Berbicara mengenai pendidikan, ada beberapa komponen yang turut andil dalam mewujudkan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Secara umum, adanya sebuah pendidikan diharapkan mampu mengubah peradaban yang lebih baik. Salah satu komponen yang berperan guna merealisasikan tujuan tersebut ialah pendidik. Tentunya dengan memperhatikan beberapa aspek, kemampuan, dan kualitas pendidik.
Dari segi kemampuan, baik secara emosional maupun intelektual, setiap pendidik mempunyai seni masing-masing dalam mengajarkan apa yang dia punya. Seni itulah yang kemudian menjadi ciri unik dari tiap-tiap pendidik. Dalam mengajar, misalnya, seorang pendidik sering kali tidak sabar ketika melihat anak didiknya tidak dapat memahami apa yang telah disampaikan sehingga ia marah. Namun, di samping itu banyak juga pendidik yang membiarkan anak didiknya dalam keadaan tidak paham yang berkepanjangan. Ia hanya memegang teguh prinsip bahwa mengajar itu hanya sebatas mengajar tanpa peduli anak didiknya paham atau tidak.
Banyak metode mengajar yang telah dikonsepkan oleh setiap pendidik. Tidak semua sama dalam pengajarannya. Mungkin maksudnya sama, tetapi metodenya bisa jadi berbeda. Karena berbeda orang, berbeda pula cara mengajarnya. Bagi seorang yang dididik, tidak perlu memilih dan melihat siapa pendidiknya, karena setiap pendidik mempunyai cara yang berbeda-beda. Tergantung seperti apa metode pembelajaran yang akan dilakukan. Bagaimana sang guru bisa membawa dan mengayomi muridnya untuk benar-benar bisa? Menjadi suatu kebanggaan yang besar jika muridnya bisa sesuai dengan keinginannya.
Dr. Mohammad Nasih, M.Si., seorang guru utama di rumah perkaderan Monash Institute, ia kerap dipanggil dengan sebutan Abah Nasih (Abana). Sedangkan anak didiknya dipanggil dengan sebutan disciples, karena yang Abana inginkan adalah anak didiknya bisa menjadi anak yang disiplin sesuai dengan nama sebutannya. Abana memiliki cara mengajar tersendiri sehingga sudah menjadi ciri khas pada diri Abana. Sering kali Abana berkata dan menegur dengan perkataan keras. Mungkin orang yang mudah sekali tersentuh hatinya bisa langsung berprasangka buruk dan merasakan sakit hati.
Orang yang baru mengenal Abana, mungkin mengira bahwa Abana selalu merendahkan orang lain. Sering diasumsikan bahwa Abana adalah orang yang keras. Hal itu tidak lain dari suatu hardikan. Namun, bukanlah suatu hardikan yang buruk, tetapi suatu hardikan yang baik dan membangun.
Kerasnya sikap Abana yang dimaksud adalah tegas. Ia tidak akan keras jika disciples bisa dan paham apa yang dimaksudnya. Abana keras karena ada tujuan tersirat yang sangat ia inginkan. Kerasnya perkataan Abana adalah hardikan tegas untuk mengingatkan dan melarang. Mengingatkan dalam suatu hal yang baik dan melarang dalam hal yang tidak bermanfaat.
Proses belajar dan mengajar sudah menjadi candu bagi Abana. Baginya, ketika mengajar ia bisa mendapatkan banyak inspirasi. Oleh sebab itu, jika tidak melakukan kajian belajar, ia tidak bisa. Menurutnya, dengan mengajar ia bisa mengingat dan menambah pengetahuan. Siapa sih seorang guru yang tidak ingin anak muridnya menjadi orang cerdas, yang taat dan patuh pada setiap perintahnya?
Tidak ada yang namanya anak lama ataupun anak baru, semuanya harus bisa dan paham. Sistemnya, yang bisa harus mengajarkan kepada yang belum bisa. Begitu pun sebaliknya, yang belum bisa harus bertanya kepada yang sudah bisa. Sehingga semuanya bisa dan paham, bukan sekadar menghafal dan mengingat. Karena memahami itu sangat penting. jika paham, ketika diperintah untuk membaca ayat mana pun dan berapa pun pasti akan bisa. Berbeda dengan menghafal, pasti akan memahami yang sudah dihafalnya saja.
