Kisah  

Mimpi Itu Akhirnya Nyata (Kisah Inspiratif Anak Rantau Sumatera Kuliah di Jawa)

Kisah ini bermula 2007 silam. Berbekal informasi dari para guru di sekolah, aku mantab menyeberangi Selat Sunda menuju sebuah pulau antah berantah yang belum pernah kujamah. Pulau Jawa namanya.

Menaiki bus ekonomi bernama Antar Lintas Sumatera (ALS) yang jauh dari kata nyaman, aku meniti perjalanan dari Lampung menuju Semarang. Tiga hari dua malam harus kulewati penyiksaan perjalanan itu, ditemani ayam serta barang bawaan yang membuat sesak bus, membuatku tak bisa bergerak.

Jauh sebelum perjalanan itu dimulai, sebuah buku Geografi kutemukan di ruang perpustakaan sekolah dasar. Aku buka lembar demi lembar buku usang itu, dan perhatianku tertarik pada sebuah gambar mirip gunung namun terbuat dari batu. Bangunan tinggi menjulang yang dibuat masa Dinasti Syailendra itu begitu memesona, dengan puluhan stupa yang ada di atasnya. Dalam hati bicara, “Kalau nanti aku sudah besar, aku ingin kuliah di Jawa. Akan kusentuh bangunan ini,” pikirku saat itu.

Entah apa yang membuat ucapan itu begitu terpatri. Saat lulus dari MA, aku sangat ingin melanjutkan studi ke tanah Jawa. Saat keinginanku kuutarakan pada kedua orang tuaku, mereka hanya terenyuh dan tak berdaya. “Mana mungkin kamu bisa kuliah? Untuk makan saja sudah susah,” ucap mereka lirih.

Tekadku sudah bulat. Dengan hanya berbekal kemauan kuat dan sedikit uang saku dari bapak, aku berangkat dan memulai perjalananku menjadi seorang pengembara.

Kucium aroma tanah yang berbeda saat menginjakkan kaki di Krapyak, Kota Semarang, 13 tahun silam. Hilir mudik kendaraan yang begitu padat, membuatku tak berani menyeberang. Seperti orang udik lainnya, aku hanya kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Hanya satu pesan yang kuingat dari guruku, “Pakailah seragam batik sekolah, berdirilah di pinggir jalan, maka nanti seniormu akan datang menjemput,” ucapnya sebelum aku berangkat ke Semarang.

Satu jam menunggu tanpa kepastian. Setiap ada motor berhenti, aku bertanya apakah dia orangnya. Ternyata, berkali-kali hanya tukang ojek yang menawari tumpangan dengan sopan. Kecewa memang, namun saat itu, aku langsung merasakan perbedaan. Ini Jawa kawan! kalau di tempatku, kondisiku yang kebingungan dentan tas ransel besar di tangan adalah makanan empuk para pelaku kejahatan.

Berjam-jam menunggu tanpa kepastian, akhirnya jemputan itu datang. Di tengah keputusasaan, aku dibawa ke sebuah rumah kos yang penuh dengan orang-orang hebat. Di sanalah aku memulai langkah dan mewujudkan mimpi untuk menjadi seorang Mahasiswa.

Tak tahu harus daftar di fakultas apa, jurusan apa, kelak mau jadi apa. Yang aku tahu hanya satu, “Sing Penting Kuliah,”. Fakultas Dakwah kupilih saat itu hanya karena satu alasan, peminatnya sedikit jadi gampang cari beasiswa…klasik kawan.

Ternyata semuanya tidaklah mudah, waktu 4,5 tahun kuhabiskan dengan penuh tantangan. Beasiswa memang kudapatkan, tapi tentu tak mencukupi kebutuhan. Maka, jualan nasi kucing, jualan nasi penyet, jualan materai dan papan alas tes saat ada penerimaan mahasiswa baru, nyinom catering, bahkan menjadi kuli bangunan, semuanya harus kulakukan untuk sekedar bertahan.

Tidur di kampus untuk menghindari pengeluaran pembayaran kos-kosan juga jadi pilihan. Semuanya hanya untuk satu tujuan, bertahan hidup dan membayar uang semesteran. Maklumlah, semuanya harus kupenuhi sendiri, karena tak ada harapan dari orang tua di kampung halaman. Sempat sih ingin pulang dan putus asa, namun mau di taruh mana muka ini bila pulang tanpa gelar disandang.

Perjuangan itu selesai saat senyum Bapakku tersungging menyaksikan aku diwisuda, awal 2012. Ibu, kakak, adik-adikku tak bisa ikut menyaksikan prosesi keramat itu. Padahal, aku ingin jua melihat mereka tersenyum. Apalagi kalau bukan ongkos mahal penyebabnya. Tapi tak apalah, syukur bapak bisa hadir menemani. Kulihat wajah tuanya begitu bangga.

Tak banyak kata yang diucapkan saat itu. Namun dari cerita Ibu ketika bapak tiba di rumah, beliau langsung memajang foto wisudaku di ruang tamu. Bahkan, toga yang kupakai saat wisuda, ia pigura dan dipajang di ruangan yang sama. Kepada ibu ia berkata, “Siapa sangka, seorang petani di desa terpencil, punya anak yang menjadi sarjana”. Tentu saja, masih kata Ibu, bapak dengan bangga mengatakan “Anakku jadi sarjana” kepada tetangga-tetanggaku yang bersilaturahmi ke rumah. Di desaku, saat itu baru bapakku yang punya anak seorang sarjana.

Setelah menikah, punya anak dan pekerjaan nyaman di salah satu media besar di Indonesia, aku merasa semuanya itu cukup. Namun entah kenapa, rasa ingin belajar lebih tinggi mendorongku untuk melanjutkan studi. 2016 kuberanikan diri mendaftar untuk program magister. Baru tiga bulan kuliah, perusahaanku melakukan PHK massal. Aku salah satu dari ribuan korbannya. Ujian itu memang sangat berat.

Ibuku harus pergi meninggalkanku saat aku mencoba meraih mimpi itu. Dua tahun berselang, giliran bapak yang menyusul Ibu. Aku bisa apa? Keluargaku, adik-adikku yang masih kecil dan sudah menjadi yatim piatu itu, kuliahku, semuanya terasa berat. Ingin berhenti saja, tapi diri tak kuasa. Apapun alasannya, aku harus menyelesaikan apa yang aku mulai.

Hari ini, 29 Januari 2020 adalah sejarah dalam hidupku. Dalam prosesi yang sama seperti 2012, aku berhasil menyelesaikan studiku. Di barisan belakang, hanya ada bapak dan ibu mertua, adik ipar, keponakan, istri dan anak lelakiku yang menemani. Tentu saja, aku yakin bapak dan ibu ada di ruangan itu, melihatku dengan penuh bangga dalam dimensi ruang yang berbeda.

Hari ini aku merasakan betapa besarnya kekuatan mimpi. Kini mimpi itu, yang bermula dari buku Geografi di SD itu telah nyata. Bahwa takdir itu bisa diubah, hanya dengan kemauan kuat dan mimpi tinggi. Kukabarkan padamu, ini nyata, kawan…masih belum percaya dengan kekuatan mimpi? Aku sudah buktikan, jadi bermimpilah setinggi langit, maka Tuhan akan merengkuh mimpi-mimpimu itu.

Ini kisahku, dan kelak akan kuceritakan pada anak dan cucu

Semarang, 29 Januari 2020

Penulis: Andika Prabowo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *