Ibu, Penyejuk Kalbuku

Bagiku, ibu adalah penyejuk kalbu. Laiknya embun dibalut kabut pagi, ibu menyejukkan hati ini. Tatkala sepi mulai membunuh diri, ibu hadir mendekap, menenangkan dengan penuh perhatian. Usapan lembut jari jemarinya seolah ingin berkata “ tidak ada yang perlu dirisaukan, nak. Semua pasti akan baik-baik saja.” Sungguh, seketika hati ini merasakan kesejukan yang luar biasa. Sepenggal bait yang sangat berharga maknanya. Dengan tertatih-tatih disertai rasa cemas, ibu menggerakkan tubuh rentanya untuk melakukan peran sebagai malaikat tanpa sayap. Menjaga dan merawat anak-anaknya dengan perasaan suka tak mengharap balas.

Guratan senyum yang terlukis indah di wajah ibu bercampur dengan lekuk tanda usia senja. Dia tiada henti berjuang untuk mewujudkan mimpi sang putra/putri tercinta, mulai dari melahirkan hingga membesarkannya. Susah payah mengandung lebih dari sepuluh bulan ditambah rasa sakit saat melahirkan, tak ayal membuat ibu memperoleh posisi yang spesial. Lihatlah seberapa besar usaha dia hanya agar dapat menyenangkan kita. Lantas masihkah tega diri kita menyakiti dan membuat dia kecewa? Mari kita renungkan bersama.

Ibu bukan hanya berperan sebagai ibu yang teladan, melainkan lebih dari yang dibayangkan. Terkadang dia memposisikan diri sebagai guru yang dengan telaten mengajari mekanisme kehidupan dan tata moral. Kadang berperan bak atasan (bos) yang siap melayangkan cuitan pedas, tapi membangun karakter dan mental. Tak jarang juga memposisikan diri sebagai teman yang setia mendengar keluh kesah sekaligus memberikan solusi atas permasalahan yang tengah kita hadapi. Sungguh sosok yang hebat bukan?.

Namun sayang,  rasa kasih dan cinta seorang ibu tak semuanya dijadikan bahan perhatian. Akibatnya, ada yang mengacuhkan ada pula yang mengesampingkan dedikasinya yang begitu besar. Banyak di antara mereka yang abai, bahkan tiada hormat kepada dia. Ditambah dengan pesatnya perkembangan zaman membuat anak terbuai akan kemudahan-kemudahan yang didapatkan. Mayoritas dari mereka lebih pro atau mementingkan produk teknologi yang kekinian seperti gadget daripada memperdulikan cinta ibu. Tak jarang, mereka malah menyakiti hatinya. Padahal, berdosa hukumnya apabila membuat hati ibu terluka.

Pepatah mengatakan “Biarpun shalatmu beribu-ribu rakaat, sedekahmu berjuta-juta rupiah, hajimu berkali-kali, hartamu bertumpuk-tumpuk banyaknya, tapi saat kau lukai hati ibumu, maka syurga bukan milikmu.” Naudzubillah. Semoga kita dijauhkan Allah dari perangai tersebut.

Tidak menyusahkan dan tidak melukai hati merupakan salah satu bentuk bakti kita kepada ibu. Berbakti kepadanya sudah menjadi kewajiban yang harus dilakukan seorang anak. Keutamaan berbakti kepada orang tua, terutama ibu telah dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir (2/298). Di situ diterangkan bahwa berbakti kepada mereka adalah hal yang penting, karena melalui merekalah kita bisa lahir ke dunia.

Lantas, bagaimanakah kategori anak yang berbakti itu? Apakah yang hanya diartikan secara literal saja?. Banyak ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits yang memberikan contoh bagaimana cara agar dapat termasuk ke dalam kategori anak berbakti. Misal dalam al-Qur’an surat Al Isra ayat 23. Kandungan dalam ayat tersebut, menerangkan secara jelas bagaimana kiat-kiat menjadi anak berbakti. Di antaranya adalah tidak membentak, mengucapkan perkataan yang baik, menuruti perintah dia asalkan masih berada pada koridor islam, dan masih banyak lagi cara berbakti terhadap ibu.

Kita bisa meneladani tokoh Uwais al-Qarni yang terkenal dengan pengabdiannya kepada ibu. Ibu menjadi titik fokus (poros) bagi Uwais al-Qarni di dunia, sampai jarang bahkan tidak ada orang yang kenal dengannya. Namun, di situlah berkah Allah mengalir dengan deras. Uwais memang jarang bahkan tidak dikenali di bumi, tapi para penghuni langit kenal dengan dia, karena besar baktinya kepada ibu. Selain itu, Allah telah menyediakan balasan bagi mereka yang berbakti  kepada ibu dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih. Balasan yang tiada tara dan tak terbilang indahnya, apalagi kalau bukan surga.

Tidak salah, apabila ada ungkapan “surga berada di telapak kaki ibu.” Sebab, menjadi seorang ibu tidaklah mudah. Banyak beban dan tanggung jawab yang harus di pikulnya. Mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus suami, mengurus anak, dan pekerjaan lain di luar rumah yang menyita waktu dan pasti melelahkan. Namun, ketika berhadapan dengan kita sebagai anak-anaknya, rasanya tidak nampak raut muka letih. Sebenarnya, bukan ibu tidak merasakan, hanya saja ia pandai menutupi kelelahan agar kita tidak melihatnya. Agar curahan kebahagiaan saja yang kita tangkap. Benar-benar perempuan yang tangguh. Tindakan ibu yang demikian, membuat kehadirannya menjadi penentram dan penenang. Oleh sebab itu kusebut ibu sebagai penyejuk kalbuku.

Wahyuni Tri Ernawati, Civitas BPUN Grobogan 2019, Mahasiswi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisomgo Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *