Hadats Kecil dan Penyebabnya

Setelah kita tahu definisi thaharah, saatnya kita memperdalam pada jenis hadats. Dan sekarang mari kita bahas jenis hadats yang pertama, yaitu hadats kecil.

Hadats kecil adalah hadats yang cara mengangkatnya dengan wudhu’ atau tayammum. Lalu, apa saja penyebab seseorang berhadats kecil?

Mari kita cari tahu penyebabnya dengan mengambil dua referensi kitab yaitu Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq dan al-Fiqh al-Islmamy wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah az-Zuhaily.

  1. Keluarnya sesuatu dari qubul dan dubur;

Ulama’ sepakat bahwa apapun yang keluar dari qubul dan dubur, baik berupa benda cair seperti air kencing, wadi, mazi atau apapun yang cair, juga berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainnya. Dan juga benda gas seperti kentut. Semua itu masuk kategori hadats kecil.

Dalilnya yaitu pada potongan QS. an-Nisa’ [4] ayat 43 dan QS. al-Maidah [5] ayat 6 yang berbunyi;

جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

Artinya: atau datang dari tempat buang air.

Maksud potongan ayat di atas menunjukkan bahwa seseorang dihukumi berhadats kecil sebab mengeluarkan sesuatu dari qubul dan dubur.

  1. Tidur;

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw.

مَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأ

Artinya: Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu’ (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Tidur termasuk kategori hadats kecil, karena ketika seseorang tidur hilanglah kesadarannya. Apalagi jika tidur dengan posisi berbaring, telentang, tengkurap, meringkuk, miring atau bersandar pada dinding.

Adapun tidur dengan posisi duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri, tidak termasuk kategori yang menyebabkan seseorang berhadats kecil. Sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَنَسٍ رَضي الله عنه قاَلَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُنَ – رواه مسلم – وزاد أبو داود: حَتَّى تَخْفَق رُؤُسُهُم وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ

Artinya: Dari Anas Ra. berkata bahwa para shahabat Rasulullah Saw. tidur kemudian shalat tanpa berwudhu’ (HR. Muslim) – Abu Daud menambahkan: Hingga kepala mereka terangguk-angguk (karena kantuk) dan itu terjadi di masa Rasulullah Saw.

Baca Juga  Fiqih Thaharah: Hukum Jilatan Manusia dan Hewan

Hadits di atas menegaskan bahwa posisi tidur yang tidak menyebabkan seseorang berhadats kecil yaitu dalam posisi tamakkun (tetap) di atas bumi.

  1. Hilang akal;

Para ulama’ sepakat bahwa penyebab seseorang berhadats kecil adalah ketika seorang minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri, orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan, dan gila, dimana dalam keadaan seseorang kesadarannya sempat hilang beberapa waktu

Adapun dalilnya adalah qiyas. Mengqiyaskan dengan berhadats kecilnya orang yang tidur. Karena orang yang tidur dan orang yang hilang akal tidak bisa mengetahui ada yang keluar atau tidak dari qubul dan dubur. Dan juga tidak bisa mengontrol keluarnya sesuatu dari qubul dan dubur.

  1. Menyentuh kemaluan dengan kulit ;

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw. :

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ

Artinya: Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu’. (HR. Ahmad dan at-Tirmidzy)

Para ulama’ kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan seseorang berhadats kecil. Baik menyentuh kemaluannya sendiri atau pun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang masih hidup atau pun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama’ memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh, maka seseorang berhadats kecil.

Namun para ulama’ mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan, maka hal itu tidak menjadikan seseorang berhadats kecil.

  1. Menyentuh lawan jenis yang bukan mahram.

Di dalam mazhab Syafi’iyah, menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram menjadikan seseorang berhadats kecil. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama’. Sebagian mereka tidak memandang demikian.

Baca Juga  Salah Memahami Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu

Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat al-Quran yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.

Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa : 43)

  1. Pendapat Yang Membatalkan

Sebagian ulama makna kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan. Maksudnya adalah jima` (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, bukan penyebab seseorang berhadats kecil.

Ulama’ kalangan Syafi`iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu menjadikan seseorang berhadats kecil.

Menurut mereka, bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.

Dan Imam Syafi`i nampaknya tidak menerima hadits Ma`bad bin Nabatah dalam masalah mencium.

Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi`iyah, maka kita juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya, sebagian mereka mengatakan bahwa yang menjadikan seseorang berhadats kecil adalah yang sengaja menyentuh, sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh, maka tidak batal wudhu`nya atau menjadikan seseorang berhadats kecil.

Baca Juga  Sumber Najis: Manusia [Bagian I]

Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka, bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu` atau menjadikan seseorang berhadats kecil.

  1. Pendapat Yang Tidak Membatalkan

Sebagian ulama lainnya memaknainya secara harfiyah, sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti pisik atau menjadikan seseorang berhadats kecil atau termasuk hal yang membatalkan wudhu`. Pendapat ini didukung oleh Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.

Sedangkan Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah), maka barulah sentuhan itu atau menyebabkan seseorang berhadats kecil atau membatalkan wudhu`.

Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah Saw pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu` lagi.

عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِى ثَابِتٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. قَالَ عُرْوَةُ فَقُلْتُ لَهَا مَنْ هِىَ إِلاَّ أَنْتِ فَضَحِكَتْ

Artinya: Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah Saw. mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu`”. Berkata ‘Urwah, maka aku bertanya kepada Aisyah,”Siapakah istri yang dimaksud kecuali anda?”. Lalu Aisyah tertawa.( HR. Tirmizi Abu Daud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).

Adapun penjelasan tentang hadats besar, In Syā’a Allah akan dibahas pada pembahasan khusus tersendiri. Wa Allāhu a’lām bi ash-shawwāb.

Muhammad Abu Nadlir
Direktur Monash Institute Semarang

    Seberapa Seriuskah Menteri Nadiem?

    Previous article

    Minta Dibelikan Kambing

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Fikih