Abah dan Panggilan Mendidik

Baladena.ID/Istimewa

Guru adalah sebuah profesi yang mulia. Tidak asing di telinga, bahkan guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Menjadi guru merupakan sebuah amanah yang besar, yang harus dijalankan dengan melibatkan segenap kemampuan yang lengkap; intelektual, emosional, dan spiritual. Guru sebagai tenaga pendidik profesional tidak cukup hanya menguasai ilmu yang akan diajarkannya, melainkan juga dituntut memahami kondisi peserta didik yang dihadapinya. Karena itu, sangat diperlukan guru yang inspiratif, yang mampu mendidik, memberi teladan yang baik, dan bisa memahami kondisi kejiwaan peserta didik, serta mampu memotivasi dan memberi semangat peserta didiknya ke arah kemajuan.

Mengajar sendiri merupakan suatu proses menyampaikan ilmu dari seorang pengajar kepada orang yang diajari (biasanya dipanggil dengan sebutan murid) dengan tujuan memahamkan orang-orang yang diajari. Diharapkan pelajar dapat menerima, menguasai dan pengembangkan pembelajaran tersebut. Menurut Nana Sujana, mengajar adalah membimbing siswa dalam hal belajar mengajar atau suatu usaha untuk mengorganisasikan lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan ajaran yang menimbulkan proses suatu belajar mengajar.

Salah satu guru hebat yang penulis temukan di dunia adalah Mohammad Nasih, seorang Doktor Ilmu Politik di Universitas Indonesia yang telah mendirikan Rumah Perkaderan Monash Institute. Dalam proses mengajar, Abah, sapaan akrab santri kepadanya, sangat antusias sekali, karena mengajar adalah passion-nya. Mengajar dapat menemukan sesuatu yang selama ini dicari, atau menemukan hal-hal baru yang belum diketahuinya. Dengan mengajar, Abah mendapatkan inspiarasi yang luar biasa.

Dalam proses mengajar, tidak jarang rasa capek menghampirinya. Tetapi karena niat yang kuat dibarengi paradigma bahwa mengajar itu adalah kesenangan baginya, maka rasa kantuk akan hilang seketika saat Abah mengajar. Rasa lelah yang sangat mengganggunya juga akan lenyap dalam waktu sekejap. Dia tidak akan merasa terbebani dengan keadaannya, walaupun dia letih saat mengajar. Justru rasa tersebut akan membuatnya semakin bersemangat dan  lupa waktu. Abah mengajar dua jam pun tidak akan mengurangi rasa semangatnya, justru saat mengajar adalah waktu yang ditunggu-tunggu untuk merealisasikan mimpi-mimpinya.

Abah sangat telaten kepada muridnya. Dia tidak ingin seorangpun di antara muridnya yang gagal dalam segala hal. Misalnya saja menghafal, jika ada salah satu di antara muridnya yang dia anggap kurang menguasai dalam hal belajar, maka dia akan berpikir keras untuk menemukan solusinya. Jalannya yaitu, dengan cara i’rob al-Qur’an. Abah berharap muridnya akan dapat menghafalkan al-Qur’an dengan cepat dan memahami kandungannya dengan tepat.

Tiada waktu yang terlewat tanpa mengajar. Mengajar di manapun itu dan kapanpun itu. Mengajar di Semarang, Jakarta, Mlagen-Rembang, maupun di rumah Abah sendiri. Mengajar apapun itu. Mengajar utawi iku, menulis, berwirausaha, ataupun menghafal. Cara mengajarnya juga tidak membosankan. I’rob al-Qur’an misalnya, cara memaknai al-Qur’an dengan metode utawi iku atau biasa yang disebut dengan ilmu nahwu dan shorof. Pada umumnya, ilmu nahwu dan shorof itu untuk membaca kitab, namun realita disini untuk membaca Al-Qur’an.

Abah berkata, “Menjadi pendidik yang sesungguhnya akan dapat membuat kita sedikit merasakan kebahagiaan Nabi Muhammad karena sahabat-sahabatnya yang konsisten bersama dalam menanggung suka dan derita, kepedihan dan kebingungan menghadapi orang-orang munafik dengan watak kemalasan dan oportunis, keputusasaan Nabi Yunus sampai meninggalkan kaumnya, kemarahan Nabi Musa sampai membanting alwaah. Banyak sekali suka duka yang membuat hidup penuh warna dinamika”.

