Hukum  

Mengambil Hikmah dari Kasus Reynhard Sinaga

Mengambil Hikmah dari Kasus Reynhard Sinaga
Istimewa

Belakangan nama Reynhard Sinaga popular di media massa, bukan hanya di Indonesia melainkan juga di media Inggris. Nama Reynhard mencuat ke publik bukan karena prestasi yang ia raih, melainkan karena kebejatannya sebagai predator seks kelas kakap.

Reynhard Sinaga divonis terbukti bersalah oleh Pengadilan Manchester melakukan 136 kasus pemerkosaan, 8 kasus percoban pemerkosaan, 13 kasus serangan seksual dan 2 kasus serangan seksual dengan penetrasi terhadap sedikitnya 190 korban, dengan dijatuhi hukuman seumur hidup.

Kasus ini begitu masif diberitakan oleh media Inggris dan Indonesia, bahkan dunia. Bagaimana tidak, kasus Reynhard ini menjadi kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual terbesar sepanjang sejarah negeri Britania Raya. Jamak diketahui bahwa Reynhard merupakan WNI asal Jambi sedang mengajukan tesis berjudul ”Sexuality and Everyday Transnationalism among South Asian Gay And Bisexual Men in Manchester”. Reynhard tentu mencoreng muka Indonesia. Bahkan Sekretaris Kabinet, Promono Anung, menyebut kasus ini bertentangan dengan budaya  ketimuran yang dianut Indonesia.

Sudah sepantasnya kita mengambil hikmah dalam setiap peristiwa yang terjadi. Demikian juga dari kasus Reynhard, sejujurnya kita dapat mengambil berbagai hikmah dibaliknya. Hikmah yang  dapat mengubah paradigma kita sebagai personal maupun negara Indonesia agar lebih baik dalam memandang kasus semacam ini.

Pertama, kasus Reynhard mengajarkan kita  bagaimana media di Indonesia seharusnya memberitakan suatu kasus hukum.  Reynhard melakukan tindakan kejinya ini dari tahun 2015 hingga 2017. Namun berita ini baru muncul ke permukaan baru-baru ini, tahun 2020, setelah Reynhard secara legal dinyatakan terbukti atas dakwaan-dakwaan yang diberikan kepadanya. Hal ini dilakukan atas perintah Hakim Pengadilan Manchester guna melindungi para korban.

Jika kasus ini terjadi di Indonesia, media akan dengan gampangnya mem-blow up bahkan sebelum sidang pertama digelar. Hanya dengan modal status tersangka saja, media sudah habis-habisan mengulik segala sesuatu yang berhubungan dengan “tersangka”. Padahal menurut Pasal 14 KUHP, tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.  Yang menjadi ironi lagi,  ketika  sebuah perkara dipersidangkan secara tertutup, tetapi media masih saja mewartakannya secara luas.

Tampak jelas perbedaan cara pemberitaan media di Inggris dengan media di Indonesia. Media di Inggris terasa lebih kaffah mempraktikkan apa yang disebut  asas “presumption of innocent” dalam hukum pidana. Media di Indonesia seakan terjebak dalam jurnalisme bisnis yang mengutamakan profit and rating tanpa mengindahkan etika dalam menyikapi suatu kasus hukum.

Kedua, pemangku kebijakan dan pembuat  undang-undang seharusnya dapat mengambil pelajaran paling berharga dari kasus Reynhard. Ternyata, sistem hukum  Indonesia belum dapat mengakomodir kasus kejahatan semacam ini. Ada dua pasal yang digunakan dalam menjerat pelaku kekerasan seksual, yakni Pasal 285 dan 289-296 KUHP.

Pasal 285 berbunyi “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan  memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Dalam hal ini, perbuatan Reynhard  tidak dapat masuk dalam pasal pemerkosaan ini. Karena pasal ini hanya mengenal pemerkosaan antara laki-laki dan perempuan, bukan antara sesama jenis.

Sedangkan Pasal 289-296 mengatur tentang perbuatan cabul. Tetapi jika pasal ini digunakann untuk menjerat Reynhard, hukumannya  akan lebih ringan dari pasal pemerkosaan, yaitu hanya tujuh tahun penjara. Apalagi jumlah korban tidak menjadi pertimbangan dalam penetapan keputusan. Jadi sebanyak apapun korbannya, maka hanya akan dijatuhi hukuman sesuai dengan  bunyi pasalnya.

Kedua pasal tersebut sudah dengan jelas menggambarkan bahwa sistem hukum  di Indonesia masih jauh tertinggal dari Inggris. Di Inggris sudah mengakomodir kejahatan seksual yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk, tak terbatas pada gender dan usia. Sebenarnya Indonesia sudah akan mengakomodasi  kekerasan seksual ini dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sempat dibahas di DPR periode 2014-2019 tapi akhirnya urung disahkan.

Ketiga, kita dapat mengerti bagaimana seharusnya Pendidikan itu dilakukan. Pendidikan seharusnya menyasar pada perubahan sikap dan perilaku menuju yang lebih baik. Reynhard yang notabene berpendidikan tinggi hingga tingkat doctoral, tetapi nyatanya memiliki sikap yang bejat. Pendidikan bukan hanya soal ranking dan gelar tetapi juga tentang moral.

Reynhard, sang Predator Seks, mengajarkan berbagai hal bagi kita yang mau mengambil hikmah.  Bukan hanya ikut meramaikan untuk menyalahkannya, tetapi juga mencari apa yang kurang dari diri kita pribadi ataupun dari bangsa Indonesia. Kemudian secara berjamaah berpartisipasi dalam perubahan menuju Indonesia yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *