Sya’ban: Tradisi Jawa yang Spontan

Bulan Sya’ban termasuk bulan yang istimewa dalam agama Islam. Allah SWT telah menganugerahkan keutamaan-keutamaan kepada hambaNya di bulan ini. Bulan ke delapan dalam kalender hijriyah ini, pintu-pintu rahmat dan ampunan-Nya dibuka oleh Allah.

Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas al-Maliki dalam kitabnya Ma Dza fi Sya’ban? menjelaskan, bulan (ke delapan) hijriyah ini dinamai dengan sebutan ‘Sya‘ban’ karena banyak cabang-cabang kebaikan pada bulan mulia ini. Sebagian ulama mengatakan, ‘Sya‘ban’ berasal dari ‘Syâ‘a bân yang bermakna terpancarnya keutamaan. Menurut ulama lainnya, ‘Sya‘ban’ berasal dari kata ‘As-syi‘bu’ (dengan kasrah pada huruf syin), sebuah jalan di gunung, yang tidak lain adalah jalan kebaikan. Sementara sebagian ulama lagi mengatakan, ‘Sya‘ban’ berasal dari kata ‘As-sya‘bu’ (dengan fathah pada huruf syin), secara harfiah ‘menambal’ di mana Allah menambal (menghibur atau mengobati) patah hati (hamba-Nya) di bulan Sya’ban.

Sedangkan orang Jawa dalam kalendernya menyebut bulan ini sebagai bulan Ruwah yang berasal dari kata Arwah. Hanya keutamaan yang spesifik bisa dicari untuk membedakan nama bulan dan hari serta untuk memperingati peristiwa tertentu. Namun, apakah itu harus menjadi motivasi untuk beribadah? itupun tidak patut diperbincangkan dan dipermasalahkan kecuali hanya untuk menambah khusyuk dan keikhlasan melakukan ritual ibadah yang berlandaskan keyakinan dan kerelaan untuk mengorbankan dan membunuh waktu menjadi hal ‘lain’ yang dianggap ‘bermanfaat’.

Orang Jawa mengenal Ratu Adil dengan segala pemaknaannya yang terfragmentasi dan ricuh dengan kepentingan serta keyakinan para pendahulu yang diajarkan turun temurun. Ada yang mengatakan Ratu Adil adalah sesuai ramalan Sri Jayabaya, yaitu Nala Genggong dan Sabdo Palon. Ada pula yang pernah menganggap Pangeran Diponegoro Sultan Heru Cakra pada saat itu sebagai Ratu Adil. Bahkan, Presiden Soekarno pun ada yang menganggap sebagai Ratu Adil.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Polemik yang terjadi ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat peristiwa Jogja kembali dengan Janur Kuningnya adalah saran dari Ratu Adil atau ada juga yang menyebutnya dari Ratu Kidul. Sungguh semua adalah ajaib dan mencengangkan!.

Orang tradisional Jawa mengenal Ruwah sebagai bulan arwah. Bulan dimana saat untuk mengingat dan menghormati para leluhur yang sudah memasuki alam kubur dan bersemayam di kuburan. Mereka melakukan ritual-ritual tradisi yang sangat naluriah dan manusiawi untuk memuliakan orang-orang tua pendahulunya dengan mengunjungi makam, membersihkan bahkan berdoa beramai-ramai di makam keluarga.

Dengan membersihkan makam, orang jawa menyebutnya dengan Besik. Dilakukan baik secara bersama-sama dengan gotong royong di makam kampung ataupun bersama keluarga di makam keluarga yang kadang berada jauh dengan tempat tinggal. Rumput liar atau apapun yang terlihat mengganggu pemandangan akan dibersihkan, sehingga pada bulan Ruwah ini makam-makam akan terlihat bersih dan tidak terasa sangar atau sungup. Karena dibersihkan oleh sanak keluarga dan keturunan mereka yang sudah meninggal dunia.

Meneruskan besik atau membersihkan makam, selanjutnya pada tanggal yang sudah ditentukan di tiap makam atau kampung. Warga melakukan tahlil bersama di halaman makam dengan membawa makanan maupun hasil bumi untuk di bagikan atau dimakan bersama-sama di halaman makam. Hal ini bisa dimaknakan semacam bulu bekti setelah semua didoakan dan dikhususkan untuk disajikan pada leluhur setelah itu dinikmati bersama bersama handai taulan. Tidak terbatas pada masyarakat desa saja, keluarga yang jauh pun biasanya menyempatkan diri untuk hadir sekaligus berziarah ke makam leluhurnya.

Di sini, banyak yang bisa diambil maknanya, seperti persiapan untuk puasa Ramadhan yang dianggap sebagai perang jihad melawan hawa nafsu (makan). Sebelum berangkat perang, membersihkan diri dan memohon restu pada para pendahulu agar niat berpuasa sebulan mendapatkan ridha dari yang Kuasa, Karena setiap kelahiran memerlukan dua orang tua, dan hal tersebut adalah hukum alamiah yang siapapun sulit untuk tidak percaya.

Dengan adanya tradisi tersebut, ketan dan kolak pun muncul berhubungan dengan peristiwa ini. Semoga tradisi alami ini tidak lekang di makan jaman oleh ideologi para pemurni dan pembaharu yang menentangnya. Beribadahlah sekuat dan semampunya. Wa Allahu a’lam.

Oleh: Ma’bad Fathi, Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsri Ushuluddin UIN Walisongo

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *