Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakatuh.
Apa kabar, Dinda? Ah, maaf jika aku menyapamu dengan panggilan itu. Sejujurnya, aku belum tahu namamu. Tak apa. Mungkin kamu masih malu untuk mengatakannya kepadaku. Jika boleh aku menerka, pasti namamu indah dan penuh makna serta terselip doa dan harapan di dalamnya. Karenanya, aku meminta izin untuk menyapamu dengan panggilan Dinda. Semoga kamu tidak keberatan.
Karena kita belum saling mengenal atau bahkan mungkin belum pernah bertemu, maka di dalam surat ini aku menyertakan sebuah biodata singkat diriku. Jika berkenan, kamu bisa membacanya nanti di lampiran terakhir suratku.
Aku menulis surat ini sebagai sebuah langkah awal untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan harapanku, dan mungkin juga cita-cita dan harapan lelaki lainnya, yaitu menikah. Menikah untuk menggenapkah setengah agamaku. Menikah untuk bisa memliki dua buah sayap yang sempurna untuk bisa terbang ke surga. Bersama-sama denganmu, itu menjadi harapanku berikutnya.
Namun demikian, aku meyakini bahwa tidak mudah untuk menerima kehadiran sosok lelaki yang sama sekali belum pernah kamu kenal untuk hadir dalam kehidupanmu. Dalam sebuah lembaga yang bernama pernikahan. Sebab pernikahan itu sendiri adalah sebuah “mitsaqan ghalizha”, perjanjian yang kuat. Dan untuk melakukan perjanjian yang kuat itu, para pelakunya haruslah sudah siap segalanya, baik itu materi, mental, dan juga ilmu.
Mungkin di dalam surat ini, aku akan bercerita sedikit pandanganku tentang yang namanya pernikahan. Bisa jadi apa yang aku tulis akan merubah sikapmu sebelumnya atau mungkin dirimu tak mempermasalahkannya. Kamu tidak keberatan membacanya, Dinda? Ah, entah kenapa aku mulai senang menyapamu dengan panggilan itu. Maafkan, aku.
Baiklah, aku akan memulainya. Aku lelaki yang tak banyak bicara. Aku tak pandai memuji atau merangkai kata-kata romantis yang langsung bisa kuucapkan langsung di hadapan seseorang, apalagi seorang perempuan. Tapi itu bukan berarti aku tidak bisa mencintaimu atau menyangimu. Sebab ketika aku menikahimu, maka itu adalah tugasku. Siapa pun dirimu. Hanya saja, mungkin bentuk cinta dan sayangku tidak seperti yang dirimu bayangkan. Ungkapan perasaan hatiku banyak kutuangkan melalui tarian jemariku yang bisa kau baca jika kau berkenan. Luapan cinta dan sayangku lebih sering kusampaikan dengan sentuhan dan perbuatan. Entah kelak dirimu akan terbiasa dengan hal itu, atau diriku yang akan belajar untuk berubah. Mungkin bait-bait berikut bisa mewakili tentang bagaimana caraku mencintaimu.
seperti seorang pangeran tampan
yang mampu meniti bintang tersusun bak titian
untuk merengkuh sang rembulan
dan menghadirkannya dalam pelukan
seperti syair para seniman jalanan
yang mengais rezeki tuk menyambung nafas kehidupan
namun dengan kesederhanaan itu
kita kan selamanya bersatu
seperti kisah haru roman
dari negeri hayalan
pun tak bisa meniru aksi
para tokoh-tokoh fiksi
seperti alunan kidung bunda
yang mengajak pergi dari alam nyata
namun dengan yang sederhana
kuharap kita selalu bersama
Bagiku, pernikahan itu adalah bicara tentang masa depan, bukan masa lalu.
Setiap orang memiliki tiga waktu atau masa. Masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Begitu juga dengan aku dan dirimu. Di masa lalu, aku pernah mengenal seseorang yang istimewa dan pernah mengisi penuh bilik di ruang hatiku. Apakah kamu mengalami hal yang sama, Dinda? Jika tidak, maka sungguh aku sangat beruntung ketika dirimu memilihku menjadi orang pertama yang kau tempatkan di ruang terdalam hatimu. Jika kamu mengalami hal yang sama, maka apa yang kusampaikan ini berlaku untuk kita berdua ketika menjalani detik-detik kebersamaan. Jika tidak, maka apa yang kusampaikan ini hanya berlaku khsusus untukku dan kusampaikan kepadamu agar kelak dirimu mengingatkanku ketika diriku lupa.
Dinda, aku tidak akan menarik dirimu ke masa laluku dan memintamu menjadi sosok yang sama seperti seseorang di masa laluku karena keindahannya masih ada dalam kenanganku. Karena kamu bukanlah dirinya dan dia juga bukanlah dirimu. Kalian adalah dua orang yang berbeda yang hadir di masa yang berbeda pula. Maka cukuplah, cukup aku saja yang tahu tentang kisah diriku dan dirinya. Aku tidak akan pernah berbagi cerita tentang hal itu kepadamu. Dan aku berharap kamu tidak pernah menanyakannya.
Mengapa?
Aku takut hatimu akan terluka. Aku khawatir dirimu akan cemburu. Aku tak ingin kamu merasa bahwa dirimu adalah pelarianku semata. Sebab itulah yang aku rasakan jika kamu menceritakan kepadaku tentang kebersamaan dirimu dengan seseorang yang istimewa di hatimu, di masa lalumu. Sementara saat ini, aku telah denganmu.
Dinda, aku tidak akan mempermasalahkan masa lalumu. Karena masa lalu tidak akan pernah bisa diubah sedikit pun, sekeras apa pun kita berusaha. Yang terpenting bagiku adalah bahwa yang bersamaku saat ini adalah dirimu yang sekarang, bukan yang dulu. Kamu harus tahu bahwa dalam pandanganku, dirimu adalah sosok yang baru saat kita mengikat janji bersama. Yang berlalu biarlah berlalu. Yang terpenting adalah diriku dan dirimu, di hari itu melangkah bersama untuk mewujudkan cita-cita dan harapan di masa depan. Karena sejak saat itu, aku telah denganmu dan kamu telah denganku.
kau sebut-sebut namanya saat kita bicara
aku tak ingin, tak ingin mendengarnya
kau bawa-bawa namanya saat berdua denganku
karena aku tlah denganmu
bukan maksudku membuatmu berfikir
aApakah aku pelarianmu saja
membawa-bawa namanya saat berdua denganmu
karena aku tlah denganmu
bBukan maksudku membuatmu berfikir
apakah aku pelarianmu saja
maafkan aku membuatmu tak suka, aku tlah denganmu
bukan maksudku bukan maksudku membuatmu berfikir
apakah aku pelarianmu saja
karena aku Telah Denganmu
Dinda, menurutku, di dalam pernikahan itu yang seharusnya terlahir adalah hubungan persahabatan, bukan hubungan atasan dengan bawahan. Sebab seorang istri itu tercipta dari tulang rusuk suami.
Dinda tahu fungsi dan letak tulang rusuk itu? Ia adalah penopang dan pelindung organ-organ tubuh yang lemah seperti jantung, lambung, paru-paru, dan sebagainya. Letaknya di sisi kanan dan kiri tubuh.
Seandainya seorang istri tercipta dari tulang tengkorak suami, mungkin sang istri akan menjadi atasan dan suami menjadi bawahan. Seandainya seorang istri tercipta dari tulang kaki suami, mungkin sang suami yang menjadi atasan dan istri yang menjadi bawahan. Menurutku, bentuk kerja sama yang demikian hanyalah bersifat sementara. Tidak kekal. Tetapi, karena seorang istri tercipta dari tulang rusuk suami, keduanya berada dalam sebuah garis sejajar. Keduanya adalah partner. Dengan adanya rasa mahabbah di antara kita yang terjalin atas dasar mahabbah kepada Sang Maha Pencinta, maka hubungan keduanya akan menjadi abadi. Berkekalan. Bukankah di akhirat kelak, Allah akan mengumpulkan kembali seseorang dengan orang-orang yang dicintainya di dunia?
Aku ingin hubungan kita nantinya seperti itu. Persahabatan yang abadi. Persahabatan di dunia dan akhirat.
Dinda, persahabatan yang baik bukanlah persahabatan yang ada di masa-masa senang saja. Tetapi juga akan ada ketika menghadapi kondisi yang sulit dan menyulitkan. Persahabatan yang baik pun tak hanya ada dalam kebaikan, tapi juga harus ada dalam kezhaliman. Bukan. Bukan untuk saling membantu dalam kezhaliman, melainkan untuk mengingatkan ketika salah satu di antara kita akan melakukan kezhaliman agar tak ada yang terjerumus.