Jika masih saja ada yang belum bisa Abana sering meluapkan kekecewaannya dengan amarah. Amarah yang keluar pada diri Abana seperti layaknya api yang berkobar-kobar. Yang siap menyembur siapa pun yang siap terbakar. Sesuatu tersebut tidak akan terjadi jika tidak ada sesuatu yang mengawalinya. Memang sudah begitulah cara Abana mengajar. Cara Abana mengingatkan memang terkesan keras.
Amarah ini bukanlah suatu ancaman, sehingga merasa takut untuk maju apalagi yang bersangkutan dengan Abana, bukan pula untuk menahan perkembangan dan menghentikan anak-anaknya untuk melakukan sesuatu. Abana membatasi marahnya hanya di atas leher, tidak ke bawah, sehingga tidak akan masuk ke dalam hati. Dengan demikian, marah itu tidak akan merusak pikiran dan kesehatan.
Keinginan Abana memang tidak ada yang bisa menebak. Apapun yang Abana inginkan dan katakan haruslah terpenuhi. Namun ketika sudah terpenuhi masih saja ada yang kurang dan harus diperbaiki lagi. Ini semua Abana lakukan bukan sekadar memerintahkan tanpa sebab. Semua masih haus ilmu, oleh sebab itu harus mendapatkan ilmu itu dengan segera.
“Siapa mentormu? Ayo perbaiki lagi” itulah kalimat yang sering sekali dikatakan Abana untuk meyakinkan bahwa muridnya benar-benar belajar. Tetapi tidak semua kesalahan ada pada mentornya. Bisa saja karena muridnya yang tidak bersungguh-sungguh dalam belajar. Tidak selamanya penyebab murid tidak paham adalah karena gurunya. Tidak ada perbedaan antara yang sudah bisa dengan yang belum bisa. Jika sudah di depan semuanya harus tampil sempurna.
Mengajar itu harus keras. Agar semua bisa rasional, bisa berpikir dan mempertimbangkan sesuatu dengan logis. Yang Abana inginkan, semua bisa mengoptimalkan akal dalam berpikir. “Apakah kalian bisa mencerdaskan kehidupan bangsa?” suatu pertanyaan yang dikatakan Abana pada saat kajian setelah subuh
Menurut Abana marah itu tidak mudah. Mengajar itu berat, karena harus dilakukan dengan konsisten. Selain berat, mengajar juga keras, dan keras sering diasumsikan dengan kemarahan, sehingga marah itu berat dan tidak mudah. Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa mengajar dengan cara keras itu penting. Karena keras sendiri memiliki banyak arti. Bukan hanya fisik dan bentuk yang terlihat saja, tetapi lebih kepada pembentukan karakter.
“Latihlah diri sendiri dengan keras sebelum ada orang lain yang mengerasimu” Jangan mudah memanjakan dan memaafkan kesalahan sendiri. Karena di saat itulah kita tidak mempunyai pendirian. Sebut saja kita mengalami kegagalan, lalu kita meyakini bahwa kegagalan kita saat itu karena tubuh kita yang kurang fit dan tidak enak badan. Jika alasan tersebut benar, maka hal itu bisa dimaafkan.
Itulah mengapa Abana mengajar dengan keras. Abana mengajarkan kepada disciples agar mereka memulai keras terhadap diri sendiri. Disciples harus menjadi orang yang bermutu. Karena jika tidak, ia akan ditindas dan itu dilakukan oleh orang yang (bisa jadi) tidak lebih berkualitas dibanding dia. Jangan ada penyesalan setelah itu, karena penyesalan itu tiada berguna lagi. Kuncinya, penyesalan itulah sebuah pembelajaran untuk membenahi dan memperbaiki diri. Kita bisa belajar dari pengalaman orang lain, tidak harus mencobanya sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawaab
Oleh: Aliatun Ifani, Disciple Monash Institute Angkatan 2019 Asal Batam-Kepulauan Riau