VISIBILITAS AGAMA DI RUANG PUBLIK

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M,Si.
Pengajar Ilmu Politik di FISIP UMJ

Larangan mengenakan jilbab atas para anggota Paskibraka putri yang dibuat oleh BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) pada menjelang peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2024 lalu terbilang sangat mengejutkan. Sebelumnya, larangan atas anggota Paskibraka putri untuk bisa menjalankan salah satu ajaran agama berupa menutup aurat tak pernah ada. Karena itu, muncul respon cepat dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan bukan hanya para tokoh agama Islam yang mempertanyakan kebijakan janggal tersebut.

Agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan, maka perlu elaborasi mendalam tentang bagaimana sesungguhnya praktik pengamalan agama di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah para penganut agama dan kepercayaan. Utamanya lagi mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim yang sebagian ajarannya tidak bisa dibilang privat. Atau jika pun sesungguhnya adalah ranah privat, tetapi juga menembus ruang-ruang publik. Jika hal-hal semacam ini tidak dibahas secara tuntas, lalu menjadi kerangka berpikir bersama, tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi di masa yang akan datang dalam bentuk yang berbeda, atau serupa tapi tak sama.

Indonesia memang bukan negara berdasar agama tertentu. Namun, dengan dasar Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, mestinya setiap warga negara berhak untuk menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Terutama Islam, bukan hanya tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga mengharuskan pelaksanaan ajaran-ajaran yang selainnya dalam kehidupan sehari-hari. Pemakaian jilbab adalah ajaran Islam yang harus dijalankan para muslimah untuk menjalani aktivitas di ruang publik. Kewajiban ini membuat setiap perempuan dewasa, hanya boleh menampakkan wajah dan tekapak tangan pada saat tampil di ruang publik, berdasarkan sebuah hadits Nabi Muhammad saw.. Pemeluk Islam yang memahami hadits ini secara literal, maka penutup kepala dan pakaian panjang pada bagian bawah kaki mutlak harus digunakan. Dan terutama jilbab, di Indonesia seolah sudah menjadi identitas seorang muslimah yang relatif taat. Walaupun negara Indonesia memberikan ruang yang sama kepada agama-agama yang diakui oleh negara, tetapi ajaran agama tidak otomatis dijadikan sebagai hukum positif. Bahkan walaupun atas pemeluk agama itu sendiri. Memang ada ajaran-ajaran tertentu yang masuk ke dalam produk legislasi, akan tetapi itu terjadi hanya disebabkan oleh dua hal, yaitu: dianggap sebagai sesuatu yang bersifat objektif karena saintifik, atau justru untuk membantu umat beragama menjalankan ajaran agamanya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Dan Umrah misalnya, dibuat untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi warga negara yang menunaikan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat. Masih banyak lagi peraturan perundangan lainnya yang sesungguhnya merupakan turunan dari UUD NRI Tahun 1945 pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Secara teoritik, keberadaan Pancasila bagi Indonesia, membuatnya menjadi negara yang tidak berbasis kepada agama tertentu, tetapi juga tidak sebaliknya terpisah sama dengan dengan agama (sekularistik), melainkan menjadikan semua agama yang diakui di dalamnya sebagai sumber nilai-moral dalam kehidupan bernegara. Hubungan antara semua agama yang diakui dengan negara bersifat simbiotik. Keduanya “saling memberikan makan”. Di satu sisi, agama menjadi sumber nilai-nilai kebaikan. Di sisi yang lain negara memfasilitasi agar setiap warga negara mendapatkan jaminan untuk menjalankan ajaran agamanya. Karena itu, pelaksanaan agama dan kepercayaan di Indonesia tidak seperti di negara-negara lain yang menganut paradigma sekularistik. Terlebih lagi negara yang menganut sekularisme ekstrem laiknya Perancis dan Turki modern di bawah “rezim Attaturk”. Di Perancis, karena sejarah revolusi Perancis, negara benar-benar menekan visibilitas agama di ruang publik. Dan keadaan ini tidak berubah sampai hari ini. Di Turki, itu terjadi sejak Attaturk berkuasa sampai era kemenangan AKP di bawah kepemimpinan Abdullah Gul dan Recep Tayyep Erdogan.

Sebelumnya, setiap kecenderungan untuk memberikan ruang kepada agama, pasti dihentikan oleh militer dan mahkamah konstitusi yang dijadikan sebagai pengawal sekularisme Turki. Namun, setelah kemenangan AKP, pelan tapi pasti, aturan-aturan yang melarang visibilitas agama di ruang publik diubah sehingga ekstremitas sekularisme di Turki berkurang.

Di negara-negara sekuler yang tidak ekstrem sebagaimana Perancis dan “Turki Modern”, kebebasan beragama atau berkepercayaan merupakan urusan yang bersifat privat. Karena itu, negara tidak memfasilitasi pelaksanaannya. Namun, visibilitas agama di ruang publik tidak dilarang, seperti memakai jilbab bagi muslimah, kalung salib, dan penutup kepala Yahudi. Sementara di negara dengan sekularisme ekstrem, penampakan simbol-simbol agama tersebut sama sekali tidak diperbolehkan.

Pelakunya bisa dijatuhi sanksi. Institusi yang memiliki visi dan peraturan internal mengarah ke sana, bisa dibubarkan. Dari sini, bisa didapatkan perspektif bahwa negara sekuler sekalipun, tidak menghalangi warganya untuk melaksanakan ajaran agamanya. Sebab, itu termasuk ke dalam bentuk kebebasan bereskpresi.

Berbeda dengan Indonesia, dengan dasar Pancasila, struktur negara Indonesia menjadi fasilitator bagi pelaksanaan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut warganya, bukan malah menghalanginya. Negara Indonesia didisain untuk mendukung warga negara yang bermaksud melaksanakan ajaran agama, walaupun tidak menjatuhkan sanksi terhadap siapa pun yang tidak menjalankannya sejauh ajaran agama itu belum ditransformasikan sebagai produk kebijakan politik kenegaraan formal. Dengan kata lain, sanksi atas sebuah pelanggaran yang merupakan ketentuannya terdapat dalam sebuah kitab suci misalnya, dijatuhkan bukan atas nama sebuah ajaran agama, melainkan karena adanya peraturan yang berlaku yang dihasilkan melalui proses politik di dalam lembaga yang memiliki kewenangan membangun legislasi.
Walaupun akhirnya BPIP meminta maaf, tetapi kebijakan tersebut telah terlanjur memunculkan kontroversi. Dan keluarnya larangan tersebut menunjukkan bahwa konstruksi berpikir BPIP didominasi oleh orang-orang yang sesungguhnya kurang memahami ideologi Pancasila. Karena itulah, diskursus tentang ideologi Pancasila harus terus dilakukan, terutama di kalangan elite politik. Sebab, merekalah yang sesungguhnya sangat menentukan apakah nilai-nilai Pancasila ini bisa dijalankan atau tidak. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *