Hukum Internasional dan Kemanusiaan : Antara Prinsip dan Realistis Perang

*Oleh: Hanum Salsabilla, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti

Hukum Internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan menjadi pilar penting dalam mengatur perilaku negara serta entitas-entitas Internasional lainnya selama konflik dan peperangan.

Tujuannya tidak hanya untuk membatasi dampak destruktif perang, tetapi juga untuk melindungi martabat manusia, terutama mereka yang paling rentan.

Namun, apakah keberadaan hukum dan prinsip tersebut cukup tanpa adanya komitmen nyata untuk menegakkannya? Realitas di lapangan sering kali menunjukkan kesenjangan besar antara norma ideal dengan praktiknya.

Bacaan Lainnya

Kesadaran global tentang pentingnya melindungi manusia di tengah kekerasan perang semakin menguat setelah tragedi Perang Dunia II. Perang tersebut memperlihatkan dampak yang begitu menghancurkan, tidak hanya pada militer tetapi juga pada penduduk sipil.

Hal tersebut mendorong terciptanya Konvensi Jenewa tahun 1949, sebuah tonggak Hukum Humaniter Internasional yang terdiri dari empat perjanjian utama. Konvensi ini memberikan perlindungan terhadap tentara yang terluka, personel medis, tawanan perang, dan penduduk sipil.

Empat dekade kemudian, relevansi Konvensi Jenewa semakin diperluas melalui Protokol Tambahan I dan II Tahun 1977. Protokol-protokol ini memperjelas prinsip-prinsip perlindungan dalam konflik bersenjata Internasional dan Non-Internasional, terutama melalui : Prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan, Larangan serangan terhadap penduduk sipil, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 Protokol Tambahan 1 dan Pembatasan penggunaan senjata yang menyebabkan penderitaan berlebihan yang telah diatur dalam Konvensi Senjata Konvensional Tahun 1980 (CCW) dan protokol-protokolnya.

Hukum Humaniter Internasional berlandaskan pada tiga prinsip utama yang menjadi pedoman universal dalam situasi konflik bersenjata, yaitu: Prinsip Kemanusiaan, Prinsip Pembedaan, dan Prinsip Proporsionalitas. Namun, penerapan prinsip-prinsip ini juga menghadapi berbagai tantangan besar, di antaranya yaitu :

Pertama, Konflik Asimetris. Dalam perang modern, seperti perang melawan terorisme, entitas non-negara seperti kelompok bersenjata sering kali tidak tunduk pada aturan internasional.

Sebagai contoh, konflik di Suriah memperlihatkan bagaimana pihak-pihak non-negara menggunakan taktik perang yang tidak konvensional, termasuk menyerang penduduk sipil dan menggunakan senjata kimia yang jelas melanggar Konvensi Senjata Kimia Tahun 1993.

Kedua, Kepentingan Geopolitik. Konflik di Yaman menunjukkan bagaimana kepentingan strategis negara-negara besar dapat mengabaikan norma kemanusiaan yang ada.

Intervensi militer oleh berbagai entitas Internasional sering kali lebih didorong oleh kepentingan politik dibandingkan upaya melindungi penduduk sipil, sehingga mengabaikan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB, terutama pada Pasal 1 ayat (3) yang memprioritaskan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Ketiga, Mekanisme Penegakan Hukum yang Lemah. Pelanggaran berat hukum humaniter, seperti genosida di Myanmar terhadap komunitas Rohingya, seringkali tidak mendapatkan sanksi yang sepadan.

Mekanisme Internasional seperti Internasional Criminal Court (ICC) memiliki keterbatasan yurisdiksi, sehingga banyak pelaku kejahatan berat tetap lolos dari hukuman, dan Keempat, Minimnya Edukasi tentang Hukum Humaniter.

Di berbagai wilayah yang memiliki konflik, pemahaman tentang hukum humaniter masih sangat rendah, baik di kalangan masyarakat umum maupun kalangan militer. Hal ini memperburuk pelanggaran, karena banyak pihak yang bahkan tidak mengetahui hak dan kewajiban mereka di bawah hukum internasional.

Solusi Konkret

Maka solusi untuk mengatasi hal-hal tersebut adalah:

Pertama, memperkuat penegakan hukum dengan cara meningkatkan peran lembaga internasional seperti ICC dan International Criminal of Justice (ICJ) agar lebih efektif.

Kedua, mengedukasi masyarakat, terutama di wilayah konflik, mengenai pentingnya hukum humaniter agar aturan ini dipahami dan dihormati.

Ketiga, memprioritaskan diplomasi dan dialog damai sebagai pendekatan utama dalam menyelesaikan konflik, menggantikan penggunaan kekuatan militer.

Keempat, memantau dan mengendalikan penggunaan senjata mematikan melalui kolaborasi Internasional yang lebih kuat, sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Pelarangan Senjata Nuklir Tahun 2017.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah : apakah prinsip kemanusiaan dapat benar-benar diterapkan di dunia yang penuh konflik dan kepentingan politik? Jawabannya terletak pada komitmen bersama untuk menjadikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai prioritas utama.

Dunia membutuhkan upaya nyata untuk memastikan bahwa hukum humaniter bukan sekadar dokumen di atas kertas, tetapi pedoman hidup dalam menjaga martabat manusia di tengah perang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *