[blockquote footer=”(To The Sky – Owl City)”]Ada kerajaan di atas pepohonan. Di mana yang hilang akhirnya ditemukan. Sentuhkanlah bulu-bulumu pada angin. Dan tinggalkan daratan.[/blockquote]
Silau, belati itu memancarkan sinar benderang. Kupalingkan wajah berusaha menghindar. Tanganku pun bergegas menyarungkannya kembali sebelum mataku benar-benar buta.
Di balik desir pepohonan, dapat kudengar suara terkekeh geli. Tone suaranya lembut lagi jernih, meski aku tahu tawa itu sejujurnya dimaksudkan untuk menghinaku.
“Verill… Verill…,” cela suara itu, terkekeh.
Aku memutuskan berbalik dan langung saja memutar bola mata malas. “Apa lagi sekarang, huh? Jangan cari gara-gara!”
Si pemilik suara masih tetap tergelak, membuat rambut pirang panjang terjatuh ke depan menutupi sebagian wajah rupawannya ketika terbungkuk-bungkuk. Oh, senang sekali dia menyaksikan penderitaanku.
Dengan kecepatan mengagumkan, kuraup dua anak panah sekaligus dari selubung panah di punggung dan memasangnya di busur; membidik.
Seketika itu juga, suara tawa menyebalkan pun lenyap. “Kau mau duel, Omaril?”
“Sialan, kau, Ver,” dengusnya. “Kau tahu aku belum siap. Cih! Lagipula mana ada pertarungan jarak dekat dengan panah? Pedang, dong.”
Aku menurunkan busur, tersenyum sinis. “Jujur saja. Kau tidak sanggup menyamaiku, bukan?” Kuputar badan dan mulai melangkah, tak sudi melihat reaksinya.
“Dasar peri menyebalkan! Aku kan cuma tertawa!” Omaril berlari membuntutiku, menyejajarkan langkah.
“Ya, silakan saja tertawa. Dan aku akan dengan senang hati membungkam tawa manismu,” tukasku.
“Grrh! Verill!”
“Belati itu milik mendiang ibuku. Aku bahkan tidak tahu ibuku memasukkan sinar bintang ke dalamnya. Puas?!”
Mulut Omaril membulat, membentuk huruf O. “Maaf, deh.” Aku pun hanya mengangkat bahu sebagai jawaban, tanda tak peduli.
Kemudian dia bungkam. Kami berjalan dalam keheningan menembus hutan. Aku meliriknya, memperhatikan peri berkuping lancip itu fokus pada setapak di depan. Ia bahkan tidak sadar jika aku tengah mengamatinya.
Tiba-tiba, dia berhenti lalu mengerutkan kening. Kerutan itu merusak wajah rupawannya. “Verill…”
Aku menaikkan alis, menunggu kata-kata selanjutnya.
“Kau sungguh aka-…”
“Aku harus pergi, Omaril,” sambarku langsung, sadar apa yang hendak Omaril utarakan. Aku mendongak ke arah kanopi hutan. “Aku akan pulang besok. Aku janji.”
Omaril mendesah. “Dasar elf keras kepala! Raja Peri akan memenggalku kalau tahu.”
Aku menyunggingkan senyum. “Untuk itulah kau ada, Kawanku.” Aku menepuk-nepuk pundaknya. “Tolong jaga adik kecilku untuk sementara waktu. Usahakan jangan sampai peri lain tahu kepergianku. Aku hanya akan mencari ramuannya, kemudian kembali sesegera mungkin.”
Lagi-lagi Omaril mendesah. Embus napasnya kentara sekali begitu berat. Ia lantas menepuk-nepuk bahuku. “Usahakan jangan sampai ketahuan manusia. Berabe nanti.” Menghela napas. “Jangan mati juga, oke?”
Aku tertawa mendengarnya dengan nada tanpa emosi, jernih, dan lembut. Sama seperti kebanyakan elf lain.
“Please, Verill. Jangan bercanda! Aku nggak mau mati muda gara-gara dibunuh Raja Peri.”
Aku gantian tersenyum geli. “Kau sudah melewati masa tiga ratus tahun kehidupan. Apa itu belum cukup?”
Omaril mendelik padaku. Tanpa salam dan basa-basi lagi dia menghilang dari hadapanku. Memanjat pohon dengan tangkas dan anggun; tidak seperti monyet, lebih seperti melayang.
Aku melangkah lagi. Menggeleng-geleng akan sikap sahabatku. Sejurus kemudian¸ sama seperti Omaril tadi, aku memanjat pohon dan sudah mencapai puncak pohon dalam sekejap.
Dari sini, di kejauhan, aku bisa melihat sebuah pohon raksasa. Cabangnya kokoh, tidak mudah patah saking besarnya. Di situlah dibangun kastil raja peri. Istana yang berada di atas pohon. Di sekitarnya, rumah-rumah pohon bertebaran. Dan di sana jugalah, di salah satu rumah pohon, terbaring adik kecilku yang tengah sekarat.
Aku tidak mungkin meminta pada Raja Peri untuk menyembuhkan adik kecilku, walau Raja Peri akan dengan senang hati melakukannya.
Masalahnya adalah, penyakit adikku tidak bisa disembuhkan Raja Peri. Aku harus mencari ramuannya di luar perbatasan. Dan itu berarti melanggar titah Raja Peri untuk menghindari manusia.
Raja Peri adalah segalanya bagi kami, kaum peri. Ibarat dewa yang senantiasa dipuja. Aku tak tahu bagaimana jadinya kami tanpa pemimpin.
Aku memejamkan mata dan mendesah. Forgive me, My Lord.[*]