Siang itu, langit begitu membiru. Kesakitan tersebab matahari kian garang memburu. Dan engkau? Tetap saja berkeras hati ingin memecahkan tabungan rindu. Hilangkan sendu sembuhkan pilu. Hentikan waktu agar tak cepat berlalu. Lalu kita mantapkan hati untuk bertualang ke dalam lautan surgamu. Ya, buku. Walaupun sebatas temu yang berdurasi seujung kuku, tetapi terasa seperti sewindu.
Sembari mencabut satu per satu dari rak lalu membuka pada bagian penting dari tiap lembar, kurasa perjumpaan kali ini begitu hambar. Entah engkau yang tak sabar, atau kah aku yang belum sadar? Kita mencoba menganggap semua terasa wajar. Namun, semakin lama jua menciptakan gusar.
“Tolong bantu saya mencari referensi, bisa?” ucapmu memecah sepi.
“Tentu,” balasku hemat.
“Mengapa hari ini berbeda?” tanyamu terheran.
“Tolong, jangan buat aku cemburu selain karena buku-bukumu,” jawabku.
“Jika begitu, jangan pula kau buat aku lama menunggu karena kau terlalu sibuk mengurus umatmu,” balasmu.
Perjumpaan hari itu telah berakhir. Dan kita pulang dengan menyungging senyum di bibir dan tetes tuba dalam hati. Bukannya tak ingin bersikap mendewasakan diri, hanya saja mencoba muhasabah guna introspeksi. Selepas siang itu di Jalan Veteran, masih saja aku ingin menertawakan diri sendiri yang tak kunjung bisa lari walau sesungguhnya ingin pergi.
Semarang, 7 April 2020
Oleh: Ilvaty, Perantau Bumi Emansipasi