Si Oposisi yang Soliter

 “Jangan takut mengatakan kebenaran, walau kalian sendirian.”

Selama ini, banyak orang mengenal solitaire tidak lebih sebagai salah satu permainan kartu di komputer. Permainan di sistem operasi Microsoft ini kerap dijumpai dengan nama ‘Spider Solitaire’. Aturan main di game ini gampang, hanya dengan mengurutkan kartu dari AS sampai King. Dinamakan solitaire karena permainan ini cukup dengan seorang player untuk menghabiskan kartu-kartu dan mencapai kemenangan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), solitaire atau soliter memiliki arti menyendiri atau tidak berada dalam kelompok. Sementara dalam bahasa Inggris, solitaire yang berasal dari kata solitary berarti melakukan segala sesuatu sendiri tanpa orang lain atau “done alone without other people” (Oxford Pocket Dictionary, 2008: 422). Kata sifat ini bersinonim dengan loneliness dan single. Apabila soliter dikaitkan dengan sifat seseorang, maka orang itu cenderung lebih suka menyendiri. Kata soliter ini seakan-akan mempunyai hubungan erat dengan kata egois.

Sayangnya, “keegoisan soliter” tidak berlaku bagi seorang doktor ilmu politik yang bernama Dr. Mohammad Nasih, M. Si.. Nasih sudah terbiasa menjadi opponent. Dia melakukan apa yang menurutnya benar. Dia secara terang-terangan menyerukan kebenaran dengan lantang. Sekalipun hal itu bertentangan dengan pemikiran dan kebiasaan orang pada umumnya.

Dalam satu kajian malam di Rumah Perkaderan Monash Institute, Mohammad Nasih pernah menyampaikan wejangan kepada santri-santrinya, “Jangan takut mengatakan kebenaran, walau kalian sendirian.”

Akibat pendiriannya yang kritis itu, Nasih harus rela dicopot jabatannya dari posisi komisaris utama salah satu BUMN di Indonesia. Padahal, gaji yang dia terima tidak main-main. Jabatan yang dipegang pun adalah jabatan orang paling tinggi di perusahaan.

Nasih itu terlampau kritis. Padahal, teman-temannya sesama komisaris sudah memperingatkan, “Jangan keras-keras. Jangan kenceng-kenceng kalau ngomong. Nanti dicopot (jabatannya).”

Tapi, sebab ‘keegoisan soliter’ membuat Nasih memilih untuk mengabaikan peringatan itu. Dia sadar akan konsekuensinya. Dia percaya apa yang dia sampaikan adalah kebenaran. Nasih siap apabila dicopot dari jabatannya dan dia tidak akan pernah menyesal. Baginya, uang masih bisa dicari. Dia tetap teguh dan tidak bergeser dari pendiriannya yang soliter itu. Ini menjadi bukti sikap Mohammad Nasih ini sungguh seorang oposisi yang bertindak soliter. Seseorang yang ‘menempuh jalan sunyi’, sendirian tanpa rasa takut.

Memulai karier sebagai oposisi sudah Nasih lakoni semenjak duduk di bangku kuliah di masa Soeharto. Dulu, sewaktu menjadi mahasiswa di tahun 98-an, hal yang sering dilakukan Nasih adalah berdemo. Sewaktu era reformasi Soeharto, dia sering melakukan aksi dan publikasi (baca: menulis) untuk mengkritisi penguasa yang dhalim. Tulisannya yang banyak mengandung kritik untuk penguasa pun sampai sekarang masih bisa dilihat di internet.

Tidak cukup sampai di situ. Aksinya masih berlanjut dalam mengkritisi presiden, selain Soeharto, ia juga ikut andil dalam mengkritisi Gus Dur hingga Megawati. Mulai di era kempemimpinan SBY, Nasih sudah tidak lagi berdemo karena profesi dosennya. Untuk itu, Nasih hanya menyampaikan lewat tulisan. Tulisannya pun jadi tersebar di mana-mana.

Rumah Perkaderan Monash Institute

Melalui putra-putri ideologisnya, Nasih bertekad menyelamatkan generasi muda Indonesia yang keadaannya kian memprihatinkan. Diharapkan dengan sistem perkaderan terstruktur, anak-anak ideologisnya dapat terhindar dari pemikiran yang rancu dan keliru.

Mohammad Nasih memang bukanlah satu-satunya orang yang menjadi pihak opponent. Masih banyak orang di luar sana yang menyuarakan kebenaran lalu dianggap menyimpang. Ambillah contoh Galileo Galilei.

Laiknya Galileo Galilei, Nasih sering terlibat dengan segala ketidaklaziman. Dimulai dari idenya mengenai pembangunan sebuah pondok tahfidh sekaligus perkaderan. Bahkan sembilan tahun ini, meski prestasi disciples telah tersohor, tidak mampu menghilangkan cap ‘aneh’ dan `sesat` di benak sebagian kalangan masyarakat.

Yang paling kontroversial tentu isu terkait aliran pondok. Kebanyakan orang mengira NU dan Muhammadiyah adalah dua aliran yang bertentangan. Nyatanya, keduanya hanyalah organisasi. Orang-orang pun dengan ngeye­l-nya berkoar-koar soal mana yang salah dan mana yang benar. Padahal, dua golongan ini tidak mengubah keyakinan pada satu tuhan dan satu rasul akhir zaman.

