Ada satu tempat yang sampai kini tidak pernah bisa aku kunjungi, yaitu kedalaman hatimu. Di mana setiap detiknya aku mencoba, menelaah sejauh mana aku dapat memahami isyarat-isyarat yang kau beri lewat tatapan kosong matamu yang “buta”.
Aku tidak tahu apa yang telah membuatmu sebuta ini, hingga kau bicara pada angin dan seraya ingin. Mungkin ingin aku berhenti mencoba lagi dan melangkah pergi. Tapi angin tidak berhembus melaluiku ataupun berbisik. Ia mungkin telah setia kepadamu untuk menyimpan segala rahasia dan aku tak pernah tahu apa-apa.
Tapi apakah benar aku harus menghentikan langkah kaki ini? Membiarkanmu yang buta melewati aral tanpa aba-aba? Atau diam-diam Aku ikuti sambil terus mencintai kebutaanmu ini?
Bisa saja, kita masih memiliki waktu untuk memilih. Kalau kau akan tetap buta begini, mengapa tidak memilihku untuk membersamaimu? Dengan segala luka yang kita punya. Tapi kalau angin menyapu bersih kebutaanmu itu, aku akan tetap diam-diam tersenyum atas rahasia yang kau simpan bersama. Walau pelan-pelan akan kukubur dalam cerita tentang perjalanan menjelajahi dalamnya hatimu.
Aku, kau dan angin, kita berhak bahagia, meskipun buta.