[blockquote footer=”-Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah“]“Apakah sebangsamu akan kau biarkan terbungkuk-bungkuk dalam ketidaktahuannya? Siapa bakal memulai kalau bukan kau?” [/blockquote]
Sebelumnya aku ucapkan terlebih dahulu selamat Valentine untukmu. Namun, bukan sebuah coklat yang Aku sajikan. Pikirku, terlalu Sayang jika hadiahku hanya akan berakhir di story Instagrammu, dilihat segelintir orang, dan akan hilang 24 jam kemudian.
Aku awali tulisan ini dengan sebuah kutipan dari seorang Pramodya Ananta Toer. Sengaja Aku menulis ini sebagai sebuah komitmen dan idealism. Sebagai seorang anak manusia yang secara faktisitas dilahirkan di sebuah negeri yang bernama Indonesia.
Ta, tempo hari kamu pernah berkomentar dalam sebuah postingan Facebookku dengan disertai emot masam diakhirannya. “Bang Hakim sebenarnya sudah lulus kuliah atau belum? Koq tidak pernah pasang foto wisuda di Facebook. Tapi seringkali malah update status tentang demonstrasi. Ada yang sampai dipukul Polisi pula”.
Jujur saja, Aku terperanjat membaca komentarmu. Sejurus kemudian, aku mencoba mencernanya, dan berupaya memahami jalan pikiranmu. Barangkali, ketidaktahuan yang memantik jemarimu untuk menulis komentar seperti itu. Karenanya, lewat surat ini, Aku akan menjeskan semuanya. Dan semoga engkau berkenan membacanya.
Ta, sebagai Mahasiswa, dan sebagaimana yang kamu ketahui bahwa Aku telah memantapkan diri sebagai seorang aktivis Mahasiswa, harus memiliki skala prioritas dalam hidup. Karena pada dasarnya, kehidupan akan selalu menghadapkan Kita pada pilihan. Dimana pilihan tersebut harus berani Kita ambil dengan segala konskuensinya, termasuk resiko di dalamnya.
Ta, perlu kamu ketahui. Aku pun juga dihadapkan pada pilihan itu. Dan sekarang Aku sedang mencoba untuk bertanggungjawab atas pilihan yang Aku ambil.
Ta, Aku memilih menjadi seorang “maniak jalanan” bukan tanpa alasan. Karena bagiku, konsekuensi logis dari menjadi seorang Aktivis adalah berdemonstrasi. Kau tahu, Ta? Bahwa setiap demonstrasi yang Aku lakukan karena itu merupakan salah satu bentuk dari pengejawantahan sebuah keyakinan idealisme. Dimana Aku berusaha untuk menunjukkan komitmenku kepada Kaum-kaum mustad’afin, atau sering kamu sebut masyarakat melarat nun termarginalkan karena belenggu kemiskinan struktural.
Ta, bagimu ini mungkin terdengar aneh, atau bahkan nyeleneh. Disaat teman-teman sebayaku sedang asyik memainkan Game di smartphone mereka, Aku justru memilih jalan yang tak pernah dilirik orang. Bahkan banyak yang mencela. Kamu pernah kan mendengar orang-orang berucap bahwa demonstrasi hanya menciptakan kemacetan saja? Atau orang yang berucap bahwa Mahasiswa itu seharusnya kuliah yang rajin biar cepet lulus, IPK tinggi, dan pasca wisuda langsung diterima di perusahaan elit di Ibukota?
Lucu kan, Ta. Tertawalah. Karena Aku tak akan melarangmu, karena tawamu kebahagiaan juga bagiku.
Ta, sekali lagi Aku tegaskan. Bahwa ini merupakan sebuah resiko dari jalan yang sudah Aku pilih. Bagiku, menjadi seorang Aktivis merupakan sebuah perjuangan besar. Ya, kami menyebutnya sebagai perjuangan, karena tujuan yang kami canangkan jelas, yakni untuk merombak sistem represif dan bobrok ini untuk digantikan dengan sebuah sistem yang baru yang lebih baik. Sebuah sistem yang demokratis, yang lebih memungkinkan pelaksanaan hak asasi manusia yang hakikiah, lebih memungkinkan terwujudnya keadilan sosial, lebih memberikan kesempatan kepada rakyat banyak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan, dan bisa menghapus kemiskinan. Dan aku yakin betul, kita memang harus berjuang, jika kita mengiinginkan hidup ini mempunyai makna.
Ta, Barangkali kamu harus tahu bagaimana bobroknya sistem di negeri ini. Dahulu, sering ibuku bercerita tentang indahnya negeri ini. Kata ibuku, Indonesia kaya raya. Aku dengar dongeng ibuku sebagai pengantar tidur. Namun sekarang, ketika aku elah melihat kenyataan secara jelas, aku hapus mengubah dongeng ibuku tentang negeri ini.
Ta, kalau penguasa negeri ini membuai rakyatnya dengan slogan-slogan kemakmuran, itu adalah dongeng menjelang kematian. Jikalau penguasa bercerita tentang raja-raja baru, itu pertanda hidup ini akan lebih hina. Bila penguasa bercerita tentang dewa-dewa baru, hal itu merupakan pertanda bahwa hidup rakyat akan lebih melata. Dan jika penguasa bercerita tentang kapitalis-kapitalis baru, itu artinya hidup rakyat semakin serba kekurangan.
Memang terkadang orang melihat bahwa seorang tokoh demonstran nampak gagah berani bak seorang pahlawan. Di atas panggung ia memegang mikrofon. Pidato berapi-api, membakar semangat massa. Ia tampak lebih gagah lagi bila melangkah mantap di depan ratusan massa memimpin demonstrasi. Dengan ikat kepala dan di tangannya tergenggam megafon, ia menjadi komandan lapangan sebuah aksi. Tapi itu hanya gambaran luarnya. Artinya orang hanya melihat kegagahan luarnya. Orang tak pernah melihat bahwa ia akan sakit hati dan kecewa bila ditinggal orang yang dicintai. Aku pun menyadari, aku membutuhkan cinta. Dan, aku membutuhkan dirimu dengan segala kemanjaanmu, keceriaanmu, dan cintamu.
Ta, kuakhiri surat ini. Nanti akan Aku sambung lagi dengan surat-surat yang lain. Aku mohon maaf bila dengan hadirnya surat ini, kau akan tersinggung, karena memang banyak kata-kata yang kurang berkenan di hatimu. Aku tahu, perasaanmu halus. Aku sudah berusaha untuk tidak menyinggung perasaanmu. Okey, Ta, sekian suratku dan terima kasih atas perhatianmu. Jangan lupa di posting di berandamu ya? Siapa tahu Ibumu akan merubah pandangannya atas diriku.
*Diadaptasi dari sebuah tulisan berjudul “Catatan Seorang Aktivis Karya Ngarto Februana dengan sedikit gubahan