Seberapa Seriuskah Menteri Nadiem?

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pendiri Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Desa Mlagen, Pamotan, Rembang. Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ

Sejak awal dilantik, Menteri Nadiem termasuk di antara yang menjadi sorotan. Sebab, di samping dia masih sangat muda, juga telah dikenal sebagai pembuat aplikasi Go-Jek dan tidak bergelar profesor doktor. Padahal, sebelumnya, jabatan yang dijabatnya selalu diisi oleh orang dengan gelar akademik tertinggi dan memiliki pengalaman panjang dalam dunia pendidikan sebagai pendidik dan/atau tokoh yang dikenal sukses memimpin institusi dengan fokus pendidikan, bukan sekedar menjadi peserta didik.

Dalam hal penampilan, Menteri Nadiem memilih penampilan yang berbeda, sampai-sampai dikritik oleh banyak orang. Dalam gagasan, sejak awal, Nadiem juga mewacanakan perubahan. Yang kini menjadi perbincangan di kalangan praktisi pendidikan adalah penghapusan UN, pengutamaan pada literasi dan numerasi, dan isu zonasi yang akan diubah lagi.

Berkutat pada tiga hal itu sesungguhnya bagaikan menggaruk berulang-ulang bagian yang tak gatal. Kelihatannya memang ada gerakan melakukan sesuatu, tetapi sesungguhnya tidak memberikan efek positif apa pun. Salah-salah bahkan bisa menimbulkan luka dan berefek negatif ke mana-mana.

Menteri Nadiem, dengan kekuasaan besar di tangannya, mestinya menemukan inti permasalahan pendidikan di negeri ini. Tiga hal yang kini dianggap persoalan itu sesungguhnya hanyalah persoalan baru yang muncul disebabkan oleh satu persoalan yang menjadi ini. Dan itu adalah aspek pendidik alias guru. Saat ini, guru, baik secara kualitas maupun kuantitas, sangatlah kurang memadai.

Jika guru berkualitas dan jumlahnya cukup, maka kebijakan apa pun yang diterapkan, akan bisa dijalankan dengan baik dan optimal. Namun, jika guru masih sebagaimana adanya sekarang ini, dibolak-balik seperti apa pun kebijakan, tidak akan terjadi perubahan signifikan sebagaimana diwacanakan. UN menyebabkan stress siswa, guru, dan juga orang tua, karena semuanya tidak yakin bahwa murid tidak mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan.

Tidak ada kepastian itu karena kemampuan sebagian besar guru tidak memungkinkan untuk itu. Ditambah lagi dengan jumlah guru yang dipastikan tidak memungkinkan untuk menangani jumlah murid yang terlalu banyak. Itulah sebab, orang tua tetap memasukkan anak ke lembaga bimbingan belajar. Mereka ingin agar anak mendapatkan perlakuan spesial dan kemampuannya dipastikan.

Dunia pendidikan di Indonesia diwarnai oleh banyak sesat pikir yang menyebabkan persoalan utama pendidikan tak terlihat. Sebutan sekolah favorit misalnya. Banyak yang mengira bahwa sekolah favorit adalah sekolah yang di dalamnya terdapat guru-guru dengan kualitas di atas rata-rata. Sebenarnya tidak juga. Yang terjadi sesungguhnya adalah sekolah itu berhasil menarik murid-murid yang paling berkualitas, sehingga proses belajar mengajar bisa berjalan dengan lebih optimal.

Bahkan seandainya mereka tidak diajar pun, di level sekolah menengah, apalagi dengan disiplin ilmu sosial, mereka bisa pintar dengan sendirinya. Sekolah negeri favorit biasanya adalah sekolah yang telah berusia tua. Sebab di situlah terkonsentrasi SDM-SDM murid unggul. Di antara contoh bahwa sekolah yang dianggap sekolah unggul sesungguhnya hanyalah sekolah yang mengumpulkan murid-murid pintar adalah proyek MAPK, sebuah proyek pendidikan yang dibuat oleh Menter Agama Munawir Sjadzali dan berjalan pada 1987-1993.

Karena yang mendapatkan kesempatan menempuh proses pendidikan di dalamnya adalah SDM terbaik lulusan MTs dengan iming-iming beasiswa dan tinggal di asrama, maka MAPK menjadi primadona. Namun, ketika proyek MAPK dihentikan, sekolah-sekolah bekas MAPK itu menjadi sekolah yang biasa-biasa saja. Itu menunjukkan bahwa guru belum menjadi faktor determinan yang bisa membuat murid-murid yang biasa-biasa saja menjadi luar biasa.

Secara lebih lugas, bisa dikatakan bahwa peran guru belum optimal dalam membantu meningkatkan kualitas SDM. Sebab, yang menjadi guru saat ini secara umum bukanlah SDM terbaik. Bahkan, menjadi guru sebenarnya sama sekali bukan pilihan. Menjadi guru seringkali hanyalah sekedar jalan untuk menghindari status sebagai sarjana pengangguran dan pengangguran sarjana.

Jika ditambah dengan tugas guru untuk melakukan transfer nilai, persoalannya akan menjadi lebih berat lagi. Guru haruslah benar-benar sosok ideal yang tidak hanya memiliki kualitas keilmuan yang mumpuni, tetapi juga memiliki sikap hidup untuk mengamalkan, membumikan, dan mentradisikan keilmuan itu dalam kehidupan sehari-hari yang bisa dilihat secara langsung oleh para peserta didik. Dan ini tentu saja memerlukan SDM berkualitas terbaik, tidak cukup dengan SDM berkualitas medioker.

Kerena itu, Menteri Nadiem akan baru bisa dikatakan serius melakukan perubahan pendidikan di Indonesia apabila ia menyentuh persoalan pokoknya. Yang digaruk adalah benar-benar bagian yang dirasa gatal alias bermasalah. Jika tidak, ia hanya mengulang-ulang saja yang dilakukan oleh para pendahulunya yang sudah terbukti tidak mampu memberikan perubahan yang dijanjikan. Justru yang dilakukan hanyalah menyebabkan kebingungan, karena kebijakan yang baru saja dilaksanakan dan belum terlihat indikator berhasil atau gagalnya, sudah diubah kembali. Fatalnya lagi dilonggarkan seperti sebelumnya.

Harus ada kebijakan yang diorientasikan untuk mulai mendapatkan guru-guru yang tepat. Di antara langkah yang bisa diambil adalah sebagai berikut:
Pertama, melakukan penempatan ulang guru pada level yang tepat. Keberadaan guru harus benar-benar bisa menghasilkan SDM unggul melalui sebuah sistem pendidikan. Indikator keberhasilannya adalah murid berkualitas secara massal. Jika yang jumlah murid yang berkualitas hanyalah satu dua gelintir saja, maka itu tanda bahwa guru belum memiliki peran signifikan. Untuk ini, bisa dilakukan assesment terhadap guru-guru yang sudah ada, guna menempatkan orang yang tepat pada tempat yang tepat.

Kedua, melakukan diklat peningkatan kualitas guru dengan indikator yang rigid. Jika sudah mendapatkan diklat, tetapi kualitas minimal tidak mencukupi untuk menjadi guru yang diharapkan menjadi bagian dari pencipta perubahan, maka tidak ada pilihan lain kecuali menempatkan pada posisi lain yang tepat dan dipensiunkan lebih dini. Harganya mungkin akan mahal. Namun, masa depan generasi ini jauh lebih mahal, dan bahkan segala-galanya untuk negara ini.

Ketiga, menjadikan profesi guru sebagai profesi yang membanggakan. Profesi guru harus bisa mengungguli profesi dokter, advokat, akuntan, dan juga yang lainnya yang biasanya dikenal sebagai sumber penghidupan yang bisa diandalkan. Negara perlu melakukan semacam untuk memicu ini, agar di masa depan, guru ada orang-orang dengan kualitas terbaik. Dengan kualitas itu, akan ada implikasi besar dalam aspek-aspek lainnya.

Keempat, melakukan rekrutmen guru dengan benar-benar melihat kompetensi unggul dengan standar mampu menjadi pencipta dan pelaku inovasi. Ada beberapa strategi yang bisa ditempuh, di antaranya merekrut lulusan terbaik universitas excellent lalu dibina menjadi guru, atau mengulang seperti proyek MAPK dengan ikatan menjadi guru masa depan.

Guru baru jangan sampai menambah masalah sektor pendidikan. Sebab, guru adalah mata air. Jika sudab keruh di mata airnya, maka semuanya akan menjadi keruh dan menyebabkan penyakit ke banyak tempat dan banyak orang. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Respon (1)

  1. guru ada orang-orang dengan kualitas terbaik. Dengan kualitas itu, akan ada implikasi besar dalam aspek-aspek lainnya.

    Jika sudah keruh di mata airnya, maka semuanya akan menjadi keruh dan menyebabkan penyakit ke banyak tempat dan banyak orang.

    Ini harus nya yang jadi patokan, master key.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *