#45 Percakapan Panjang yang Terbatas

Baladena.ID

Jika kabarnya menjadi semangat, ceritanya membuat hati tertambat, dan tangisnya memotong jarak semakin dekat. Semoga semuanya kian selamat.

Sebuah percakapan dimulai secara tiba-tiba. Tanpa ada janji untuk bertemu. Tetapi antara mata, kian memancarkan untuk mengungkap sekilas balas kegelisahan. Dengan tenang, Sahaya persilahkan Ia duduk di kursi yang baru saya tarik untuknya. Sedang Sahaya mengambil tempat ditentang meja bundar, di kursi seberang. Sahaya duduk di hadapannya.

Pramusaji datang. Membawa pesanan yang telah ku pesan sebelum Alanza datang. Air putih hangat, satu es teh, setumpuk tempe tahu dan sambal. Karena firasatku mengatakan, hari ini Alanza akan berkunjung ke tempat kerinduan berpulang.

“Jangan tanya di mana aku sembunyikan kegamangan!”

Tiba-tiba ia memulai perbincangan. Sedang, makanan dan minuman baru saja dihabiskan. Tumpas. Kecuali air putih hangat untuknya. Karena ia terbiasa membawa air minum sendiri di dalam botol kuning kesayangannya.

“Sahaya akan diam.” Jawabku memberi kesempatan.

“Pada duka Shinta yang mempesona. Dan luka Rahwana yang…”

“menganga?” potongku.

“Bukan. Atabeg me-lupa.”

“Tentang banyak peristiwa.” Sesalku.

“Dan luka Rahwana yang menebarkan dahaga.”

Memang banyak kenangan indah yang berlalu. Tapi kali ini, tidak akan Sahaya biarkan. Akan sahaya imbangi pikiran-pikiran barunya. Selagi mampu.

***

“Sudah kuduga, di mana adegan dalam ‘Pintu tertutup’ Dikau membuka rahasia?”

“Tentang kekalahan diri yang terulang kali, berulang.” Resahku.

“Di persimpangan daku termangu, di antara pepohonan ara yang terluka, dan detak jam yang terkapar sia-sia.”

“Detakmu tak jemu mengingatkan detik waktuku. ‘Beristigfarlah!’ katamu.”

“Wajah mana yang kau kenakan kini? Yang membuai atau yang melukai?”

“Lagi-lagi sesal menghampiri. Seperti marsal yang datang sedetik setelah seorang pembalap jatuh dari motor tunggangannya.”

“Dan si pendustapun menari, seraya mengibas-ngibaskan udara, yang disesaki liur putus asa.” Wajahnya menjauh, lepas dari hadapanku.

“Apalah Sahaya ini?”

“Darinya selalu kudengar cerita, tentang bidadari dan manisnya surga.”

“Lelaki kurus yang kian tak lurus.”

“Matamu bara api, Napasmu kilat belati.”

“ ‘Cukup! Kita sudah menerjang batas jalan.’ Katamu. Dan lagi kujelaskan, ‘Maafkan Sahaya, Alanza.’ Entah teruntuk yang kesekian kali,”

“O, akal sehat!, Kenapa mudah terbenam di sudut gelap, dan terperangkap di kisah penuh muslihat?”

Kemudian tanyamu kujawab dengan bungkam. Pikiranku tak mampu lagi meramu kata, yang barangkali, tidak lagi bisa Alanza percaya.

“Mengapa Puan begitu sabar menerima Sahaya?” desakku tiba-tiba.

“Lelaki yang menyimpan matahari, Perempuan yang menyimpan hujan; Pada keduanya, aku merajut impian!”

Kembali sahaya diam. Kamus kataku habis. Telingaku cukup menderita untuk mendengarkan. Sahaya memilih bungkam.

“Waktu serupa mimpi-mimpimu, Tak mudah menolak rindu.” Lanjutnya.

“Puan, mohon kirimkan do’a-do’a, agar akal kian sehat, dan usaha jangan sampai melarat.”

Tiba-tiba ia terdiam. “Untukku, Atabegmu!”

“Hm.” Jawabnya dengan gumam.

“(Jika) tak ada penghalang, Ku tunggu dikau di simpang jalan.” Lanjutnya sembari melirik ke arah ku.

Tiba-tiba Sahaya gugup. Mendekam ketakutan, seperti Tikus yang berada di cekeram kaki Elang. Entah akan mati, atau akan dibuang ke tempat yang jauh di seberang lautan.

“Lalu, alasan apalagi kamu bisa menerimaku? Jika langkahku, berulangkali menyesatkan jalanmu?” desakku untuk kesekian.

“Di geladak, Gerimis yang menusuk tulang sum-sum, masih setia menerka-nerka, nasibmu dan nasibku.”

Seakan tak memberi kesempatan kepada Sahaya menanggapi, katanya cepat bahkan sebelum guntur mengeluarkan kilat.

“Jangan ucapkan selamat tinggal pada mimpi, Konon, Ia tak benar-benar pergi!”

Sahaya diam. Gemetar. Dan Alanza kembali melanjutkan.

“Bukankah kita sudah membangun pondasi mimpi? Mengapa kita tak lekas bangkit dan membangun ‘mimpi nyata’ itu? Jadi, jangan tanya Apa dan Mengapa (lagi)!”

Sahaya menekuri dasar kursi, dan Ia pun berdiri dari tempat duduknya. Menghadapkan wajah dan tubuh seluruhnya ke arahku.

“Pada-Nya kita simpan pengharapan, Meski angin tak bernyanyi, Meski ombak datang dan pergi.”

“Cerita kita belum tamat. Akan Sahaya tulis sebagai ajimat. Selamat beraktivitas,  Alanza Kekasih, perempuan ayu yang amat sangat.”

Ku lihat Alanza menggerakan tangan kanannya, Ia ingin bersalaman dan pamit. Tetapi itu belum boleh. Kami belum halal untuk melakukan itu.

“Tolong, Nggih. Maaf, dan Terima Kasih. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Wr. Wb.”

Mataku mengikuti punggungnya yang perlahan menjauh, keluar dari toko buku kesayangan. Sedang Sahaya, masih terpaku di bangku kayu. Kaki ku gemetar mengingat katanya. Sempurna. Tak ada lagi makanan atau minuman di atas meja. Air putih hangat yang sudah dingin pun telah kuteguk habis, menyiram kebakaran jiwa yang sempat membara. Terlihat secarik kertas bertali benang emas gemerlapan. Tergulung rapi. Tertinggal di atas meja bundar ini.

Kutarik perlahan tali pengikat itu, ku buka gulungan dengan hati-hati. Tidak asing kata dan tulisannya. Itu tulisan tangannya;

“Karena Kau bernama kesunyian,

Yang menolak kilau cermin tipu daya,

Dan memilih berlikunya jalan ke Surga,

Maka, tak ada alasan bagiku,

Untuk menolakmu.

~Aku meminangmu.”

Seorang perempuan meninggalkan pesan yang memiliki makna tak terbatas. Tiba-tiba, Sahaya tenggelam dalam gelap dan tangis.

 

Tanah Tandus, 17 Oktober 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *