Guru menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan. Tanpanya, pendidikan tak akan jalan sesuai tujuan. Karena itu, faktor utama keberhasilan pendidikan adalah guru yang berkualitas. Guru yang hebat lah yang akan melahirkan murid yang hebat. Dalam konstruksi pendidikan modern, para guru dituntut untuk melahirkan generasi yang lebih hebat dibanding mereka.
Guru merupakan penunjuk jalan. Saat murid mulai bereksplorasi dalam dunia ilmu, guru menjadi navigator untuk mengarahkan murid ke mana dia harus menempuh perjalanan. Petunjuk yang tepat akan membawa murid ke arah tujuan yang terang untuk masa depan. Begitupun sebaliknya, apabila guru tidak memahami jalur yang harus ditempuh, maka murid pun akan berpotensi untuk tersesat.
Pada umumnya, tugas guru dipahami hanya sekedar mengajar atau transfer of knowledge, sehingga kegiatan mengajar menjadi satu arah dari guru kepada murid. Akibat satu arah yaitu murid paham atau tidak bukanlah menjadi soal. Melakukan transfer ilmu memerlukan pengujian apakah murid yang diajar memahami apa yang telah diajarkan. Transfer of knowledge akan berhasil apabila guru mampu mengelola dan mengolah materi pelajaran dan mampu memilih metode yang efektif dan efisien, agar murid benar-benar memahami dan mudah menerima pelajaran.
Semua itu merupakan gambaran ideal yang harus dilakukan guru sebelum mengajar. Itu yang selalu dilakukan oleh Dr. Mohammad Nasih dalam mengelola rumah perkaderan Monash Institute. Abah Nasih, begitu kami memanggilnya, merupakan sosok guru yang progresif, inspiratif, dan selalu memastikan apakah disciples (panggilan untuk murid Abah Nasih) paham dengan apa yang telah diajarkannya. Beliau tak peduli meskipun harus mengetes satu per satu disciples untuk mengetahui sejauh mana pemahaman terhadap apa yang diajarkannya. Tak jarang Abah mengetes dengan meluangkan waktu seharian, berjibaku dengan setoran hafalan al-Qur’an, i’rab al-Qur’an, dan diskusi tentang materi-materi yang diajarkan.
Seorang guru harus mampu menunjukkkan jalan terbaik agar muridnya mampu menapaki jalan kesuksesannya. Begitupun Abah, sebagai sorang guru, Abah tidak rela anak didiknya bodoh apalagi dibodohi. Abah tidak menghalangi disciples untuk mengakses kebenaran, entah dari manapun sumbernya. Di era informasi yang sedemikian maju, Abah bahkan memberikan panduan bagaimana cara mengakses pengetahuan melalui situs internet, Google, misalnya.
Meskipun sekarang banyak yang menghujat validitas ilmu yang didapatkan dari Google. Mereka berangggapan, tanpa guru, maka akan keliru. Namun, tidak demikian dengan Abah. Abah mengibaratkan internet itu ibarat kampus, yang di dalamnya terdapat fakultas dan jurusan, serta dosen-dosen yang mengajar. Orang diberi kebebasan untuk memilih fakultas yang dia suka dan dosen yang benar. Jika di internet, ada yang menyesatkan, misalnya, di kampus juga ada pengajar yang demikian. Ada yang tidak memiliki kapasitas untuk menyampaikan ilmu, tapi mengajar. Demikianlah Abah menggambarkan belajar melalui internet.
Bagi Abah, kemajuan teknologi akan mempermudah kita mendapatkan ilmu, mengakses informasi, dan mengakses di luar jangkauan kita. Hanya perlu panduan bagaimana mendapat sumber terpercaya dan mesti pintar dalam mengkonfirmasi dan menfalsifikasi. Dengan demikian, disciples lebih mudah dan cepat meng-upgrade kualitas diri. Abah memberikan bimbingan yang mencerahkan sehingga disciples mampu mengetahui apa yang harus dilakukan. Selanjutnya, hal-hal yang belum jelas bisa didiskusikan lewat “jalan darat”.
Selain mencerahkan, Abah melakukan pemberdayaan disciples untuk ikut serta dalam suksesi kaderisasi Monash Institute. Abah memberikan ruang kepada disciples yang telah memenuhi kualifikasi untuk mengajar teman sebayanya. Bagi Abah, cara belajar yang efektif adalah dengan mengajar. Dengan mengajar disciples secara sadar akan terus belajar. Belajar dan mengajar merupakan satu kegiatan yang tak bisa dipisahkan. Mengajar adalah alternatif cara belajar yang terbaik.
Abah meyakini, bahwa saat guru mempunyai paradigma mengajar murid bagaikan mengisi gelas kosong, maka tidak akan banyak yang terisi ilmu. Mungkin akan banyak murid yang kagum, tapi kekaguman itu karena kebodohan. Kebodohan karena tidak mengerti dan tidak memahami ilmu-ilmu baru yang seharusnya para murid kuasai. Paradigma yang demikian menjadikan para pengajar tdk bisa dianggap sebagai pengajar sejati.
Pengajar sejati, menurut Abah, adalah yang mengobarkan api kepada anak didiknya. Ia memantik api, mengatur hembusan agar yang kecil bisa berkobar. Mengipas yang dalam arang dengan tepat agar bisa membara, sehingga murid tidak selalu menjadi murid. Tetapi, murid dengan kesungguhan dan penuh kesadaran ia akan terus belajar, sehingga ia mampu menjadi guru yang tetap berguru di mana pun tempat ilmu berada, sebagaimana yang dikatakan oleh Tan Malaka bahwa tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.
Paradigma mendidik yang salah, tentu tidak hanya tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi perkembagan si murid, tetapi juga sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradaban. Saat guru menganggap murid sebagai bejana kosong, maka ia tidak akan pernah mau memenuhinya, sebab ia akan diliputi ketakutan terhadap apa yang dimilikinya. Paradigma yang benar dalam forum pembelajaran, masalah ilmu antara guru dan murid adalah sama, yaitu sama-sama belajar. Guru tidak hanya mengajar, namun juga belajar seperti halnya murid. Itu yang akan memantik seorang guru untuk semangat dalam mengajar, sebab ia akan terus belajar dan menemukan ilmu baru.
Semua itu selalu disampaikan Abah saat kajian tafsir di Monash Institute. Abah selalu tertantang dan semangat untuk terus belajar. Sebab, saat mengajar, beliau menemukan ilmu dan inspirasi baru. Ia menerapkan sistem egaliter dalam forum pengajarannya. Semua disciples boleh bertanya bahkan menyanggah dengan argumen yang kuat terhadap apa yang diajarkannya. Dengan demikian, tidak hanya sami’naa wa atha’naa, tapi disciples harus mampu memahami untuk kemudian menggunakan ilmu baru yang didapatkannya sehingga menjadi sami’naa wa ‘arafnaa wa atha’naa. Disciples bisa leluasa berdebat dengan Abah, menanyakan sesuatu yang menurut mereka masih janggal, atau sekedar tanya karena belum mengetahui.
Abah pernah berkata: “Kesedian menjadi guru yang benar, adalah kesiapan menjadi “lebih bodoh” dibanding murid di masa depan.” Maksudnya, kesuksesan seoarang guru adalah menjadikan muridnya menjadi lebih pintar dan lebih baik darinya. Ia rela mengorbankan apapun demi kebaikan anak didiknya. Tidak hanya itu, bahkan rela menyediakan pundaknya untuk dijadikan pijakan agar seorang murid menjadi orang yang berhasil dan menjadi kader yang kelak mencerahkan umat dan bangsa. Inilah yang dilakukan Abah kepada disciples di Monash Institute.
Abah selalu bilang kepada disciples bahwa mereka harus menjadi lebih baik daripadanya. Ia rela menjadikan pundaknya sebagai pijakan agar disciples menjadi muslim-intelektual-profesional. Mendidik disciples agar menjadi orang yang cerdas, berkualitas, berkarakter, dan berhati tulus-ikhlas merupakan keinginan Abah. Jika disciples cerdas, maka tidak akan mudah tertipu, baik tertipu oleh orang yang ingin berniat jahat, maupun tertipu dengan gemerlap dunia yang fana’. Selanjutnya, jika disciples berhati maka akan mempunya empati. Karena dengan memiliki empati, disciples akan berusaha untuk selalu bermanfaat kepada sesama, melakukan perjuangan dengan maksimal, serta bersinergi untuk kebaikan umat dan bangsa. Insyaa’a Allah.
Abah memang guru yang ajaib. Jika seoarang murid melakukan kesalahan, Abah tidak segan untuk mengingatkan. Ini mungkin tampak wajar, andaikata terjadi di ruang kelas atau forum. Namun, bagaimana jika ini terjadi di kehidupan nyata dan yang melakukan adalah murid yang “sudah kedaluarsa” alias orang dewasa? Mereka yang sudah berumah tangga pun tidak luput dari hardikan guru ajaib ini, jika mereka melangkah di jalan yang salah. Demikian pun mereka yang salah, sangat berterima kasih kepada Abah, karena telah diingatkan. Mereka yang sadar akan keberadaan guru yang ajaib ini tidak pernah merasa jengah, “Saya sudah dewasa begini kok, kok masih diarah-arahkan. Saya tahu jalan yang terbaik untuk saya.”
Seorang guru yang ajaib itu bisa melihat jalan langsung dari atas, laiknya ia melihat peta. Abah dari atas melihat murid-muridnya berjalan untuk mencapai sebuah tujuan dengan mengambil berbagai jalan yang ada. Jika ternyata ada murid yang berjalan menuju jurang, maka Abah pun akan memberitahukan agar berbelok mengambil jalan kanan atau kiri, atau bahkan memintanya untuk berbalik arah. Demikian pula, murid yang akhirnya mengetahui itu, akan sangat bersyukur, karena telah terselamatkan dari masuk jurang terebut.
Begitulah Abah Nasih dengan penuh ikhlas mendidik disciples. Sosok guru sejati yang ajaib, pengobar api, penebar inspirasi, dan selalu bersedia mengorbankan apapun untuk generasi umat dan bangsa ini. Semoga Allah senantiasa meridhai dan merahmati perjuangan beliau sampai akhir nanti. Aamiin.
Oleh: Su’udut Tasdiq, Disciple 2011 Monash Institute, Katib Syuriah PCI Nahdlatul Ulama (NU) Tiongkok.
Editor: Anzor Azhiev