‘The Black Death’ yang Tak Lagi Black: Pandemik Bukanlah Lelucon

Istimewa

Menyikapi pandemik yang sedang melanda dunia kali ini seakan seperti menekan tombol “pause” di MP3 Player,_memberhentikan_, memberhentikan seluruh pergerakan, seluruh dunia beramai-ramai menerapkan karantina sebagai pemutus penyebaran virus yang mematikan ini, hastag #dirumahsaja pun minggu ini menjadi trending, namun tak ayal beberapa orang masih bersikap apatis terhadap himbauan yang telah digalakan oleh negara, parahnya ketika MUI memfatwakan untuk mengganti sholat Jum’at menjadi sholat dzuhur, dan baru-baru ini, menutup beberapa masjid di daerah yang telah berstatus zona merah, sebagian umat masih menyepelekan dan membuat gerakan konyol dengan slogan “hanya takut pada Allah.”

Dunia bukan kali ini saja terserang pandemic mematikan, pada tahun 541 M, wabah Yustinianus penyakit pes, menyerang hampir di seluruh dunia terutama di Asia selatan dan tengah, Afrika Utara dan Eropa. Sempat mereda di pertengahan abad ke-7 namun merebak lagi di abad ke-13 dengan nama Black Death, yang menjadi pandemik global tahun 1346-1353, penyakit Black Death menyerang secara global terutama di Eropa, Afrika, dan Asia. Penyakit akibat bakteri Yersinia pestis dari kutu dan tikus ini  memakan korban di konstantinopel hampir 100 juta orang selama 2 abad pengulagan, korban jiwa setara dengan populasi eropa pada saat itu. Penemuan kuburan masal di atas lahan seluas 74 Hektare di utara kota London, Inggris, yang tak pernah diketahui sebelumnya, menjadi bukti bahwa keganasana Black Death bukanlah legenda.

Karena pandemic Black Death se-zaman dengan masa kejayaan Islam, Sumber-sumber literasi klasik Arab mencatat dengan baik, bagaimana para sahabat, ulama menyikapi pandemic ini. bukan dengan menentangnya dengan mengatas namakan tauhid “Hanya takut pada Allah”, tapi justru dengan mengajak dan meluruskan bahwa esensi agama adalah untuk menjaga kemanusiaan. Itulah salah satu dari Tauhid yang sesungguhnya. Eropa pernah begitu terpuruk, dan mengalami kekelaman masa akibat sikap fanatik sebagian umat beragama dalam menyikapi The Black Death, saya teringat pelajaran Sejarah Islam saya kelas 3 SMP lalu, dalam buku Tarikh Islam saat otoritas Eropa kehabisan ide untuk mengatasi wabah, ditambah masyarakat Eropa sangat putus asa menghadapi musibah ini, mereka mulai mengaitkan pada tahayul, bahwa umat Yahudi-lah yang menjadi penyebab atas wabah ini, karena Yahudi telah membuat Tuhan Yesus marah. Konflik terjadi, ribuan Yahudi dipersekusi, Genosida terjadi.

Diwaktu yang sama, dibelahan bumi yang berbeda tepatnya di Damaskus, wabah Black Death juga menjangkit di bekas ibu kota Bani Umayah ini, wabah tersebut dinamai “Thā’un al-Amwāt” atau (موت الأسواد). Salah satu pelajaran penting yang perlu digaris bawahi adalah kisah yang ditulis oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (W.1449 M), beliau kehilangan 3 putrinya akibat wabah Black Death/ Thā’un al-Amwāt ini, yaitu: Fathimah, ‘Aliyah dan Zin Khatun, si sulung yang sedang hamil. Kemudian, apa yang beliau lakukan? Menulis karya untuk menjaga nyawa sesamanya.

Al-Asqalani menulis buku Badl al-Ma’un Fi Fadhli at- Thā’un, karya ini telah ditahqiq oleh Ahmad Ishom Abd Qadir al-Katib, yang mengulas detil tentang wabah, definisinya secara metafisis dan medis, jenisnya, termasuk Black Death Eropa, pandangan ahli medis, cara menghindarinya, hukum syahid bagi korban, dan tentang bagaimana Muslim harus menyikapi wabah. didalam bukunya, beliau menceritakan, bahwa sekitar tahun 1348 M terjadi wabah penyakit menyerang kota Damaskus. Banyak ulama’ memberi arahan agar manusia tidak berkumpul dan menjauhi keramaian. Namun apa yang terjadi?, orang-orang tak mendengarkan, “lalu Manusia keluar menuju lapangan luas, disertai para petinggi negara. Mereka beramai-ramai berdo’a dan meminta pertolongan Allah. Dan wabah itu justru semakin besar, padahal sebelum mereka berkumpul, korbannya hanya sedikit” (hal.329). dalam bukunya al-Asqalani pun melanjutkan, “tak sampai sebulan setelah mereka berkumpul, jumlah korban malah meningkat menjadi 1000 orang perhari dan terus bertambah.” Sebenarnya para Jama’ah dari ulama’ kala itu telah memberi fatwa bahwa tidak berkumpul adalah hal yang utama dalam menghindari fitnah penyakit.

Apa yang difatwakan oleh para ulama kala itu, termasuk al-Asqalani, sangat jauh dari sikap pasrah menyerah pada takdir Allah, pandangan sikap dan agamanya sangat rasional. Dalam suatu riwayat, Umar ibn Khatab tatkala menjadi khalifah, ia diberi pilihan pada suatu hari, untuk datang ke daerah wabah atau kembali ke Madinah, Umar memilih untuk pulang ke Madinah dan berkata, “kita pergi dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain.”

Al-Asqalani bukanlah satu-satunya ulama yang terdampak pandemik mematikan, Abu Aswad al-Duwali, sang penggagas ilmu nahwu terkemuka, bahkan wafat akibat wabah yang mematikan ini. hal ini sungguh menjadi bukti bahwa pandemik tidak mengenal agama, ras, usia, gender dan kelas sosial.

Saat ini, pemerintah Indonesia sudah memutuskan bahwa kita sedang darurat bencana akibat korona, di masa yang genting seperti ini sangat penting untuk ikut arahan ulama dan ahli medis. Jika hanya bermodal semangat tanpa ilmu, akan mendatangkan bahaya yang lebih banyak daripada memperbaiki. Ya, kita memang takut kepada Allah tak takut pada korona, tapi bukan berarti menyalahgunai sunnatullah yang telah ada. Dalam buku Innahu al-Qur’an Sirru Nahdhatina karya Majdi al-Hilali, bahwa sebuah umat yang menyepelekan ikhtiar manusiawi artinya sudah menghianati Allah. Sebab Allah memberikan pada manusia hukum sebab-akibat, dan yang tidak peduli dengan itu, tandanya tidak mensyukuri nikmat Allah.

Penggaris bawahan “ikhtiar manusiawi” itu, bisa dalam bentuk social distancing yang sudah diterjemahkan pemerintah sebagai “bekerja di rumah, belajar di rumah, hingga belanja dari rumah”, berbagai tokoh beragama pun sudah berijtihad untuk mennunda ritual agama, tapi bukan menunda beragama. Keputusan itu semuanya pasti berdasarkan dengan dalil dan musyawarah yang panjang. Bukan dengan ego dan kepentingan pribadi.

Mari belajar dari sejarah yang telah terekam baik untuk penanggulangan wabah ini, mari berguru dari para suhu masa lalu, untuk beragama yang paripurna bukanlah dengan cara mengabaikan keselamatan bersama, melainkan dengan menjaganya dengan berbagai cara, mematuhi segala protokol keselamtan wabah ini, dan berdo’a untuk keselamatan dunia hari ini.

Oleh: Dea Rakhmatika, Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 Komentar

  1. Pembahasan yang menarik dan aktual, bahwa pandemi dalam bentuk apapun adalah keniscayaan. Hal tersebut karena pada kenyataannya kronologi kejadian luar biasa tercatat oleh sejarah di berbagai belahan dunia dan bergabai dimensi waktu.

  2. Tulisan yang luar biasa, mengingatkan kita kembali pada sejarah tentang pandemi yang juga pernah terjadi sebelumnya, mengingatkan kita untuk kembali belajar dari sejarah untuk tidak menyepelekan wabah corona yang sedang terjadi saat ini. Penulis juga sepertinya sangat mendalami sejarah, saya sangat kagum kelas 3 SMP sudah belajar sejarah yang luar biasa, kalau boleh tau SMPnya dimana ya?

  3. Tulisan yang luar biasa, membahas kembali sejarah tentang pandemi jaman dahulu yang bisa kita jadikan sebagai palajaran untuk menghadapi pandemi corona saat ini. Penulis luar biasa sangat mendalami sejarah, bahkan saat SMP kelas 3 sudah mendapatkan pelajaran sejarah yang luar biasa. Kalau bole tau penulis SMPnya dimana?