KUHP Baru: Mimpi Reformasi Hukum, atau Karpet Merah untuk Residivis Berbaju Elite?

*Oleh: Dinar Mahardika S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

 

Reformasi hukum pidana nasional akhirnya mengudara. Setelah hampir satu abad menggunakan warisan hukum kolonial, Indonesia secara resmi memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri melalui UU No. 1 Tahun 2023. Euforia pembaruan ini disambut dengan berbagai harapan—dari kedaulatan hukum nasional, hingga penyesuaian terhadap nilai sosial budaya lokal.

Namun di balik gemerlap semangat nasionalisme hukum tersebut, ada keresahan diam-diam yang muncul dari kalangan pemasyarakatan dan praktisi hukum. KUHP baru justru dikhawatirkan menjadi karpet merah bagi pelaku kejahatan berkerah putih, dan meninggalkan pekerjaan rumah serius bagi lembaga pemasyarakatan serta dunia advokasi.

Bacaan Lainnya

Lapas dan Ancaman Dekriminalisasi Terselubung Salah satu perubahan paling kentara dalam KUHP baru adalah pendekatannya yang semakin restoratif dan alternatif terhadap pemidanaan, khususnya terhadap pelaku tindak pidana yang dianggap ringan atau tidak membahayakan secara langsung.

Sekilas, pendekatan ini tampak progresif. Namun jika ditelaah lebih dalam, justru ada ruang abu-abu yang bisa menormalkan impunitas terselubung, terutama pada pelaku kejahatan ekonomi dan jabatan. Dengan pendekatan ini, banyak pelaku kejahatan—termasuk potensi pelaku korupsi—bisa lolos dari pemidanaan penuh, cukup dengan perjanjian damai atau pengembalian kerugian negara.

Akibatnya, fungsi Lapas sebagai instrumen pembinaan dan efek jera tereduksi menjadi formalitas administratif semata. Lapas akan mengalami penurunan kuantitas penghuni, tetapi bukan karena masyarakat menjadi lebih taat hukum, melainkan karena pintu hukum yang dibuka lebih lebar bagi pelaku tertentu.

Model pemidanaan yang lunak ini tidak akan menyelesaikan masalah laten di dalam Lapas, seperti tumpang tindih kebijakan pembinaan, minimnya pendekatan psikologis dalam proses rehabilitasi narapidana, serta ketimpangan antara pelaku kejahatan biasa dengan kejahatan elite yang kerap diperlakukan berbeda.

Pembaruan hukum pidana yang tidak diikuti reformasi pemasyarakatan hanya akan memperkuat paradoks hukum: hukum menjadi keras ke bawah, lunak ke atas. Advokat dan “Keuntungan” dari Celah Interpretasi

KUHP baru mengandung banyak norma yang membuka ruang interpretasi luas. Misalnya, pasal-pasal yang mengatur soal penghinaan, perbuatan asusila, dan perbuatan yang bertentangan dengan nilai kesusilaan dan ketertiban umum.

Pasal-pasal seperti ini bersifat lentur dan kontekstual, menjadikannya bumerang jika tidak diiringi dengan batasan dan parameter yang jelas.

Bagi advokat, terutama yang membela pelaku kejahatan kerah putih, ini adalah peluang emas. Mereka bisa mengeksploitasi celah norma, memainkan narasi pembelaan berbasis konteks moral dan sosial yang dapat digiring untuk meringankan hukuman, atau bahkan membatalkan penuntutan. Hal ini akan menciptakan pasar baru dalam dunia pembelaan hukum, di mana kekuatan narasi lebih menentukan daripada fakta objektif kejahatan itu sendiri. Potensi munculnya praktik “jual-beli celah hukum” tidak bisa dihindari. Tanpa penguatan etika profesi dan integritas aparat penegak hukum, KUHP baru bisa menjadi alat retoris untuk melegitimasi kejahatan elite, bukan untuk memberantasnya.

Harapan: Jangan Hanya Mengganti Buku, Gantilah Cara Pandang KUHP baru semestinya menjadi titik balik sistem hukum Indonesia yang lebih adil, manusiawi, dan berwibawa. Namun pembaruan substansi hukum pidana tidak boleh berhenti di atas kertas. Ia harus diiringi dengan pembaruan paradigma dalam penegakan hukum, reformasi institusi pemasyarakatan, dan etika profesi hukum yang lebih kuat. Tanpa itu, KUHP hanya akan menjadi buku hukum yang indah dalam sematan nasionalisme, tetapi rapuh dalam implementasi. Ia akan menjadi kitab sakral di ruang akademik, namun fleksibel di ruang sidang.

Reformasi hukum pidana harus memastikan bahwa hukum tidak hanya mengayomi yang kuat, tetapi juga memberi rasa keadilan bagi yang lemah. Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan hukum bukan seberapa banyak pasal ditulis, tetapi seberapa banyak keadilan dirasakan oleh masyarakat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *