Al-Qur’an dan alam semesta, keduanya adalah tanda atau ayat dari Allah Swt.. Maka al-Qur’an disebut sebagai ayat qawliyyah, sedangkan alam semesta disebut sebagai ayat kawniyyah. Keduanya saling cocok, seperti cocoknya buku panduan alat elektronik dengan produk spesifiknya. Sebab, keduanya diproduksi oleh pihak yang sama. Jika sampai panduan dalam hand book tidak sesuai dengan alatnya, maka bisa dipastikan bahwa telah terjadi pemalsuan, dan itu berarti tidak berasal dari yang membuatnya.

Di dalam banyak ayat yang tersebar di berbagai surat di dalam al-Qur’an, Allah memberikan banyak informasi mengenai alam semesta. Al-Qur’an dalam konteks ini menjadi inspirasi dan motivasi kepada pembacanya untuk melakukan penjelajahan, lalu pengamatan dan penelitian baik makro kosmos maupun mikro kosmos. Hasilnya adalah tanda yang bisa menjadi bukti bahwa al-Qur’an memang adalah kebenaran. Karena itu, al-Qur’an sesungguhnya adalah panduan untuk memahami alam semesta. Sebaliknya, alam semesta dengan segala fenomena yang ada di dalamnya, adalah tanda untuk bisa memahami al-Qur’an secara lebih utuh.

Bagaimana kedua jalan itu bisa memberikan pemahaman yang lebih luas untuk menjalani kehidupan? Baladena.id melakukan wawancara eksklusif dengan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Furqon, Mlagen, Pamotan, Rembang atau yang lebih dikenal dengan Planet NUFO, Ustadz Dr. Mohammad Nasih, M.Si. al-Hafidh atau yang lebih akrab disapa oleh para santrinya dengan Abah Nasih dan Abana. Berikut petikan perspektif dari ayah lima anak yang juga dosen ilmu politik FISIP UMJ, Jakarta:

Baladena.id: “Bagaimana sesungguhnya jalan untuk bisa memahami al-Qur’an secara komprehensif?”

Abana: “Pertama, tentu harus memahami bahasanya. Kalau kita mengibaratkan pengetahuan di dalam al-Qur’an sebagaimana ibarat yang dibuat oleh Nabi sebagai sebuah kota, memahami bahasanya ini baru pintu gerbangnya. Setelah masuk pintu gerbang, kita akan melihat gedung-gedung megah nan indah di dalamnya. Namun, kita belum tahu apa yang ada di dalamnya. Untuk bisa melihat apa isi gedung-gedung megah itu, kita harus masuk ke dalamnya. Tentu kita harus punya kunci pintu rumah-rumah itu. Satu per satu. Diperlukan ilmu-ilmu lain, yang tidak cukup hanya dengan bahasa. Matematika adalah kunci serbagunanya. Kadang ada gedung yang berhimpitan dan ada pintu yang terkoneksi, sehingga kita bisa memasukinya bukan dari depan. Setelah tahu dalamnya, baru kita tahu, bahwa kita telah berada di dalam gedung di sebelahnya.”

Baca Juga  Planet NUFO dan Visi Integrasi

Baladena.id: “Dengan perspektif ini, kita berarti harus memandang bahwa al-Qur’an sesungguhnya adalah sumber segala ilmu pengetahuan. Begitu ya, Bah?”

Abana: “Tepat. Al-Qur’an dan posisi yang keduanya adalah al-Hadits, adalah pusat ilmu pengetahuan. Keduanya adalah sumber yang kalau digali terus akan menghasilkan segala macam ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam kehidupan umat manusia. Maka saya sering membuat gambaran tentang ilmu pengetahuan dengan pola jaring laba-laba dengan posisi pusatnya ditempati oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.. Dari kedua itu kemudian muncul berbagai disiplin ilmu yang kini kita kenal: Tafsir, hadits, fikih, tauhid, tasawuf, filsafat, politik, fisika, psikologi, kedokteran, teknik, dll.. Al-Qur’an dan hadits adalah sumber dasarnya.”

Baladena.id: “Bagaimana konkretnya kalau sudah begini ini, Bah?”

Abana: “Kita harus merambah lebih luas memahami al-Qur’an tidak hanya sebatas aspek kebahasaan. Kalau hanya sekadar itu, kita hanya berjalan-jalan di depan rumah-rumah megah itu, kemudian memberikan banyak komentar. Bisa berpotensi besar salah kalau caranya demikian. Misalnya, orang yang hanya tahu bahasa al-Qur’an, lalu menjelaskan tentang proses kejadian manusia di dalam rahim ibunya, sebagaimana disebutkan di dalam al-Mu’minun: 12-14.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ
12. Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ
13. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
14. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Nah, kita ini, para pak ustadz dan bu ustadzah, pak yai dan bu nyai harus rela berendah hati, dan harus belajar biologi atau kedokteran.

Baca Juga  Belajar Bersyukur dan Ikhlas di HMI (Catatan Ringan untuk Milad HMI)

Baladena.id: “Tapi ini kan berat, Bah. Bagaimana kalau pak ustadz bu ustadzahnya saja jurusan tafsir hadits?”

Abana: “Kalau tidak memungkinkan untuk itu, harus ada kajian kolaborasi. Kalau hanya ada satu orang yang merasa pintar semuanya, kita tidak akan pernah maju. Sebab, kalau kajiannya hanya sekedar kebahasaan saja, ini sudah dilakukan oleh para sahabat. Bedanya, para sahabat langsung yakin karena bersama dengan Rasulullah yang menunjukkan mu’jizat lain di depan mata kepala mereka. Nah, mu’jizat itu akan dilihat oleh manusia sekarang, kalau ayat-ayat al-Qur’an yang memang memberikan informasi saintifik dikaji secara saintifik. Melalui riset yang makin mendalam dengan peralatan yang makin canggih. Maka proses belajarnya ini jadi panjang. Belajar bahasa al-Qur’an secara cukup, dan dalam konteks contoh kasus yang saya berikan ini, lalu merambah ke pendalaman disiplin biologi dan/atau kedokteran. Sekali lagi, kemampuan bahasa hanya mengantarkan ke pintu gerbang. Harus melangkah lebih maju lagi menuju pintu-pintu rumah dengan kunci-kunci yang cocok. Masih banyak sekali ayat yang berisi informasi saintifik yang harus ditindaklanjuti dengan disiplin ilmu-ilmu lain. Dengan begitu, kajian al-Qur’an tidak hanya seperti lomba retorika. Hanya banyak bicara, mengulang-ulang, mungkin ditambahi lucu-lucuan, tetapi tidak mendapatkan sesuatu yang baru.”

Baladena.id: “Jalan strategisnya bagaimana agar ada makin banyak orang, santri dan yang lebih tinggi lagi ulama’ lah, yang menguasai al-Qur’an sebagai petunjuk dasar atau umum, lalu memiliki disiplin ilmu yang spesifik atau spesialis, atau bahkan sub-spesialis untuk memahami fenomena yang ada dalam isyarat saintifik al-Qur’an?”

Abana: “Ini sering saya sampaikan. Belajar bahasa al-Qur’an harus “selesai” paling lambat kelas II SMU. Dan bersamaan dengan itu, para santri belia ini harus diajari untuk menjadikan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki isyarat dan informasi saintifik sebagai inspirasi untuk mengamati dan lebih bagus lagi memulai meneliti. Atau sebaliknya. Istilah dalam metodologi penelitian sangat terkenal, yaitu: induktif dan deduktif. Penelitian itu membutuhkan biaya yang sangat besar dan waktu yang tidak sebentar. Satu subjek penelitian bisa menghabiskan uang milyaran dan waktu yang panjang, apalagi bisa berkelanjutan. Semua harus dilanjutkan dengan pendalaman. Sampai mati. Dan di era sekarang penguasaan multidisiplin ilmu sangat memungkinkan. Tapi yang jelas, riset harus kuat. Jangan sampai hanya beretorika khas era skolastik. Al-Qur’an sudah mendorong untuk melakukan itu dengan istilah “berjalanlah, lalu lihatlah”. Kalimat perintah ini kalau dipahami secara umum harusnya menjadi dorongan kuat untuk melakukan riset.”

Baca Juga  Seberapa Penting Ilmu Dasar untuk Memahami Islam?

Baladena.id: “Fenomena sosial juga termasuk ya, Bah?”

Abana: “Tentu saja. Sosial, politik, dan ekonomi juga. Banyak sekali fenomena dalam kehidupan nyata ini yang sesungguhnya sudah diisyaratkan oleh al-Qur’an. Kisah-kisah dalam al-Qur’an itu dikatakan oleh al-Qur’an sendiri mengandung ‘ibrah atau pelajaran penting bagi ulil albâb. Tepat sekali al-Qur’an mengatakan demikian. Memang yang mampu menangkap adalah orang-orang yang cerdas dan kritis. Dan lebih sedikit lagi yang berani menyampaikannya secara terbuka. Misalnya ada ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (al-Taubah: 34)
Ini informasi tentang masa lalu tentang kelakukan sebagian besar ulama’ di masa lalu. Memakan harta orang lain dengan cara batil dan menghalangi dari jalan Allah. Bahkan dalam rangkain ini, bahkan disebutkan menimbun harta kekayaan. Kok bisa, ulama’ begitu? Untuk apa diceritakan oleh al-Qur’an kalau tidak ada pelajarannya untuk kita? Ini adalah isyarat al-Qur’an bahwa setiap zaman ada orangnya. Dan itu bisa terjadi di lingkungan kita. Ulama’-ulama’ kita. Ayat ini memberikan perspektif itu. Dan ketika melihat kasus di lapangan, kita tidak heran, karena di dalam al-Qur’an ternyata ada ayatnya. Jadi konkret sekali. Al-Qur’an bisa jadi inspirasi dan pendorong untuk meneliti, dan sebaliknya fenomena di alam semesta, termasuk fenomena sosial, politik, ekonomi, agama, dan lainnya, bisa mendapatkan legitimasinya dari al-Qur’an.” (AH)

Redaksi Baladena
Jalan Baru Membangun Bangsa Indonesia

Dia Tak Berguna

Previous article

KADERISASI ALA RASULULLAH

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Kolom