Agar Hafalan Al-Qur’an Tidak Jadi Beban

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Program Tahfidh al-Qur’an di Ponpes Darun Nashihah MONASH INSTITUTE Semarang, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ

Saya mendapat cukup banyak keluhan dari para orang tua yang anak-anak mereka sedang menghafalkan al-Qur’an. Di antara yang mereka sampaikan adalah: anak-anak mengalami semacam kebosanan, mereka mengalami stagnasi dan tidak memiliki motivasi kuat lagi dalam menghafal, dan mereka mengalami degradasi kualitas hafalan. Keluhan yang sama sesungguhnya dialami oleh teman-teman saya dulu saat menghafalkan al-Qur’an.

Dari berbagai keluhan itu, bisa ditarik sebuah benang merah bahwa hafalan al-Qur’an mereka telah menjadi beban berat. Makin banyak hafalan, makin berat beban yang ditambahkan. Beban itu akan menjadi berlipat, karena menghafalkan al-Qur’an tidak berhenti saat sebuah ayat telah berhasil dihafalkan. Ayat-ayat yang sudah dihafal itu harus dibaca dengan niat mempertahankan hafalan, secara periodik dan berkala sampai akhir hayat, sehingga tidak terlepas dari ingatan.

Aktivitas yang harus dilakukan secara terus-menerus ini, jika tidak bertaut dengan relevansi dalam kehidupan, maka tentu saja akan menimbulkan rasa jenuh, bosan, dan bahkan putus asa.

Berbagai rasa negatif itu, tentu bertentangan dengan doktrin bahwa al-Qur’an adalah bacaan yang tidak menyebabkan dasa bosan (kalaamun qadiimun laa yumallu samaa’uhuu). Namun, secara faktual, justru itulah yang secara umum memang dialami oleh para penghafal al-Qur’an dalam proses menghafalkan. Sebab, mereka merasa berada dalam lorong waktu yang panjang yang karena merasa tak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Itu terjadi karena beberapa hal, di antaranya:

Pertama, menghafalkan al-Qur’an tanpa memahami makna. Anda bisa bayangkan jika anda diminta untuk menghafalkan teks tanpa mengetahui artinya. Bagi kebanyakan orang itu berat bahkan sangat berat. Tingkat kesulitan menghafalkan teks tanpa tahu artinya bisa lebih dari tujuh kali lipat. Hafalan kepada teks yang tidak dipahami artinya juga lebih cepat hilang dibandingkan yang dipahami artinya.

Jadi, ada dua masalah yang disebabkan oleh menghafalkan teks tanpa arti: sulit hafal, dan cepat lupa. Berbeda jika teks itu dipahami terlebih dahulu, maka menghafalkannya akan jauh lebih mudah, dan akan lebih lekat dalam ingatan. Sebab, ada imajinasi yang berjalan karena teks yang dipahami maknanya itu. Karena itu, jalan yang harus dilakukan sebelum mulai menghafalkan al-Qur’an adalah memahami bahasa Arab.

Jika pengetahuan dasar sudah dimiliki, maka mendalami bahasa Arab bisa dilakukan dengan proses menghafal. Sebab, keduanya bisa dilakukan secara sinergis. Pola kalimat dalam ayat-ayat al-Qur’an bisa digunakan sekaligus sebagai bahan untuk belajar bahasa Arab.

Memang, tidak sedikit anak kecil bisa menghafalkannya tanpa arti. Namun kuantitas hafalan mereka terbatas. Yang umum adalah juz 30. Untuk menghafalkan total 30 juz, dengan total halaman sebanyak 604 halaman, perlu usaha yang lebih serius, dan harus dilakukan dengan cepat. Ibarat orang berlari, yang harus dilakukan adalah sprint, bukan marathon. Dan untuk itu, sekali lagi, jalan awalnya adalah memahami arti.

Kedua, tidak mendapatkan inspirasi-inspirasi baru dan besar dari al-Qur’an. Ini sesungguhnya adalah implikasi dari tidak memahami arti. Jika memahami arti, maka penghafal yang tentu saja selalu mengulang bacaan, akan mendapatkan pemahaman-pemahaman baru yang sangat menarik dan inspiratif.

Di dalam pernyataan, perintah, larangan, dan kisah di dalam al-Qur’an, terdapat banyak sekali hikmah yang bisa menjadi inspirasi. Al-Qur’an sesungguhnya bagaikan berlian yang jika dilihat dari sisi yang berbeda akan memantulkan cahaya yang berwarna-warni. Jika sebuah ayat dilihat dengan disiplin ilmu tertentu, bahkan dalam keadaan psikologis tertentu, maka ia akan melahirkan satu perspektif. Jika dilihat dengan menggunakan disiplin ilmu yang lain, keadaan psikologis yang berbeda, maka akan melahirkan perspektif yang lain dan berbeda lagi.

Demikian seterusnya. Dan semua itu selaras sehingga saling melengkapi dan membuat pemahaman yang lahir dari sebuah ayat menjadi utuh dan menarik. Jika inspirasi bisa ditarik, maka akan melahirkan semangat untuk terus membaca dan menggali makna terdalamnya tiada henti. Dengan begitu, kebosanan tidak akan pernah mendapat celah tempat untuk menghampiri.

Kajian tafsir menjadi salah satu sarana untuk mendapatkan berbagai inspirasi. Semakin banyak tafsir yang dikaji, akan menjadi semakin banyak pandangan yang berbeda yang salah satu atau di antaranya memiliki kesesuaian dengan pandangan penghafal dan bahkan membuatnya memiliki ketertarikan besar.

Tafsir yang bisa menguraikan al-Qur’an dengan temuan-temuan ilmiah modern misalnya, akan membuat penghafal memiliki keyakinan yang kuat bahwa yang dilakukannya, yakni menghafal, sudah benar. Apalagi menghafal itu adalah cara paling strategis untuk menemukan interkoneksi antar ayat yang seringkali letaknya berjauhan dan menggunakan kata yang berbeda.

Lebih dari itu, ia juga akan menemukan tantangan untuk melakukan pembuktian-pembuktian untuk makin menguatkan bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang mutlak benar.

Ketiga, tidak memiliki partner untuk terus menjaga dan memperkuat hafalan. Partner ini secara umum ditentukan oleh lingkungan. Partner bisa teman, kolega, atau murid. Partner sangat diperlukan untuk memastikan hafalan benar-benar valid dengan cara melakukan saling simak. Bisa saja seorang penghafal al-Qur’an merasa bahwa hafalannya baik-baik saja sebagaimana pernah disetorkan kepada guru, padahal jika dilakukan sima’an ulang, ternyata banyak terjadi kesalahan.

Dengan memiliki teman atau kolega yang memiliki concern yang sama dalam menghafalkan al-Qur’an, aktivitas saling simak untuk melakukan validasi hafalan mudah dilakukan. Guru al-Qur’an yang membiasakan diri bersikap egaliter juga bisa melakukan aktivitas saling simak setelah murid setoran hafalan. Murid dan guru dalam konteks ini menjadi partner. Dengan cara ini, secara langsung guru memberikan contoh tentang kualitas hafalan al-Qur’an, tidak hanya memberikan tuntutan atas murid. Dia sendiri harus melakukan pembuktian tentang hafalan yang berkualitas kepada murid-muridnya.

Keempat, tidak menemukan apa yang akan diperjuangkan selama dalam proses menghafalkan al-Qur’an. Ini pun tetap berkaitan dengan pemahaman kepada makna. Motivasi guru juga penting untuk membangun orientasi hidup yang jelas bagi penghafal al-Qur’an.

Namun, motivasi itu bersifat sementara dan parsial. Yang bersifat abadi dan utuh adalah motivasi dalam ayat-ayat al-Qur’an yang dipahami. Penemuan tentang apa yang akan diperjuangkan, akan membuat semangat penghafal al-Qur’an makin membara. Al-Qur’an menjadi sebuah visi hidupnya yang harus diwujudkan dengan mengemban misi. Dan karena visi di dalamnya sangat besar, maka akan memacu adrenalin penghafal, sehingga menjadi pribadi yang tangguh dengan ambisi besar dan daya tahan yang kuat.

Karena itu, orang tua yang memiliki keinginan agar anak menghafalkan al-Qur’an, harus membangunkan atau setidaknya memilihkan lingkungan yang menunjang semangat mereka. Salah satu yang harus dipastikan adalah di dalamnya terdapat usaha untuk memahami makna al-Qur’an secara intensif, bukan sekedar program tuntutan menghaf.

Dan karena menghafalkan al-Qur’an bukanlah tujuan, maka lingkungan itu juga haruslah lingkungan yang bisa membangkitkan berbagai inspirasi, imajinasi, dan juga ambisi untuk memperjuangkan apa saja yang diinginkan oleh al-Qur’an.

Untuk memahami arti al-Qur’an secara keseluruhan, sesungguhnya bukanlah persoalan sulit. Argumen pernyataan ini juga sangat mudah dimengerti. Jumlah kata di dalam al-Qur’an, sebagaimana telah dihitung oleh para ulama’ terdahulu, adalah 77.439 kata.

Namun, itu hanya terdiri atas kira-kira 2728 kata dasar (catatan: hitungan saya sendiri dengan menggunakan bantuan kitab Fath al-Rahman Li Thaalibi Aayaat al-Qur’aan, karya Syaikh Ilmi Zadeh Fu’ad Abd Al Baqiy, dan masih perlu divalidasi lagi). Jika setiap hari ditarget dengan serius menghafal minimal 10 kata saja, maka dalam waktu 10 bulan atau 300 hari, akan ada 3.000 kata yang akan sudah dihafal. Itu berarti sudah melampaui jumlah kata dasar di dalam al-Qur’an.

Bagi masyarakat rumpun Melayu, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia, upaya untuk memahami makna literal al-Qur’an menjadi lebih mudah lagi, karena bahasa Indonesia menyerap banyak sekali kata dari bahasa Arab. Banyak sekali kata yang digunakan di dalam al-Qur’an telah digunakan dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Pada halaman pertama surat al-Baqarah saja, kita sudah bisa menemukan di antaranya: kitab, takwa, iman, ghaib, iqamat, shalat, rizki, infak, iman, nuzul, akhirat, yakin, hidayah, dan rabb. Jika para penghafal al-Qur’an dipersiapkan dengan baik dengan terlebih dulu memahami ini, maka mereka justru akan mengalami “kecanduan” untuk terus membaca al-Qur’an.

Sebab, membacanya berarti merasakan berbagai kenikmatan disebabkan oleh berbagai pengetahuan baru yang unik. Kenikmatan itu, bisa berupa ketenangan hati karena dia adalah penawar hati; bisa bertambah luas pandangan, karena di dalamnya terdapat kisah-kisah tentang berbagai kaum di berbagai belahan bumi; bisa mendapatkan pandangan yang melampaui duniawi, karena di dalamnya terdapat informasi ghaib; dan lain sebagainya.

Semakin banyak mengulang bacaan, dengan tadabbur (perenungan) yang makin mendalam akan semakin banyaklah hikmah yang bisa ditemukan. Al-Qur’an yang bukan lagi sebagai beban, tetapi sebaliknya justru menjadi inspirasi. Wallaahu a’lam bi al-shawab.

Respon (1)

  1. Tulisan ini menginspirasi saya untuk juga ikutan menghafal ayat al Quran dengan memulai dari memahami makna perkata nya. Go a head ustadz Nasich.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *