Abana dan Salah Kaprah Politik Indonesia: Sebuah Jihad Memperbaiki dan Mencipta Bangsa Berdaulat

Baladena.ID/Istimewa

Sebuah negara tidak akan berjalan tanpa adanya sebuah pemerintahan berdaulat dan solid. Juga tidak bisa dilepaskan dari campur tangan politikus-partisan yang dengan penuh kesadaran mengabdikan diri untuk masyarakat. Namun, tidak menutup kemungkinan terdapat politikus-partisan yang hanya berjuang untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Dalam sistem pemerintahannya, Indonesia menggunakan sistem demokrasi, yaitu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Abraham Lincoln:1850). Dengan begitu, negara sangat membutuhkan politikus-politikus yang mampu mengutarakan semua aspirasi dari seluruh rakyat. Sehingga, muncullah partai politik yang siap memperjuangkan aspirasi rakyat. Karena itu, partai politik juga dijadikan sebagai kedaulatan rakyat, yang mana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2.

Maka tidak mengherankan jika kemudian muncul adagium bahwa pekerjaan yang paling mulia dan akan memantik banyak pahala adalah menjadi seorang politisi. Seorang Ustad atau penceramah, bisa jadi merupakan sebuah jihad untuk mensyiarkan Islam. Namun, jika dilihat dari pengaruhnya, signifikansi yang diperoleh dari sebuah usaha dakwah hanya bisa dirasakan dan ditindaklanjuti oleh segelintir orang. Coba bandingkan dengan seorang politikus. Ketika seorang politikus sudah mengeluarkan sebuah undang-undang, maka berapa banyak orang yang dapat dipengaruhi? Luarbiasa kan?.

Akan tetapi, realitas yang terjadi di kehidupan nyata tidak selalu melenakan. Makna politikus di Indonesia sudah mengalami penyorasi. Kini, politikus tidak diartikan lagi sebagai sebuah pekerjaan yang mulia. Sebaliknya, politikus dianggap sebagai orang yang merampok rakyat. Padahal, khittah awal politikus (red: Partai Politik) tidak demikian. Kelompok ini adalah orang-orang terpilih yang siap menghibahkan dirinya untuk memperjuangkan kesejahteraan dan kedaulatan negara. Dari sinilah muncul salah kaprah politik Indonesia. Dimana masyarakat memandang jijik kepada hal-hal yang berbau politik dan menganggap bahwa semua politikus itu busuk.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kondisi suatu negara akan bergantung kepada para politikus yang berjuang didalamnya (red:baik berjuang untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya atau berjuang untuk kepentingan publik). Maka, tanpa ada para politikus, suatu negara hanya akan menjadi patung yang tak bergerak, dan akan terus terdiam tanpa mempunyai tujuan.

Persiapkan Diri Sebelum Berjihad

Dr. Mohammad Nasih atau yang biasa dipanggil Abana dalam beberapa kesempatan, baik saat mengajar di Rumah Perkaderan Monash Institute dan atau di forum kaderisasi HMI (Red: LK 1, LK 2, LK 3, dan SC) sering menegaskan bahwa orang yang mendapat pahala paling besar adalah orang yang berpolitik di jalan Allah, sedangkan orang yang mendapat dosa terbesar adalah orang yang salah dalam berpolitik. Kembali kepada penjelasan awal, bahwa politik akan mempengaruhi segalanya. Baik dan buruknya negara sangat ditentukan siapa yang berkecimpung di dalamnya.

Sebagai manusia yang megemban tanggungjawab dari Allah Swt untuk menjadi pemimpin (Q.S al-Baqarah : 30), haruslah dipersiapkan sematang mungkin sejak dini. Sebab jika masih banyak keraguan atau bahkan ketidaksiapan, ditakutkan akan menciderai masyarakat. Atau justru akan merugikan dan menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat umum.

Sebagai perumpamaan, ketika seorang politikus salah menentukan sebuah kebijakan sedikit saja, maka akan berimbas kepada masyarakat secara keseluruhan. Analogi sederhananya, politikus merupakan seorang nahkoda masyarakat. Apabila seorang nahkoda sedikit saja melakukan kesalahan dalam navigasi, maka seluruh anak buah kapal (ABK) akan merasakan akibatnya.