Abah semangat sekali dalam mengajar, karena baginya ilmu adalah dasar adab. Jika ilmu yang jadi dasar adalah sesat, maka adab yang dibangun adalah adab yang rusak. Sumber ilmu adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pada masa sekarang, banyak sekali anak muda, remaja maupun dewasa yang kurang memiliki akhlak. Maka dari itu, Abah ingin memperbaiki adab anak muda pada zaman sekarang agar lebih berakhlak, menghargai orang tua, guru, maupun dosen, dan menyayangi yang lebih muda bukan malah mengolok-oloknya.

Metode pembelajarannya sangat berbeda dengan kebanyakan guru maupun dosen lainnya, bahkan dengan kiai manapun. Kebanyakan dari mereka hanya mengutamakan penyampaian. Paham maupun tidak paham, itu masalah belakang. Berbeda sekali dengan Abah, Mohammad Nasih. Jika dengan cara ini tidak bisa, maka Abah akan mencari cara lain. Sehingga dia mendapatkan kepuasaan dalam menyampaikan ilmu, yaitu memahamkan dan dapat dikembangkan lagi.

Abah selalu menginspirasi dan memotivasi murid-muridnya di kala muridnya lagi lengah, bahkan tak jarang pula diselipkan dalam kajian-kajiannya. Dengan tujuan, murid-muridnya bisa terinspirasi dari cerita yang dia bawakan dan dapat mengambil hikmah dari cerita tersebut. Inspirasi tidak hanya dari dia saja, tetapi juga dari cerita kakak tingkat. Tak jarang dia meluruskan niat murid-muridnya yang pada umumnya hanya menginginkan kesenangan belaka.

Menurut Abah, mengajar adalah kesempatan yang sangat strategis untuk mendapatkan banyak inspirasi. Karena dengan mengajar, kita bisa mengetahui apakah pemahaman kita yang sudah tersusun rapi selama ini benar atau salah. Jika benar, maka beruntunglah orang tersebut. Namun jika salah, maka kita bisa membetulkan atau memperbaiki pemahaman kita dengan cara mencari pemahaman baru. Dari kesalahan pemahaman inilah bisa kita katakan sebagai mendapat inspirasi baru karena pasti mencari pemahaman yang lebih baik.

Lebih dari itu, anak-anak kiai mendapatkan kesempatan untuk mengajar di lingkungan pesantren, karena kepemilikan pesantren bersifat pribadi. Kesempatan mengajar, baik karena paksaan pada awalnya, atau karena keinginan sendiri, bisa menjadi sarana untuk belajar yang sangat efektif, terutama dalam hal membangun retorika. Berawal dari mengajar inilah, kemampuan berbahasa akan terasah karena biasa.

Juga akan muncul kesadaran tentang berbagai kekurangan dalam penguasaan substansi keilmuan yang harus selalu diperbaiki. Untuk memiliki kemampuan ini, Pak Menteri Nadiem sudah mendorong dengan seruan untuk memberikan kepada murid kesempatan mengajar di depan kelas. Sebab, memang, cara belajar terbaik adalah mengajar. Dengan mengajar itu, orang dituntut untuk memahami bukan sekedar menghafal.

Mengenai literasi, walaupun sebelumnya tidak mendapatkan tekanan khusus dan disandingkan dengan numerasi, sesungguhnya ini ada isu dan agenda lama. Dorongan kepada para guru untuk menulis telah ditekankan, tetapi hasilnya sangat minim. Bahkan guru Bahasa Indonesia pun lebih banyak memberikan teori berbahasa yang menyebabkan para murid menjadi bosan dan stres.

Ujian bahasa pun juga lebih banyak tentang apa yang disebut tambahan, imbuhan, sufiks, afiks, dan semacamnya yang tanpa aplikasi bisa dipastikan menjadi tidak ada gunanya. Itu terjadi karena pada umumnya guru, termasuk guru bahasa Indonesia, tidak memiliki karya dalam sebuah proyek literasi, terutama yang bersifat mandiri. Bagaimana mau mengajari murid untuk menulis, jika kebiasaan menulis itu tidak ada dalam diri setiap guru, bahkan guru bahasa? Tidak mungkin orang yang tidak bisa menulis mengajarkan menulis.

Mohammad Nasih adalah prototype seorang guru yang menjadikan mendidik sebagai panggilan. Di dalam aliran darahnya, terdapat sel-sel darah yang aktif menggerakkannya untuk mengajar. Tidak mengajar menjadikannya sakit. Tidak mengajar menjadikannya pula tidak bersemangat menjalani hidup. Satu hal yang ia percaya, mengajar itu sumber inspirasi. Mengajar adalah cara belajar terbaik. Dan karena itulah, baginya mendidik adalah panggilan dari dalam hati.

Oleh: Riayatul Millah, Disciple 2018 Monash Institute, Sekum Kohati Komisariat FITK (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan) UIN Walisongo Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *