Doktor ‘Omah-Omah Ndalan’

Oleh: Dewi Robiah, Disciples Monash Institute 2015

Setiap individu memiliki cara untuk menjalani rutinitas kehidupannya, termasuk tentang bagaimana ia membentangkang harapan dan memandang tajam rute hidupnya. Banyak orang yang berpikir bahwa kesuksesan diukur dengan indikator rumah bagus, pekerjaan tetap dan mendapat hasil dari pekerjaan itu dalam waktu yang terjadwal.

Kerap kali seseorang mengukur hidupnya dengan rumus matematika; mengerjakan satu hal lalu mendapatkan hasilnya dengan hitung-hitungan yang jelas. Akan tetapi tak jarang orang mengeluh dan bergumam dengan dirinya sendiri: “Sudah banting tulang, tapi masih saja kurang.” Melihat hal tersebut, kerap kali penulis berdecak dalam hati, adakah yang salah dengan paradigma orang tersebut ataukah Tuhan kurang ikut campur untuk memberikan keberkahan?

Di antara orang-orang yang berpikir sebagaimana yang telah penulis paparkan, ada satu sosok yang ingin penulis kisahkan. Seseorang ini memiliki cara hidup yang ‘aneh’, Abah Nasih, begitu kami memanggilnya (dalam tulisan ini, akan penulis sebut Nasih saja). Dia tak memiliki rumah sebagaimana orang-orang kebanyakan.

Dia tinggal bersama dengan mertuanya di Semarang. Namun, ia ingin membangun 100 rumah yang di dalamnya dihuni oleh pasangan yang minimal salah satunya penghafal al-Qur’an dan juga memiliki variabel passion lainnya, sebagaimana konsep Madinah al-Fadhilah yang diusung oleh the propeth Muhammad Saw.

Bukankah itu sangat ‘gila’? Masukkah dalam logika berpikir? Harapan itu tidakkah hanya ada dan akan terwujud di dunia mimpinya belaka? Nasih mulai membangun big dreamnya dengan ‘jalan sunyinya’. Logikanya, kalau bangun 100 rumah saja bisa, masak tidak bisa membangun satu rumah untuk dia dan keluarganya. Tentu ini menjadi sangat menarik.

Kisah unik yang akan penulis tulis ini adalah tentang jalan hidupnya yang “nomaden”, yang dalam judul tulisan ini penulis sebut dengan ‘omah-omah ndalan’. Istilah itu sebenarnya pertama kali keluar dari untaian yang sering dilontarkan oleh ibu biologis Nasih, Hj. Hudhaifah, di Rembang Sana. Ibunya menyebut demikian, karena melihat aktivitas Nasih yang selalu wira-wiri dan menghabiskan waktunya dalam perjalanan. Bahkan suatu ketika, Ibunya pernah bertanya: “Aku nek dolan Semarang, meh mbok ampirke ning ndi?

Memang benar, dalam satu hari, Nasih bisa berada di banyak tempat secara bergiliran, iya dong masak secara bersamaan. Beberapa kota yang menjadi tempat aktivitas mingguannya adalah Jakarta, Semarang, dan Rembang. Tentu saja juga kota-kota lain, saat ia harus mendatangi undangan sebagai narasumber, pernikahan teman atau murid-muridnya. Begitulah, Nasih selalu berputar dari satu tempat ke tempat yang lain. Bukan ia tak memiliki tempat untuk menetap, tapi keberadaanya yang sangat dibutuhkan oleh komunitas atau organisasinya, yang membuatnya harus terus bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Tempat singgah ternyaman dan penuh ujian emosional adalah tempat ia berdialog dengan para anak ideologisnya dalam rumah perkaderan intensif ‘Monash Institute’ yang kerap ia juluki sebagai ‘jalan sunyi’. Tempat yang jauh dari bising dan gemerlapnya dunia, yang di dalamnya dihidupkan senyawa penyejuk saat memanasnya bumi manusia dengan tagline ‘Excellent with al-Qur’an’. Dan sekarang ada SMP Alam Planet NUFO di kampung halaman, Mlagen, Rembang sana, yang membuat Nasih tidak tidak bisa untuk tidak mengunjunginya seminggu saja.