Menyaksikan kedua kubu aliran bersitegang, Mohammad Nasih membangun pondok yang menjadi perpaduan keduanya: NU dan Muhammadiyah. Bukan NU, bukan pula Muhammadiyah. Di dinding pondok pesantren yang Nasih bangun, tergantung potret pendiri NU dan Muhammadiyah: K.H. Hasyim Asy`ari dan K. H. Ahmad Dahlan.

Dengan gelar politiknya, Nasih nekat mengambil langkah guna membangun sebuah pondok yang notabene haruslah diasuh seorang kyai. Bahkan dia adalah satu-satunya doktor ilmu politik yang hafal al-Qur`an 30 juz. Kurang `berbeda` apalagi dia?

Memang menjadi suatu hal yang janggal apabila sebuah pondok, terutama pondok hafalan al-Qur`an, mempunyai seorang “Abah” justru berlatar pendidikan ilmu politik. Bagaimana mungkin seorang doktor ilmu politik bisa mengasuh pondok pesantren. Apa gunanya politik untuk agama?

Akan tetapi, Nasih telah memikirkan ini jauh-jauh hari. Tujuan dibangunnya pondok pun bukan hanya untuk menghafalkan al-qur`an. Sistem perkaderan yang diusung adalah buah pemikirannya yang ingin mengubah Indonesia agar menjadi lebih baik lagi. Tiap santrinya harus bisa menjadi pemimpin. Tentulah pemimpin yang berkualitas, bukan asal modal otak picik. Dengan menjadi pemimpin dan memiliki jiwa memimpin, peluang memasuki dunia politik akan semakin besar. Bukan tak mungkin Indonesia yang membutuhkan sosok cerdas dan alim akan kian maju.

Yang ironis, orang Indonesia tidak suka pada kejujuran. Masyarakat Indonesia akan lebih respek pada orang munafik yang berdalih bahwa dia tidak suka kekuasaan dan politik.

Orang Indonesia itu orang-orang yang hipokrit alias munafik. Inilah salah satu ciri orang Indonesia menurut Mochtar Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia. Sementara itu, Mohammad Nasih tidak punya waktu untuk hal yang tidak berguna dengan bertindak munafik. Dia secara terang-terangan mengatakan bahwa dia mengingingkan kekuasaan pada anak ideologisnya. Pendidikan pondok ini pun diorientasikan untuk kekuasaan. Seperti tercantum pada Mars Monash Institue (“Siap memimpin negeri”) dan triloginya: ilmu al-‘ulama, amwaalu al-agniya, dan siyasatu al-muluk wa al-mala.

Berpedoman trilogi itu, untuk mencapai kekuasaan, Mohammad Nasih berupaya membuat anak-anaknya tidak hanya hafal al-qur`an, tapi juga paham maknanya. Menurut dia, orang yang menghafalkan al-qur`an tanpa paham arti dan mengetahui kedudukan tiap kosakata akan sulit dalam proses penghafalan juga cenderung mudah lupa.

Bukan cuma tahfidh. Berbeda dari pondok pada umumnya, rumah perkaderannya memberikan pelatihan khusus jurnalistik. Lagi-lagi, Nasih membuat gebrakan baru. Hal ini menjadi satu hal yang wagu. Ketidaksinkronan antara tahfidh dan kepenulisan. Buat apa jurnalistik? Bukankah sekadar tahu a ba ta tsa pun sudah cukup untuk menghafal al-Qur`an?

Alasan utamanya tidak lain untuk memudahkan proses menghafal. Dengan i`robu al-Qur`an, santri tahu kedudukan tiap kata. Dan dengan ‘rasa bahasa’ pun, santri bisa memaknai ayat al-Qur`an dengan tepat.

Bukan hanya sebagai pengasuh pondok, ahli politik satu ini juga menjadi dosen beberapa universitas di Jakarta. Bagaimana Nasih bisa melakukan itu? Sementara keluarganya menetap di Semarang. Terkadang pula, Nasih balik ke kampung halamannya demi memastikan sistem yang didesain di Planet Nufo Rembang berjalan.

Tidak habis pikir, bagaimana seseorang rela bolak-balik Jakarta-Semarang-Rembang demi putra-putri asuhnya. Ketika orang tua punya harapan simpel agar anaknya sukses, doktor politik ini bercita-cita membuat anak-anak ideologisnya menjadi seorang pemimpin yang berkualitas.

Satu hal yang ia terapkan adalah slogan mens sana in corporesano dari bahasa Latin yang dia balik susunannya. Dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Hal ini tidak berlaku untuk Nasih. Selama dia memulai segalanya dengan pemikiran positif, dia tidak akan jatuh sakit. Semua tergantung dan berawal dari ‘mind’. Apakah seseorang memutuskan untuk terbaring tanpa daya karena selalu negative thinking ataukah bugar dengan think positive. Oleh karenanya, susunan itu pun kemudian dia balik: Dalam jiwa yang sehat, terdapat tubuh yang kuat.

Terakhir, mengutip al-Qur`an surat al-An`am ayat 116 yang memiliki arti, “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang yang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.”

Nasih beranggapan kalau umat muslim itu seperti buih. Berkerumun, tapi tak berarti. Mayoritas masyarakat Indonesia memang muslim, tapi tidak islam secara kaaffah. Justru berpotensi sesat. Menang kuantitas, jongkok di kualitas.

Sebab ironi itulah, Nasih kemudian menjadi pihak oposisi yang tak punya pengikut. Pemikirannya dianggap salah. Padahal, mungkin justru itulah kebenaran yang sesungguhnya.[*]

Oleh: Algazella Sukmasari, Disciple angkatan 2018 asal Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *