Sebagaimana dalam pemberitaan sebelumnya yang sempat viral di media massa, dimana warga Rembang dan sekitarnya dibuat berdecak kagum dengan keberadaan Sekolah Alam Planet Nufo di sebuah daerah pedalaman Rembang. Tepatnya di Desa Mlagen, Kecamatan Pamotan. Untuk itu, Tim Baladena.Id secara khusus membentuk Tim Investigasi khusus untuk menguak segala hal yang berkaitan dengan Planet Nufo. Dan inilah hasil dari investigasi yang kami sajikan dalam bentuk wawancara dengan Dr. Mohammad Nasih. Selamat membaca.
Kalau ada dokter bekerja di rumah sakit, itu sudah biasa. Demikian pula kalau ada doktor ilmu politi mengajar ilmu politik atau mendirikan lembaga survey politik bayaran, itu sudah jamak. Namun, jika ada doktor ilmu politik mendirikan sekolah alam, itu sepertinya baru luar biasa. Dan itulah yang dilakukan oleh Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Rumah Perkaderan Monash Institute, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ.

Suami dari dr. Oky Rahma Prihandani, Sp.A., M.Si.Med., itu memang suka melawan arus. Sebenarnya tidak hanya Sekolah Alam Planet NUFO saja yang dia dirikan. Sewindu lalu, dia mendirikan Rumah Perkaderan Monash Institute di Semarang untuk mengkader para mahasiswa muslim dengan program khusus menghafalkan al-Qur’an yang kini sudah di replikasi di berbagai tempat, di antaranya Jakarta, Depok, dan Jember.
Bagaimana cerita dan apa sesungguhnya motif ayah dari Atana Hokma Denena, Atena Hekmata Mellatena, Atana Molka Baladena, dan Atana Dawla Boldanena mendirikan Sekolah Alam Planet NUFO? Berikut adalah pendalaman baladena.id:
Baladena : “Abah Nasih, kami dulu sudah pernah lakukan wawancara. Nah, sekarang mau melakukan pendalaman. Apa sesungguhnya latar belakang pendirian sekolam NUFO ini?”
Abah Nasih : “Saya mau jawab yang agak radikal tidak apa-apa ya. Jadi, saya melihat, bahwa pada umumnya sekolah yang sudah ada itu tidak mencerdaskan. Bahkan anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan besar, banyak yang dilemahkan dan dimatikan. Buktinya apa? Di antaranya, banyak anak menganggap sekolah sebagai penjara, mereka senang kalau liburan, dan banyak yang mengalami masalah justru setelah masuk sekolah.”
Baladena : “Anak Abah Nasih sekarang sekolah di mana?”
Abah Nasih : “Anak saya sekolah di PAUD yang saya dirikan sendiri dengan guru yang sudah saya rekonstruksi cara pandangnya tentang pendidikan dan bahkan teknis melaksanakannya. Ukurannya sederhana. Saya katakan kepada mereka, jika anak-anak saya saat liburan tetap ingin masuk sekolah, maka kalian berhasil. Kalau mereka malas sekolah, maka kalian gagal, dan sekolah kita harus kita tutup. Maka bahkan cara mengumumkan libur di sekolah kami, kami atur sedemikian rupa.”
“Guru harus menyampaikan informasi tentang libur dengan mimik muda sedih: “Anak-anak, Bu Guru sedih sekali, besok tidak bertemu dengan kalian. Kita tidak bisa bermain di sini besok. Sebab, besok tanggal merah.” Itu di antara contohnya. Coba bandingkan dengan yang biasanya dilakukan: “Anak-anak, Bu Guru ada kabar gembira. Besok libur.” Ini seolah sepele, tetapi bisa menyebabkan cara berpikir anak keliru. Kalau yang pertama, sekolah itu menyenangkan. Sedangkan yang kedua, sekolah itu menyebalkan.”
“Karena itulah, awalnya saya bingung setelah anak saya selesai PAUD, dan usia SD. Tadinya saya berniat untuk tidak memasukkannya ke sekolah dan akan kami didik sendiri di rumah. Namun, eyangnya yang justru khawatir. Sebab, negara kita kan masih mendewakan formalitas. Maka oleh eyangnya, anak saya dibawa ke SD samping rumah. Didaftarkan. Ya sudahlah. Karena sekolahnya di samping rumah saja. Akhirnya saya biarkan dengan mengatur anak agar sepulang sekolah langsung ke Monash Institute dan bermain dengan para mahasiswa di sana.”
Baladena : “Lalu kenapa mendirikan Sekolah Alam Planet NUFO? Kan anak sudah sekolah SD Negeri?”
Abah Nasih : “Itulah jalan Allah. Monash Institute sudah beberapa tahun ini membuat program pesantren liburan untuk anak usia SD dan SMP. Pelajaran utamanya adalah sharaf, atau sederhananya sesungguhnya adalah perkenalan dengan pola kosa kata dalam bahasa Arab untuk memahami al-Qur’an. Kosa kata dalam al-Qur’an itu kan 77.349 kata dan terdiri atas hanya kira 2728 kata dasar. Kalau memahami maka 2728 kata itu, maka akan paham al-Qur’an.”
“Karena itu harus tahu polanya. Walaupun kita bukan orang Arab, tidak terbiasa sehari-hari menggunakan bahasa Arab, tetapi kalau tahu pola itu, akan mudah. Namun, selama ini, pelajaran sharaf itu diajarkan dengan rumit. Memerlukan waktu bertahun-tahun. Saya menemukan kunci mengajarkan dengan mudah. Saya coba anak pertama saya, lalu juga yang kedua. Mereka jadi kelinci percobaan saya. Ternyata mereka bisa. Karena anak saya bisa, hanya dalam beberapa hari saja, maka saya berinisiatif mengundang anak teman-teman saya.”
“Saya buatkan program sepekan, saat liburan sekolah. Ditangani oleh para mahasantri Monash Institute yang sudah saya persiapkan dengan matang. Ternyata proyek pertama bisa dikatakan sukses. Bahkan di atas ekspektasi saya. Nah, di antara peserta dalam proyek percobaan pertama itu adalah anak teman saya, pemilik SD IT al-Furqon Rembang, Mas Arif Budiman. Dalam sepekan itu, Aisya, nama puterinya, dapat menguasai tashrif dengan sangat baik. Lalu dalam penutupan, saya jelaskan fungsinya.”
“Karena tertarik denga itu, dan Pak Arief ingin puterinya bisa hafal al-Qur’an maka dia ajak saya berkolaborasi. Hasil pembicaraan kami, harapan kami terhadap anak-anak kami, tidak mungkin terwujud kecuali kita bikin sekolah sendiri, dengan kurikulum yang kita bikin sendiri. Pak Arif setuju dan Aisya akan dijadikan sebagai “kelinci percobaan” karena tahun depannya Aisya akan lulus SD.”
“Jadi, kami ini tidak main-main. Sekolah yang kami dirikan, memang untuk anak-anak kami. Karena itu, kami akan lakukan yang terbaik. Kami selalu berprinsip bahwa kami akan melakukan yang terbaik. Karena itu, anak-anak kami harus ada di dalamnya sebagai bukti. Kalau ada orang bikin lembaga pendidikan, sementara anaknya sendiri di masukkan ke lembaga pendidikan lain, itu bukti bahwa dia sendiri tidak percaya diri. Dan bagaimana mau dipercaya, kalau diri sendiri saja tidak yakin.”
“Jadi, NUFO itu ya untuk anak-anak saya sendiri. Anak-anak yang lain itu menjadi teman mereka yang kemudian jadi anak-anak saya juga, sehingga akan dididik seperti saya mendidik anak-anak saya sendiri, dengan sistem yang kami bangun. Nanti saat SMP, anak-anak saya juga akan masuk ke sana. Sekarang saja, dua anak saya, Hokma dan Hekma sudah selalu merajuk mau tinggal di NUFO. Itu yang bikin saya senang. Saya janjikan tahun depan sambil mengatur segala sesuatunya.”
Baladena: “Abah Nasih kan doktor ilmu politik. Kenapa tidak berpartai saja?”
Abah Nasih : “Loh, Anda tidak tahu saya berpolitik? Saya mengajar ilmu politik dan saya juga berpolitik. Sudah saya lakukan. Hanya saja sekarang ini keadaannya sangat buruk. Dan justru karena menyadari itu, saya membuat lembaga kaderisasi. Monash Institute kan juga saya orientasikan untuk melahirkan kader-kader pemimpin.”
“Mereka saya motivasi untuk jadi politisi setelah berilmu dan berharta. Kalau belum berilmu dan berharta, jangan berpolitik. Nanti malah jadi koruptor. Kalau ilmu sudah matang, harta sudah cukup dan sudah ada kesadaran berjuang, politik adalah jalan terbaik. Namun, melahirkan kader dengan kualitas mumpuni dalam ilmu, cukup dalam harta, dan mumpuni dalam kepemimpinan, tidak bisa instan.”
“Butuh proses yang panjang. Karena itu, saya kemudian mendirikan PAUD, Sekolah Alam, dll itu untuk melakukan kaderisasi sejak dini. Jika mereka sudah dididik dan dikader sejak dini, semoga kualitas mereka akan jauh lebih baik. Mengajari berpolitik, yang paling pas ya doktor ilmu politik. Jadi saya sudah ada di jalan yang benar ini. Ha ha ha.”
Baladena: “Jadi kurikulumnya bagaimana dong kalau begitu?”
Abah Nasih : “Kan sudah saya bilang tadi, bahwa kurikulum ya sesuai dengan pandangan kami, yang kami pandang bisa membuat anak-anak kami tidak hanya bisa menyelesaikan soal-soal tapi gagal menyelesaikan persoalan hidup. Intinya, kurikulum nasional akan kami ikuti. Dan ternyata menteri baru sekarang sudah menyadari masalah pendidikan kita.”
“Dan kalau Pak Menteri baru merencanakan, kami sudah melakukan. Intinya, murid-murid di Sekolag Alam ini harus jadi anak-anak cerdas dan sejak kecil sudah dibiasakan menyelesaikan persoalan di alam semesta. Kalau itu mereka bisa lakukan, maka soal-soal di sekolah dengan kurikulum nasional itu ya kacang goreng saja. In syaa’a Allah.”