Selain itu, Nasih kerap menjadi keynote speaker dalam diskusi-diskusi ilmiah bersama para muda-mudi yang tengah bergejolak gelora semangatnya. Nasih memang layak disebut orator ulung, berkat pengalaman masa lalu yang seorang demonstran. Forum-forum bersama anak muda tersebut ia jadikan sebagai kesempatan emas untuk mengikis sedikit demi sedikit perilaku hedonisme yang sangat membahayakan ‘keselamatan publik’ dan membawa mereka dalam kerangka berpikirnya yang tak silau dengan gebyaring dunya–gemerlapnya dunia.

Namun, Nasih tak bisa berharap banyak pada pertemuan singkat, karena mustahil memecahkan kerangka berpikir seseorang yang telah menjadi karang dalam otaknya-yang bisa jadi sudah terbangun sejak ia keluar dari rahim ibunya-dalam waktu yang singkat tanpa adanya pembinaan lanjutan, mungkin bisa, tetapi persentase keberhailannya sedikit.

Tak jarang juga, Nasih mendapat tawaran mengajar ngaji elite politik negeri ini. Nasih terpilih karena keunikan pembawaan diri dan substansi paradigma yang hidup dalam aliran darahnya. Di antara beribu orang yang bergelar doktor atau ilmuwan politik, Nasih adalah penyandang gelar ‘penjaga kalamullah’ alias penghafal al-Qur’an. Dengan bekal tersebut Nasih dianugerahi kemampuan mengintegrasikan gagasan dalam teori politik dengan paradigma qur’ani, sehingga tak jarang para petinggi-petinggi berdasi itu memanggilnya dengan julukan ‘Mas Doktor Ustadz’.

Bagi Nasih kesempatan bertatap muka dengan mereka bagaikan menemukan mutiara yang ada di dasar laut, bukan karena Nasih menginginkan kemewahan hidup bersama mereka tetapi dengan itu ia berkesempatan memberikan asupan-asupan khazanah intelektual Islam dalam isi kepala mereka, sang penentu kebijakan publik.

Nasih juga tidak enggan memenuhi undangan dari masyarakat awam. Ia mendatangi daerah ke daerah dengan maksud tablig, mensyi’arkan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dengan menyesuaikan tanggapan mereka. Nasih sering berpesan pada anak-anak ideologisnya: “Jangan sekali-kali kalian menjadi beban umat.” Nasih selalu menegaskan bahwa ilmu itu tidak untuk dikomersilkan karena itu adalah warisan nabi yang harus disebarluaskan. Jadi, setiap individu harus beres dengan dirinya sendiri, spesialnya masalah finansial, agar bisa kemanapun tanpa mengharap salam tempel.

Safar yang Nasih jalani bukan karena ia tak memiliki pekerjaan yang membuatnya bisa kelayaban sesuka hatinya. Menembus batas itu, ia memiliki pekerjaan yang mengharuskannya duduk dan datang setiap hari ke ruangan dingin nan sejuk di senayan, misalnya. Namun, inbarat bebek yang diminta berenang, Nasih menuntaskan pekerjaannya bak sekejap kedipan mata. Bahkan berkat kepiawaiannya, Nasih tak harus ‘ngadem’ dalam tempat yang mewah dalam gemerlapnya pandangan orang yang ternina bobokan oleh dunia dalam kesemuan dan zona nyaman. Nasih bisa menuntaskannya di manapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun.

Nasih sering berkata kepada santri-santrinya, “Kita hurus mengetahui di mana habitat kita; tidak mungkin tupai bisa diminta terbang.” Dengan kata lain, seseorang harus pandai mengidentifikasi potensi dan kesenangannya dalam suatu hal, agar ia bisa melakukannya dengan tanpa paksaan dan tekanan serta dapat mencapai hasil maksimal.

Gambarannya, orang yang punya kesukaan dan kepandaian dalam bermusik tidak bisa dipaksa untuk mengotak-atik otak dalam dunia eksak, yang sama sekali tak dikuasainya. Tak akan berhasil, karena itu akan memakan waktu, menghabiskannya dalam kesia-siaan. Untuk orang yang tidak menguasai bidang, 1000 tahun pun waktu yang diberikan tak akan mampu menantinya dalam penyelesaian.

Dahsyatnya Kekuatan Pikiran

Dalam menempuh safar, kerapkali seseorang dilanda rasa letih, atau jet lag setelah perjalanan udara. Namun, Nasih menganggap itu sebagai sebuah kenikmatan. DIa menganggap itu sebagai wisata, liburan yang bagi kebanyakan orang harus diagendakan. Baginya perjalannya bolak-balik itu adalah liburan yang menghibur.

Setiap orang harus manjalani semua yang sulit-sulit, bahkan pahit sekalipun, sebagai sebuah tantangan yang memacu adrenalin untuk terus melaju dan meningkat dengan kecepatan super hingga pada saatnya seseorang akan lupa dengan rasa lelah dan sakit, bahkan rasa lapar. Begitu pesan Nasih.

Tidak ada alasan untuk berleha-leha, meskipun pepatah mengatakan berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian; bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Baginya, dalam hidup ini harus menempuh jalan yang sukar lagi mendaki. Diterpa dengan badai yang dahsyat, mampu bangkit. Dihantam kerasnya karang, tetap mampu kokoh berdiri tegak.

Mind set manusia sangat mempengaruhi tata perilakunya. Oleh karena itu manusia harus men-setting pikirannya agar selalu berpikir benar. Sebab, menurut hasil penelitian, pikiran manusia terbagi menjadi 2. Sadar dan bawah sadar, pikiran sadar memberikan kontribusi 12 persen sedangkan pikiran bawah sadar berkontribusi 88 persen dalam menjalankan dan menggerakkan jasmani manusia.

Oleh karena itu, manusia harus mengaktifkan alam bawah sadarnya. Nasih selalu menanamkan perihal dahsyatnya kekuatan pikiran kepada anak-anaknya. Agar tidak mudah lelah dan sakit-sakitan, karena jihad itu selain membutuhkan ilmu, juga membutuhkan fisik yang kuat (basthotan fii al jisim) seperti penganugerahan jism dan ilmu yang kuat pada Thalut yang dikisahkan dalam al-Qur’an (QS. al-Baqarah: 247).

Penulis sempat berbincang-bincang perihal safar yang Nasih jalani. Terinspirasi atau paradigma apakah yang menjadi spiritnya sehingga tak pernah ada kata lelah dalam menjalani rutinitas yang sangat padat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, lalu beraktivitas kembali tanpa mengalami tepar? Jawaban Nasih sangat singkat, karena punya visi. Visi yang akan menuntun gerak. Kelenjar-kelenjar hormon akan diarahkan untuk berkeja dengan semangat dan penuh kegemberiaan.

Selain itu, Nasih juga berkata: “Karena kebutuhan. Kalau kita butuh, kita akan kuat melakukannya. Biidznilah.” Nasih tidak mungkin berjalan seorang diri. Karena perubahan itu dimulai oleh sekelompok orang, oleh jamaah yang kuat dan kokoh (dalam al-Qur’an: bunyan al-marshuhs). Sebagai anak-anak ideologis atau sekadar muhibbin-nya, seberapa kuatkah kita untuk mengikuti paradigma dan jalan hidupnya? Sampai titik mana kita sanggup menemani perjalanannya untuk melanjutkan tugas kenabian Rasulullah Muhammad Saw? Mari jawab bersama dengan jawaban masing-masing. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Editor: Anzor Azhiev

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *