pengorbanan. Dan tidak ada pengorbanan yang tidak dibalas Tuhan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Oleh: Amarta Risna Diah Faza, Disciple 2013 Monash Institute, Ketua Umum BPL HMI Cabang Semarang 2017-2018.