Abu Dharda Al Khazraj adalah sahabat Nabi Muhammad Saw yang dikenal sebagai ahli hikmah. Hikmah adalah suatu cabang ilmu dalam islam yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk memahami nilai-nilai kehidupan yang ada dalam Al-Qur’an.
Sahabat yang memiliki nama asli Uwaimir bin Malik ini dulunya adalah seorang saudagar kaya raya yang tekun menyembah berhala. Dia dikenal sebagai orang yang paling menghormati berhala. Saking hormatnya terhadap berhala, dia bahkan memakaikan pakaian sutra terbaik dan meminyaki berhala sesembahannya dengan minyak yang mahal.
Pada suatu hari, sahabatnya Abdullah bin Rawahah yang lebih dahulu masuk Islam bertandang ke rumah dan merusak berhala Sesembahan Abu Dharda. Mengetahui hal yang demikian, Abu Dharda naik pitam dan mencarinya untuk melakukan pembalasan.
Abu Dharda terus mencari keberadaan Abdullah bin Rawahah, namun ditengah jalan Abu Dharda berpikir “jika berhala itu memang mempunyai kekuasaan, bukankah dia dapat melindungi dirinya sendiri?”. Kemudian setelah bertemu dengan Abdullah bin Rawahah dia memintanya untuk menemaninya bertemu dengan Nabi Muhammad dan bersyahadat.
Meski telah masuk islam, akan tetapi masih ada rasa penyesalan di hati Abu Dharda. Hal ini tak lain adalah karena beliau terhitung sebagai sahabat Anshor terakhir yang masuk islam. Berbeda dengan sahabatnya Abdullah bin Rawahah yang terlebih dulu masuk islam dan mengikuti banyak peperangan bersama Nabi. Untuk mengejar ketertinggalannya, Abu Dharda mengurangi kegiatan berdagangnya dan tekun belajar tentang islam dan menghafal Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad.
Setelah masuk islam beliau berubah menjadi seorang yang rajin merenung dan tekun dalam belajar. Dikutip dari buku “Biografi 60 Sahabat Rasulullah” karya Khalid Muhammad Khalid, beliau bahkan sampai rela meninggalkan kegiatan berdagangnya demi fokus beribadah dan mendalami islam. Hal ini lah yang mengantarkan Abu Dharda menjadi seorang ahli hikmah.
Pada masa kekhalifaan Umar bin Khattab, Abu Dharda pernah ditawari untuk menjadi hakim di wilayah Syam, namun dengan tegas beliau menolaknya. Abu Dharda menjelaskan kepada Khalifah Umar bahwa dia bersedia ditempatkan di Syam asalkan bukan sebagai pejabat tinggi, melainkan sebagai pengajar Al-Qur’an, sunnah, serta membimbing umat. Akhirnya Khalifah Umar menyetujuinya.
Abu Dharda melakukan aktivitas mengajarnya tidak hanya di masjid sebagaimana pengajar lainnya.setiap hari beliau berkeliling pasar dan tempat-tempat umum untuk mengajarkan apa yang diketahuinya. Jika ada orang yang bertanya kepadanya, maka akan ia jawab, apabila ada orang yang tidak paham makna Al-Qur’an, maka beliau akan memberikan pemahaman, jika bertemu orang lalai, diingatkannya.
Pada suatu ketika ketika Abu Dharda berkeliling di tempat keramaian, beliau melihat ada sekerumunan orang yang sedang memukuli seseorang. Beliau menghampirinya dan menanyakan mengapa mereka memukuli orang tersebut. Mereka menjawab bahwa orang tersebut adalah seorang pendosa besar dan layak untuk dipukuli.
Setelah mendengar jawaban orang-orang tersebut, kemudian Abu Dharda tersenyum dan bertanya, “ketika kalian melihat orang terjatuh kedalam sumur, apa yang akan kalian perbuat? Bukankah suatu keharusan bagi kalian untuk menolongnya?”. Kemudian mereka menjawab, ”tentu.” “jika demikian, janganlah kalian memukulinya. Berikanlah dia penyadaran dan nasihat sehingga dia kembali kejalan yang benar,” jawab Abu Dharda. “apakah kau tidak membencinya?” tanya mereka. “tentu, namun saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah bertaubat dan tidak mengulanginya, maka dia adalah saudaraku,” jawabnya.
Ketika keadaan mulai membaik, seorang dari mereka meminta nasihat kepadanya, Abu Dharda berkata, “Saudaraku, ingatlah Allah ketika kalian dalam keadaan bahagia, maka Allah akan mengingat kalian ketika dalam keadaan sulit.”
Beliau menambahkan, “jadilah kalian orang yang berilmu, jika tidak bisa, jadilah pelajar, jika tidak bisa juga, jadilah pendengar, jangan jadi yang keempat karena yang keempat adalah orang yang rugi.”
Itulah kisah sahabat Abu Dharda, sahabat yang dikenal ambisius dalam mencari dan membagikan ilmu. Tidak mengherankan, dengan sifat beliau yang gemar belajar mengantarkannya kepada julukan ahli hikmah. Pada masa setelah Nabi Muhammad wafat, pemikiran Abu Dharda menjadi rujukan hukum karena kemampuannya dalam menggali hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.