Dinda, aku memilihmu, bukan hanya karena dirimu yang baik, tetapi karena ada keyakinan bahwa dirimu akan menjadi wasilah untuk menjadikan diriku lebih baik. Atau setidaknya, kita bisa melangkah bersama-sama untuk menjadi lebih baik. Maka tetaplah menjadi sahabatku, di duniamu dan di akhiratmu, serta don’t lup me!
Bukan, aku sama sekali tidak memintamu untuk tidak mencintaiku. Justru sebaliknya. Cintailah aku. Sebab aku akan selalu mencintaimu. Aku hanya mengatakan “Don’t lup me!“, bukan “Don’t love me!”, bukan juga “Don’t luv me!”.
Dinda pasti tahu benda yang disebut lup. Nama lainnya kaca pembesar. Suryakanta, itu sebutan lain untuk benda ini. Kamu pun pasti sudah tahu fungsinya. Yup, benar. Fungsinya untuk memperbesar penampakan benda-benda kecil. Dengan lup, kita bisa melihat benda-benda kecil dengan lebih jelas.
Karenanya, benda ini tidak cocok jika kamu gunakan untuk melihatku. Mengapa? Tentu saja karena aku bukan benda kecil. Aku ini benda besar. Lebih besar darimu. Itulah sebabnya aku mengatakan “Don’t lup me!” kepadamu.
Dinda, aku manusia. Demikian pula dirimu. Sebagai manusia yang sempurna, maka diriku akan memiliki banyak kekurangan dan sering berbuat kesalahan. Kuharap kamu bisa memakluminya. Sementara aku akan berusaha memperbaikinya.
Salah satu caranya adalah dengan tidak menggunakan lup ini untuk melihat kekurangan dan kesalahanku. Sebab, jika kamu menggunakannya, maka sekecil apa pun kesalahan yang kubuat atau sekecil apa pun kesalahan yang kulakukan, akan terlihat begitu besar. Bahkan sangat besar. Seandainya kamu terus melihat kekurangan dan kesalahanku dengan lup tersebut, maka tak akan ada kebaikan yang kau dapati di dalam diriku.
Lup itu, jika digunakan terus-menerus, akan menghasilkan sebuah titik fokus yang lama kelamaan akan membakar dan menghanguskan diriku. Ibarat kamu menggunakannya untuk melihat sebuah daun kering di bawah teriknya matahari, maka beberapa saat kemudian, daun kering itu akan terbakar.
Karena itulah aku mengatakan “Don’t lup me!“ Aku pun tak akan melakukannya kepada dirimu. Biarlah kekurangan dan kesalahan itu ada di dalam diri kita masing-masing. Lihatlah kekurangan dan kesalahan itu sesuai dengan porsinya. Jangan diperbesar. Akan menjadi baik jika porsinya diperkecil sehingga kita tidak berat untuk bisa memakluminya. Mengingatkannya. Memperbaikinya. Akan jauh lebih baik jika masing-masing dari kita untuk berusaha menghilangkannya. Dan hanya kebaikan-kebaikan saja yang tersisa di antara kita berdua.
Dinda, bagiku, pernikahan itu saling memberikan kehangatan dan perlindungan satu sama lain. Ibarat pakaian. Seorang suami adalah pakaian bagi istrinya. Istri adalah pakaian bagi suaminya. Pakaian yang aku dan kamu kenakan tak hanya berfungsi untuk melindungi tubuh kita dari panas atau dinginnya cuaca dan gigitan serangga. Namun yang terpenting adalah untuk menutupi bagian dari tubuh kita. Penutup aurat. Karena tidak semua orang boleh melihat bagian tubuh yang merupakan aurat kita.
Dinda, jika kelak kita menikah, setelah kita resmi menjadi suami-istri, maka masing-masing dari kita adalah pakaian untuk yang lainnya. Kamu adalah pakaianku, aku adalah pakaianmu. Fungsinya pun sama, untuk memberikan perlindungan satu sama lain. Bahkan lebih dari itu.
