Membayangkan dua matahari terbit, rasanya tidak sanggup. Bumi kita akan disinari dua cahaya terik yang panasnya luar biasa dan tak tertahankan. Pertanyaannya, matahari mana yang akan dikelilingi bumi? Dan lagi, matahari mana yang akan menjadi sumber referensi waktu? Bumi beserta segala isinya akan kacau balau, bahkan tinggal menunggu kehancuran.
Contoh lain, apa jadinya jika Tuhan kita lebih dari satu? Tuhan mana yang akan kita sembah dan kita ikuti perintah serta larangannya? Keduanya pasti memiliki arah berbeda. Apa yang terjadi jika dalam hidup berumah tangga, suami istri sama-sama merasa jadi pemimpin? Bagaimana kondisi bahtera rumah tangga kelak?
Dua matahari, dua Tuhan dan sepasang suami istri dapat dianalogikan dengan kekuasaan atau kepemimpinan. Kepemimpinan dan kekuasaan amat penting karena menentukan hajat hidup banyak orang. Inilah yang terjadi, ketika setiap orang memaksakan menjadi pemimpin ketika bukan saatnya menjadi pemimpin.
Ketika ada dua kepemimpinan pada saat yang sama pada suatu organisasi, maka yang muncul justru perpecahan. Dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun, tidak boleh ada dua kepemimpinan. Hal ini merupakan prinsip dasar universal yang harus dipegang teguh oleh semua organisasi. Entah organisasi politik, swasta, militer, besar, kecil, dulu bahkan sampai sekarang. Prinsip inilah yang akan mengantarkan organisasi pada keberhasilan dalam mencapai tujuan serta menjalankan visi dan misinya.
Sungguh sangat disayangkan, apabila ada organisasi yang semula berdiri dengan tujuan mulia, kini mengalami perpecahan. Dualisme memang selalu rentan menimbulkan perpecahan (chaos). Sebab, tidak adanya satu komando dalam memimpin. “Dua matahari” ini sama-sama ingin membuat keputusan-keputusan. Serta sama-sama tidak tahu dalam menempatkan diri. Mengutip dari pepatah kuno Belanda, sejatinya memimpin adalah menderita (Leiden is lijden) sesuai karangan Mohammad Roem berjudul “Haji Agus Salim, Memimpin adalah menderita.”
Yang menjadi tren masa kini adalah saling sikut berebut tampuk kekuasaan dalam organisasi, baik organisasi politik maupun masyarakat. Mengabaikan tujuan mulia yang seharusnya mendapat perhatian serius. Para penguasa, sibuk bertempur saling mengalahkan satu sama lain, demi mendapat panggung kekuasaan. Berbagai cara dihalalkan, mulai dari membuang perangkat-perangkat yang dianggap berpeluang besar akan menjadi batu sandungan. Bahkan menggunakan aturan main organisasi (red: AD/ART) demi mencari pembenaran atas kesalahan yang dilakukan sampai menggunakannya sebagai alat untuk memukul mundur lawan main.
Kita semua sepakat bahwa masing-masing kita adalah pemimpin. Dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Begitulah ketika kita membicarakan pemimpin dalam konteks pribadi. Namun dalam konteks bermasyarakat atau berorganisasi, jelas kita hanya butuh satu pemimpin untuk menjadi nahkoda. Kemana nahkoda membawa kapal, kesanalah jalan menuju tujuan bersama.
Indonesia Pernah Mengalami?
Keadaan dimana Indonesia seperti “memiliki dua matahari” pernah kita rasakan. Situasi pada 1966 – 1967 antara Soekarno – Soeharto, mengindikasikan adanya dualism kepemimpinan. Keduanya sama mengemban amanah sebagai kepala pemerintaahan. Pada waktu itu Soekarno menjabat sebagai presiden dan Soeharto memikul amanah surat peritah 11 Maret.
Pak Harto diangkat untuk memulihkan keadaan supaya aman dan tentram pasca kasus G30S. Mandat besar yang diberikan Pak Karno pada Pak Harto, mengindikasikan bahwa peran “matahari” sebenarnya ada pada Pak Harto. Meskipun, secara formal, Pak Karnolah yang menjadi presiden. Situasi mulai berjalan normal tatkala kekuasaan sepenuhnya berada pada satu tangan. Yakni ketika Pak Harto menjabat presiden menggantikan Pak Karno pada Maret 1967.
Kondisi “seperti memiliki dua matahari” saja sudah cukup membuat kita kacau. Apalagi sampai muncul dua matahari yang sama-sama mengaku dirinya sebagai pemimpin yang sah. Seharusnya, yang merasa menjadi pemimpin pun sadar. Bahwa kemunculan dua matahari itu membuat tidak sehat organisasi bahkan negara sekalipun. Kondisi yang kemudian membingungkan masyarakat, para pejabat dan jajaran birokrasi lainnya.
Tantangan bagi organisasi-organisasi yang sedang mengalami masalah dualisme adalah bagaimana mengakhiri hal tersebut. Jikalau tidak, yang rugi adalah organisasi itu sendiri. Masing-masing kubu harus menurunkan ego untuk kebaikan organisasi. Maka jalan yang ditempuh adalah dengan berdamai dan menyelesaikan persoalan di antara kedua belah pihak. Karena pemimpin yang baik adalah dia yang bias dijadikan sebagai teladan.
Sangat sarat makna, karena memimpin adalah amanah bukan hadiah. Memimpin adalah berkorban bukan menuntut. Dan yang paling penting, bagaimana kita memimpin akan dipertanggung jawabkan kelak. Bagi yang saling berebut panggung kekuasaan bahkan saling klaim kepemimpinan, entah mereka melakukan hal tersebut karena betul-betul aatas panggilan hati, atau yang lain.
Satu hal yang pasti, mengakhiri segala potensi masalah yang bisa menimbulkan kehancuran dan kekacauan yang berat harus segera diakhiri. Seperti halnya keberadaan dua matahari. Lebih cepat lebih baik. Dilihat dari sisi manapun keberadaan dua matahari tidak memiliki sisi positif. Sehingga, pada sesuatu untuk menuju kebaikan, kita harus terbuka dan blak-blakan seperti ini semata karena kita cinta. Cinta Indonesia, cinta organisasi dan cinta persatuan. Kita ingin agar pemimpin, bersama-sama dengan kita menjalankan tugasnya dengan baik untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan berdaulat. Wallahu A’lam bi al-Shawab