Sekitar tahun 2010, saya pernah membaca kutipan dari Dr. G.J. Nieuwenhuis. Dia pernah berkata bahwa “suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya”. Waktu membaca kutipan ini, saya berpikir mana mungkin ada guru yang suka berkorban. Kalaupun ada, guru yang dimaksud itu adalah para ‘Kiai Kampung’ yang luar biasa ikhlas mendidik para santrinya dengan tanpa pungutan biaya. Karena ridlo Allah lah yang diharapkannya.
Ketika hidup di Semarang sejak 2006-2010, saya semakin yakin, hanya di kampung, satu-satunya tempat para guru hebat ini. Sulit menemukan sekumpulan ‘guru unik’ ini di perkotaan. Bahkan di IAIN (sekarang UIN) Walisongo Semarang, sulit bagi saya untuk menemukan mahasiswa yang punya cita-cita menjadi guru filsuf. Sungguh sangat mengkhawatirkan. Apa jadinya bangsa kita jika diisi oleh para guru yang hanya mmencari materi.
Abu al-Futuuh Muhammad at-Tuwaanisi Ali al-Jumbulaathi dalam kitab “Diraasaat Muqoronah Fi at-Tarbiyyah al-Islamiyyah”, pernah memberi kriteria guru yang baik. Dia menjelaskan bahwa “guru harus mencintai muridnya, tidak boleh mencari bayaran, guru harus mengingatkan muridnya bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, guru harus mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat, guru harus memberikan contoh yang baik, guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya serap anak didiknya, guru harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak, guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya, dan guru harus mempelajari keadaan psikologis murid-muridnya”.
Dan setelah membaca kriteria di atas, semakin menjadikan saya pesimis saat itu. Bagaimana caranya di Indonesia ini terdapat guru yang mulia seperti karakter di atas?
Alhamdulillah. Saya sangat bahagia. Ketika pada tahun 2010 secara langsung diajak oleh Dr. H. Mohammad Nasih, M.Si. al-Hafidz, mengajak saya untuk membantunya mewujudkan cita-citanya yang mulia. Cita-cita yang bagi saya mustahil. Cita-cita yang pada mulanya, saya pesimis untuk bisa mewujudkannya. Cita-citanya luar biasa, yaitu mengembalikan khiththah pendidikan sebagai alat membangun peradaban yang berkarakter dengan terlebih dahulu memperbaiki dari sisi pendidik.
Mas Nasih, panggilan akrab saya ke beliau, pernah berkata bahwa dalam dunia pelajaran, pendidikan dan pendidik adalah dua sisi mata uang. Bila salah satu rusak, tidak ada nilai untuk kedua sisinya karena dari keduanya nasib suatu bangsa ditentukan. Kolaborasi pendidik dan pendidikan dikatakan berhasil apabila mampu menanamkan wawasan untuk membedakan yang benar dan salah, yang baik dan jahat, yang harus dilakukan dan dijauhi. Selain itu, mengajak yang dididik untuk mampu dan mau mengimplementasikan wawasan tersebut dalam kehidupan nyata.
Namun, Mas Nasih sangat prihatin bahwa ternyata pendidik dan pendidikan belum harmoni. Itu terlihat dari keadaan Indonesia yang dilanda berbagai permasalahan seperti etika, kekerasan, perampokan dan korupsi. Beliau juga pernah bercakap bahwa pelajaran sekolah dasar sampai perguruan tinggi sebagai ajaran yang mengarah kepada kebaikan, ternyata belum diimplemantasikan peserta didik sebab ketidakmampuan pendidik mengarahkan dan tidakadanya keteladanan.
Maka, pada tahun 2010, Mas Nasih dengan menggaet beberapa aktivis mahasiswa, seperti Mas Mukharrom Asysyabab, Ristam Matswaya, saya, Misbahul Ulum, Mansur Syarifuddin, Faedurrahman, dan Attabik Imam Zuhdi, membuat kawah candradimuka dengan nama Monsah Institute di Kota Semarang, untuk mencetak para pendidik sejati. Pendidik sejati yang mendidik karena panggilan jiwa untuk menanamkan pandangan tentang kebenaran kepada banyak orang. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang mengarahkan kehidupan kepada kebaikan.
Filsuf Sejati
Dalam mencetak para pendidik sejati yang berkorban demi bangsa, Mas Nasih memberi keteladanan kepada para diciples-nya, diciples adalah sebutan para mmahasatri di Monash Institute Semarang yang berati seorang yang disiplin. Beliau memberi tauladan dengan mengajar dan mendidik tanpa dibayar. Padahal saya pernah mengetahui secara langsung, beliau mendapat bisyaroh sebesar Rp. 13.000.000,- untuk mengisi acara dengan durasi 1 jam saja. Dan uang yang setiap beliau dapatkan kebanyakan digunakan untuk keperluan para diciples. Perlu diketahui bahwa beliau ketika mengajar para diciples Monash Institute Semarang tidak meminta bayaran sama sekali. Bahkan beliau memberi beasiswa kepada mereka yang berprestasi yang jumlahnya ada sekitar 200an anak sejak tahun 2010-2020 untuk kuliah S1 dan juga S2. Semua dana yang dikeluarkan berasal dari harta yang In Syaa’a Allah halal. Karena saya mengetahuinya. Mulai dari hasil menulis di beberapa media cetak dan juga dari hasil pertanian Mas Nasih di Rembang. Karena beliau takut, jika ada harta haram yang masuk dalam membiayai perjuangannya, maka keberkahan dan ridlo Allah akan menjauh.