Masing-masing dari kita memiliki kekurangan. Di masa-masa berikutnya pun mungkin masing-masing kita akan melakukan kesalahan. Maka fungsi diriku dan dirimu sebagai pakaian satu sama lain harus dijalankan. Jika pakaian yang melekat di tubuh kita adalah untuk melindungi tubuh dan menutup aurat, maka sebagai suami-istri, fungsi yang harus kita jalankan menutupi apa yang menjadi aib diri kita masing-masing. Aku menjaga aibmu agar tak ada orang lain yang tahu kecuali kita berdua dan kamu melindungi aibku agar tak keluar dari rumah kita. Aib yang aku miliki akan menjadi kekurangan dirimu. Sebaliknya pun demikian, aib yang ada pada dirimu akan menjadi kekurangan diriku.
Jika aku menceritakan apa yang menjadi kekuranganmu kepada rekan-rekanku, itu adalah sebuah kesalahan. Begitu pula jika dirimu memasang status di jejaring sosial yang berisi kekuranganku, itu merupakan sebuah kesalahan. Mungkin kesalahan yang lebih besar, karena dampaknya lebih luas. Seisi dunia bisa tahu. Karenanya, kita harus menghindari yang demikian.
Dinda, jika aku menikahimu maka aku juga harus ‘menikahi’ keluargamu. Begitu juga sebaliknya. Karenanya bukan kekurangan dirimu saja yang harus aku lindungi, tetapi juga kekurangan keluargamu. Dirimu pun bukan saja harus menjaga aibku, tetapi juga aib keluargaku.
Ketika dirimu menceritakan apa yang menjadi kekurangan ibuku, ayahku, atau adik-adikku kepada teman-temanmu, itu adalah sebuah kesalahan. Begitu pula jika aku memasang status di jejaring sosial yang berisi kekurangan ibumu, ayahmu, atau kakak-kakakmu, itu merupakan sebuah kesalahan. Mungkin kesalahan yang lebih besar, karena dampaknya lebih luas. Seisi dunia bisa tahu. Karenanya, kita harus menghindari yang demikian.
samarkan dengan cinta
tutupi dengan rasa sayang yang ada
samarkan agar tak menetas
tutupi agar tak meluas
samarkan agar tak melebar
tutupi agar tak menyebar
Dinda, aku sangat berharap bahwa kita bisa menjalankan fungsi penting tersebut di dalam keluarga kita dengan sebaik-baiknya. Fungsi bahwa kamu adalah pakaianku, aku adalah pakaianmu.
Dinda, bagiku, pernikahan itu adalah kebersamaan dua insan, aku dan dirimu. Bukan penyatuan dua manusia dengan ego yang berbeda. Sebab, aku dan dirimu adalah dua sosok dengan kepribadian yang berbeda. Caraku menggunakan akal pasti berbeda dengan caramu mengerahkan pikiran. Caramu menggunakan hati, pasti akan berbeda dengan caraku menimbang rasa. Jiwa, badan, perasaan, dan pemikiran kita berbeda satu sama lain. Karenanya, kita tak mungkin bisa bersatu.
Jika nantinya kita telah menyatukan tujuan dalam sebuah pernikahan, maka tujuan kita adalah satu. Sama. Tapi cara yang kita tempuh tidaklah sama. Aku punya cara yang akan aku jalani karena memang aku menguasainya. Dirimu pun memiliki cara yang akan kau tempuh karena memang cara itu yang kamu kuasai. Sekali lagi kunyatakan, cara yang kita pilih dan kita lakukan ternyata berbeda. Karenanya, kita tidak bisa bersatu dalam hal ini.
Dinda, ketahuilah! Aku dan dirimu adalah berbeda. Dalam banyak hal. Tak mungkin kita bersatu. Mustahil kita menyatu. Sebab jika terjadi demikian, tak akan ada lagi jiwaku, tak akan ada lagi jiwa milikmu. Sebab kalau kita menyatu, maka tak akan ada lagi hatimu dan tak akan lagi perasaanku. Sebab ketika kita menyatu, maka tak akan ada lagi akalku dan tak akan lagi pikiranmu.
Karenanya, kita tak mungkin bersatu. Tak mungkin kita menjadi satu. Tapi, kita bisa bersama. Ya, bersama tapi tidak menjadi satu. Bukan. Bukan seperti bensin dan air yang bisa berada dalam satu wadah tapi tidak akan menjadi satu. Bukan seperti itu yang kumaksud. Aku tak ingin kita kondisi seperti itu di mana salah satu dari kita berada di atas sedang lainnya dalam kondisi tertindas. Sebab bensin akan selalu berada di atas, sementara air selalu di bawah.