Dalam rangka mempersiapkan politikus-politikus yang luarbiasa, Abana membuat tiga kunci utama di rumah perkaderan Monash Institute. Tiga unci utama ini wajib  untuk dimiliki setiap disciples. Pertama; ‘ilmu al ‘ulama, pengetahuan atau ilmu harus mumpuni seperti halnya para ulama-ulama yang senantiasa menegakkan syariat-syariat Allah Swt disertai pengetahuan yang luas atau orang-orang yang cerdik cendekia.

Kedua; amwalu al aghniya’, yaitu orang yang berkecimpung dalam dunia politik haruslah memiliki harta yang melimpah, agar selalu terjauhkan dari hal-hal yang berbau korupsi. Selain itu, berpolitik di shirod al mustaqim perlu dana yang tidak sedikit. Karena harus memerangi terlebih dahulu syaithon-syaithon yang sangat kuat, yakni nafsu ingin memperkaya diri.

Ketiga; siyasatu al mulk wa al mala’, yakni penguasa dalam artian orang yang mengatur tatanan, aturan, serta kebijakan dalam suatu negara haruslah sesuai tuntunan Allah Swt. Jadi, dapat disimpulkan kemampuan ketiga diatas harus dipersiapkan dengan matang agar menjadi politik yang lurus (memahami kebenaran, mempunyai dana untuk berpolitik, dan dapat membuat aturan di jalan Allah).

Contoh; selama ini belum ada cuti selama dua tahun penuh bagi wanita karir yang sedang menyusui anaknya. Dengan mempunyai pengetahuan mengenai aturan dalam Al-Qur’an permasalahan menyusui harus dua tahun (Al-Baqarah : 233), kemudian mempunyai uang untuk memperjuangkan (tidak terpengaruh dengan sogokan uang yang dapat mengakibatkan gagal dalam proses penegakan), dilengkapi mempunyai kekuasaan yang dengan mudah dalam menentukan kebijakan. Tentu tujuan baik itu akan tercpai.

Keyakinan Diri Paling Utama

Ada sebuah istilah jawa yang mengatakan “Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani”. Arti aslinya adalah kalau berani jangan takut-takut, kalau takut jangan berani-berani. Berpolitikpun demikian, kalau berani menegakkan kebenaran, Berjihad-lah. Apabila tidak berani, karena dilatar belakangi kualitas yang kurang baik atau lain sebagainya, maka jangan berani-berani terjun dalam politik. Karena ditakutkan akan berimbas buruk kepada masyarakat. Bukan berarti penulis melarang berjihad, akan tetapi pertimbangan-pertimbangan harus kita pikirkan.

Dampak baik atau buruknya bukan sekedar hal kecil, akan tetapi sudah melingkupi masyarakat luas. Keamanan, keadilan, kemakmuran harus senantiasa diberikan kepada rakyat.

Politik dapat menjadi tempat untuk berjihad bagi orang-orang yang menegakkan kebenaran dan bisa juga menjadi laknat bagi orang-orang yang melakukan ke-dzalim-an.

Abana mengutip dari pernyataan KH Ahmad Dahlan dan menerapkan dalam politik tentang 4ER, yaitu; Bener, Pinter, Kober, dan Seger. Pertama, bener; memiliki niat menegakkan syariat Islam dan memiliki perilaku baik yang patut dicontoh masyarakat. Kedua, pinter; ilmu luas dan cerdik dalam berpolitik atau mengurus negara. Ketiga, kober; menyediakan waktu, jiwa, dan hartanya untuk berjuang. Terakhir, seger; badan yang selalu sehat dan uang yang tetap ada untuk dana berjihad.

Berpolitik bukan sekedar untuk mencari kekuasaan, makna politik adalah untuk mengurusi umat menuju negara kemakmuran atau kesejahteraan (Welfare State). Dengan politik, kita mampu meng-Islam-kan orang lain, menegakkan syariat-syariat Islam, mengatur kesejahteraan, dan masih banyak lagi untuk kebenaran.

Dengan politik pula, kita mampu mengkafirkan, menutupi kebenaran, dan mengadu domba masyarakat. Maka, berpolitik dapat dijadikan sebagai tempat untuk berjihad, juga bisa mengantarkan kita pada tempat kelaknatan Allah Swt. Maka, siapkan kualitas diri untuk berjihad. Syurga Allah menunggu para politikus yang menegakkan kebenaran. Wallahu ‘alam bi al-shawab.

Oleh: Busrol Chabibie, Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *