Tentang hujan….
Saat hujan, kita sering menghabiskan waktu bersama untuk berkeliling kota tanpa tujuan yang jelas. Dingin hujan selalu memaksamu memasukkan tangan ke saku jaketku. Kemudian aku menarik tangan kirimu dan menggenggamnya. Juga memainkannya di tangan kirimu, sambil tangaan kananku fokus memacu gas.
“Pakaikan helmnya dong”
“Pancikanmu koq susah sih, benerin dong”
“Tuh, benerin kaca spionmu. Daritadi menghadap ke aku terus. sengaja ya?”
Saat hujan pula, kita sering menghabiskan segelas kopi. Segelas untukmu, segelas untukku. Kita berciuman di bibir gelas masing-masing. Kita tidak terlalu ingin menikmati kopi saat hujan. Saat dingin. Bukan kopi yang bertugas menghangatkan, tapi lengan kita. Lalu mengapa harus ada kopi saat hujan? Itu karena kopilah yang membuat kita awalnya saling jatuh cinta. Kita hargai ia sebagai kenangan. Gelas kopi (saat hujan), tidak kita cuci, sampai sekarang. Dari itu, kita dapat menghitung jumlah pelukan yang memeluk hujan. Itu dulu, sekarang, gelas itu tak kuhitung lagi. Kugunakannya sebagai tempat menumpangkan rindu dan menampung air mata yang terjatuh oleh kopi, hujan, dan ingatan tentang kau yang jarak.
Tentang Kopi….
Kita barangkali tak seperti berpasang-pasang kekasih yang lain. Yang kau ceritakan kepadaku bahwa mereka sangat romantis. Aku tidak pernah merasa kalah. Memang, kita tidak memiliki kedai kopi langganan. Pun jenis kopi favorit. Yang penting kopi. Cukup. Kala sedang hujan, itu bonus bagi kita. Kalau ada ciuman, itulah yang kita permasalahkan, setelahnya. Mengapa rasa kopimu tidak seperti pesananku? Mengapa kau minum kopi yang terlalu panas? Mengapa ampasnya belum begitu halus? Ketiga pertanyaan setelah, selalu bergantian–kita tukar–terus dan terus. Seusai meminum kopi.
Tentang mantan kekasih….
Kau jika mengingatku, seduhlah kopi. Bayangkan kau hendak menandaskan masa lalu yang serupa air kopi. Begitu cara mengenang yang baik, bukan? Merasakan pahit, namun meniadakan kelam, seperti meminum kopi. Jangan sisakan ampasnya. Jika berarti mengenang, maka ampas adalah luka. Habiskan, meski pahit, seperti meminum kopi, beserta ampas.
Sekarang tidak hujan, di kamarku yang semua berwarna biru. Berwarna haru, katamu. Berwarna rindu, buatku. Aku menyeduh kopi. Dua gelas. Ini hari yang ketujuh aku melakukannya, tanpa hujan, tanpa kau. Kau tentu masih ingat aku tidak pernah bisa menandaskan isi dua gelas kopi. Aku masih begitu. Segelasnya lagi untuk menjamumu, kalau kau datang. Ini hari yang ketujuh, segelas kopi telah kusesap. Di dapurku kini, tujuh gelas kopi yang dingin–basi, menunggu kau menandaskannya, jika kembali.