Kondisi air dan bensin yang bersama namun tidak menyatu juga akan menyebabkan keduanya kehilangan manfaat. Air yang menyendiri akan menyegarkan orang dan hewan yang meminumnya. Tumbuhan pun akan merasakan demikian pula ketika disirami dengan air. Bensin yang menyendiri bisa menjadi bahan bakar kendaraan hingga bisa berjalan. Namun bila keduanya bercampur meski tidak menyatu, maka keduanya tak akan memberikan kesegaran kepada manusia, hewan, dan tumbuhan. Keduanya juga tidak bisa lagi digunakan sebagai bahan bakar untuk menyalakan mesin kendaraan.
Kebersamaan kita, mungkin lebih cocok jika diibaratkan seperti rel kereta. Ya, dua buah besi panjang yang selalu seiring bersama. Sepanjang jalan. Keduanya selalu bersama, bukan bersatu. Satu di kanan dan satu di kiri. Keduanya terikat satu sama lain sehingga hubungan di antara keduanya semakin kuat. Selama keduanya bersama dan berada di jalur yang sama, maka kereta akan aman ketika berjalan di atasnya. Seperti itulah diri kita. Berdua. Kuharap.
Dinda, tujuan kita sama, seperti tempat yang dihubungkan oleh kedua besi panjang itu. Namun cara kita meraih tujuan tersebut akan berbeda seperti kedua rel kereta itu juga. Satu rel menjadi tempat pijakan roda kereta yang berada di sisi kanan, sementara rel satunya lagi menjadi tempat pijakan roda kereta yang berada di sisi kiri. Keduanya membagi beban sama rata. Membagi kebahagiaan dan menepis duka secara bersama-sama, seperti puisi di berikut.
wahai bidadari
yang turun dari langit ke bumi
namun bukan hanya sekedar untuk mandi
seperti kisah di sebuah legenda yang tidak pasti
ketahuilah bahwa sekarang kau tidak sendiri
telah hadir seorang pendamping di sisi
yang akan berusaha semampu diri
untuk selalu menemani
yaa zawji
kau bukanlah seorang pangeran dalam kisah fiksi
yang menikah dengan seorang putri
dan hidup berbahagia di pusat negeri
namun ketahuilah bahwa sekarang kau tidak sendiri
telah hadir seorang pendamping di sisi
yang akan berusaha segenap hati
untuk selalu menemani
wahai bidadari
suatu ketika mungkin kau bergundah hati
lantas bersedih dan mengalirkan air mata di pipi
saat itu mungkin akan kau sadari
bahwa dirimu tak lagi sendiri
karena telah hadir seorang pendamping di sisi
yang akan menghapus duka tak terperi
dan menggantinya dengan senyum berseri
yaa zawji
suatu masa mungkin kau diliputi awan mendung tak bertepi
lantas kau pun berdiam diri dan ingian menanggungnya sendiri
saat itu mungkin akan kau sadari
bahwa dirimu tak lagi sendiri
karena seseorang telah berdiri di sisi
yang siap meniup awam kelam itu pergi
dan menggantinya dengan ceria hari
wahai bidadari
suatu ketika mungkin bahagia meliputi hati
lantas tawa canda menghiasi
saat itu kuingin engkau menyadari
bahwa dirimu tak lagi sendiri
karena telah hadir seorang pendamping di sisi
yang berharap kau akan berbagi
dan memanjatkan syukur atas apa yang telah diberi
yaa zawji
suatu masa mungkin kau berada di sebuah taman nan asri
lantas kau pun menari dan menyanyi
bersama kupu-kupu yang terbang ke sana ke mari
saat itu kuingin engkau menyadari
bahwa dirimu tak lagi sendiri
karena telah hadir seorang pendamping di sisi
yang berharap akan kau ajak melangkahkan kaki
Dinda, sepertinya suratku sudah terlalu panjang untuk sebuah permulaan. Aku cukupkan saja sampai di sini. Aku akan menunggu jawabanmu, apakah kita akan melanjutkan pembicaraan ini di suratku yang berikutnya, atau dirimu mengizikanku untuk datang ke rumahmu untuk bertemu dengan kedua orang tuamu. Kuharap jawabanmu tidak terlalu lama. Terima kasih telah berkenan membaca suratku.
Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
perkenalkan, nama saya Indah…
Izin copas ya bang…🙏🙏🙏🙏,,
.
Kebetulan,saya mau menikah satu bulan lagi,,ceritanya lun sama dari perjodohan
Silakan, Abang