Bagi saya, Mas Nasih adalah sosok guru filsuf, guru yang mendidik karena panggilan profetik (kenabian). Guru yang mendidik karena ingin menyampaikan kebenaran belaka dan tidak pernah meminta bayaran. Bukan mendidik karena ingin mendapat uang. Materi pendidikan menjadi tidak penting bagi mereka. Yang terpenting adalah uang.
Bagi saya, Mas Nasih adalah termasuk kategori guru filsuf. Guru filsuf yaitu guru yang mengajar dengan logika, tidak peduli ada uang atau tidak. Bukan guru sofis, yaitu orang yang dianggap pintar atau memiliki ilmu pengetahuan, tetapi menggunakan ilmu pengetahuan untuk mencari uang.
Saya selalu ingat nasehat beliau dengan dalil salah satu ayat dalam al-Qur’an, yaitu surat Yasin [36] ayat 21 yang berbunyi;
اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ (21
Artinya: Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Menurut Mas Nasih, ayat ini memberikan petunjuk yang jelas, bagaimana karakter utamma guru mulia yang bisa mencetak murid yang hebat, yang benar-benar mendapatkan petunjuk adalah kriteria guru dengan meniru perjuangan Nabi Muhammad Saw, yaitu tanpa meminta bayaran. Dan hal ini bisa diraih dengan menjadikan aktivitas mendidik sebagai panggilan.
Guru sebagai Panggilan
Mas Nasih memberi saya nasehat dan juga untuk para diciples-nya agar menjadikan aktivitas mendidik atau menjadi guru sebagai panggilan, jangan mendidik karena faktor keterpaksaan.
Mas Nasih sangat risau ketika mengetahui bahwa banyak hasil rekrutan guru yang ada di Indonesia, ternyata tidak memiliki latar belakang kependidikan. Kebanyakan yang masuk rekrutan guru adalah mereka yang sesungguhnya tidak memiliki panggilan mendidik, kemudian menjadikan profesi pendidik sebagai pilihan karena tidak memiliki pekerjaan lain. Maka, tak ayal bila sebagian pendidik berasal dari para penganggur terselubung.
Mereka terpaksa menjadi guru daripada tidak memiliki pekerjaan samasekali. Meskipun sesungguhnya mereka memiliki kapasitas yang memadai, tetapi jika tidak memiliki panggilan sebagai pendidik, tidak akan bisa menjalankan fungsi sebagai pendidik yang optimal. Ketotalan dan keoptimalan hanya bisa dimiliki mereka yang tulus dan ikhlas dalam mengajar.
Mas Nasih selalu mengingatkan bahwa pengajaran dari orang yang tidak memiliki keikhlasan, maka tidak akan mampu memperbaiki, karena ajarannya hanya keluar dari mulut, bukan dari hati. Kata akan memiliki kekuatan perbaikan yang besar apabila tidak hanya keluar dari mulut, tetapi juga berasal dari hati nurani, yakni hati yang bersih karena kemurnian niat untuk berjuang demi perbaikan masyarakat melalui pendidikan. Begitulah beliau, Mas Nasih.
Alhasil, langkah beliau mendirikan lembaga pendidikan Monash Institute di Semarang dan sekarang ditambah dengan SMP Alam Nurul Furqon (Nufo) di Rembang sebagai langkah menyikapi permasalahan di atas, langkah yang paling tepat untuk segera dilakukan. Dari pada menunggu penyelenggara pendidikan di Indonesia melakukan reorientasi paradigma kepada para pendidik, beliau sudah berjuang terlebih dahulu tanpa bantuan pemerintah dengan cara menanamkan paradigma kepada para murid/santrinya tentang kemuliaan mendidik yang didasarkan kepada nilai-nilai yang melampaui hal-hal yang bersifat materi.
Saya yakin. Mas Nasih adalah sosok guru mulia. Bagi saya, guru mulia, guru yang baik adalah guru yang mampu memfalisitasi para muridnya supaya bisa tersenyum atau tertawa. Entah bisa tersenyum atau tertawa untuk sekarang maupun nanti. Semoga semua murid/santri di Monash Institute Semarang dan SMP Alam Nurul Furqon (Nufo) di Rembang tersenyum dan tertawa bahagia. Aamiin. Di mata saya, beliau adalah maha guru filsuf sejati. Wa Allāh A’lām bi ash-Shawwāb.