Dibalik efuoria pesta tahun baru 2020, kita kembali dihadapkan pada bencana banjir yang sedang melanda ibu kota Jakarta. Hujan yang terus menerus mengguyur semenjak malam tahun baru, menimbulkan dampak di berbagai wilayah DKI Jakarta. Banjir, memang bukan hal baru bagi warga Jakarta. Masalah banjir disisi lain adalah persoalan klise warga DKI dari zaman VOC yang menghantui masyrakat DKI setiap kali musim hujan tiba.
Peradaban modern yang saat ini kita rayakan jika ditelisik mendalam mengandung berbagai kontrakdiksi. Modernitas berhasil meningkatkan taraf kehidupan manusia dengan kemajuan teknologi dan informasi. Namun, modernitas juga berhasil membawa kualitas kehidupan manusia menjadi kering, gersang dan teralienasi. Keberhasilan dalam wilayah materialistik harus dibayar mahal dengan permasalahan lingkungan hidup.
Anthony Giddens secara dramatis melihat kehidupan modern ditandai oleh alam yang tidak lagi alami. Ekosistem sudah tidak lagi bekerja sesuai sunnatullah karena manusia telah mengintervensi alam terlalu jauh bahkan eksploitatif. Banjir hanya satu akibat dari bermacam-macam akibat kerusakan lingkukan hidu yang berasal dari kegagalan manusia memahami relasinya dengan alam.
Semua persoalan lingkungan hidup dimulai ketika manusia memahami alam sebagai objek yang tidak memiliki nilai sakralitas. Era pencerahan ( enlightment) yang berkembang di peradaban barat memproyeksikan kehidupan manusia modern yang akan mencapai puncak kebahagiaan ketika alam mampu dikelola sebaik mungkin demi kepentingan manusia sendiri. Kemudian ilmu pengetahuan menjadi pemicu bagi narasi besar tersebut. Agama mengalami marjinalisasi dan desakralisasi. Alam bukan diciptakan oleh kekuatan diluar manusia ( baca : Tuhan ) tetapi hasil evolusi panjang ide materialisme.
Ide pencerahan memang berhasil membuktikan hipotesisnya bahwa manusia akan mengalami kesejahteraan ekonomi – dengan asumsi kesejahteraan material menjadi prasyarat kebahagiaan hidup – dengan segala resiko yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ilmu pengetahuan sekuler dahulu yang dipercaya sebagai tumpuan peradaban manusia modern sekarang menunjukan wajah aslinya.
Manusia modern sampai pada krisis disegala aspek dimensi kehidupan. Sayyed Husain Nasr dalam bukunya Islam and the plight of modern man menjelaskan bagaimana masalah krisis dewasa ini disebabkan manusia telah melupakan hakekatnya sebagai makhluk religius. Hal ini mempengaruhi cara pandang manusia terhadap alam.
Alam dalam cara pandang manusia modern sekular sebagai pelayan kepentingan manusia. Secara ekstrem, alam dieksploitasi dan dikapitalisasi oleh manusia guna memenuhi sifat keserakahan manusia demi akumulasi kapital. Cara pandang demikian menimbulkan alam mengalami kerusakan yang akhirnya membawa persoalan lingkungan hidup seperti banjir, tanah longsor, global warming, sampah dan sebagainya. Semua krisis yang kita alami berangkat dari cara pandang demikian.
Kegagalan narasi besar yang diusung ide pencerahan di abad 18 menjadi peringatan bagi manusia bahwa sekularisme merupakan kesalahan berfikir manusia sepanjang sejarah peradaban. Apabila membuka kembali teks-teks agama, sebenarnya watak manusia yang eksploitatif digambarkan sejara jelas dan eksplisit. Manusia diprediksi secara presisi akan melakukan kerusakan di bumi ini (Q.S Al-baqarah : 11), kapitalisme dengan logika material merusak daratan dan laut (Q.S Al-Rum : 41-42), serta standard moral manusia terhadap alam yang harus dijaga (Q.S Al A’raf 58-58).
Islam memandang alam semesta kreasi dari Tuhan. Manusia diperintahkan untuk mengelola alam demi kepentingan manusia sebatas memenuhi kebutuhan hidup di dunia tanpa watak eksploitatif ( Q.S Al-baqarah : 30 ). Jadi, islam tidak mengenal logika kapitalisme yang menjadi sumber kerusakan di muka bumi.
Sayyed Husain Nasr melihat persoalan lingkungan hidup berakar dari jauhnya peradaban manusia modern dari intervensi tuhan. Orang beragama tidak memandang alam sebagai objek melainkan subjek. Lebih lanjut menurut Nasr, sufisme yang berkembang dalam ajaran islam secara inherent membuka hubungan harmonis dengan alam. Dalam pemahaman sufisme Islam, alam adalah pancaran ilahiah. Alam menjadi bahan untuk melakukan proses kontemplatif dan reflektif sehingga manusia semakin mensyukuri tanda-tanda kebesaran penciptaan Allah swt ( Q.S Ali Imran : 190-194).
Konstruksi berfikir Islam yang berwatak ekologis secara tidak langsung diaffirmasi oleh para pemikir postmodern. Pemikri post-modern seperti Derrida dan Heiddeger menolak mitos ide pencerahan. Mereka menganggap modernisme lebih membuktikan kegagalannya daripada keberhasilannya dalam membawa manusia ke jalan kebahagiaan. Sebab dari seluruh argument post-modernisme meskipun masih sekular, sejalan dengan ide ajaran Islam bahwa manusia perlu melihat alam tanpa logika subjek-objek. Seluruh tulisan mereka mengarah pada sifat desktruktif yang ada pada paham kapitalisme dan liberalisme sebagai anak kandung modernisme.
Jika peradaban barat sudah gagal memimpin peradaban ini, bukan hal tidak mungkin jika peradaban manusia di era mendatang akan digantikan oleh ajaran Islam dan tradisi ketimuran lainnya yang lebih menunjukan watak ekologis ditengah isu lingkungan hidup yang semakin lama semakin mengalami krisis.