‘Ada seniman terkenal yang tidak butuh matematika untuk sukses’
‘Pelari butuh fisik yang kuat ketimbang nilai fisika untuk menjadi juara lapangan’
‘Pengusaha sukses tidak perlu pelajaran sastra untuk Kaya-raya’
‘Dan tidak butuh IPK untuk menjadi seorang Desainer terkenal’
Liburan sekolah telah usai. Para orang tua telah mendapatkan hasil belajar anak mereka selama satu semester. Ada orang tua yang bangga karena anak mereka menduduki peringkat pertama, karena hasil nilai belajar anaknya. Ada pula orang tua yang ‘agak’ merasa kecewa, karena nilai anak mereka tidak sesuai dengan harapan. Walaupun sekarang ini, sistem ranking telah dihapuskan, namun tidak sedikit orang tua yang tetap ingin tahu peringkat anaknya di kelas. Menurut mereka nilai yang bagus dan menjadi juara di kelas akan sangat membanggakan (atau akan menjadi ajang saling pamer anak) serta akan menjamin kesuksesan mereka kelak. Benarkah?
Sekarang ini banyak sekolah-sekolah mulai menggencarkan pemahaman kepada orang tua tentang pengahapusan sistem perangkingan, seperti Islam Al-Bina Masohi, Kabupaten Maluku Tengah. Mereka mengumpulkan para orang tua untuk memberikan edukasi dan membesarkan hati jika anaknya tidak mendapatkan nilai yang memuaskan. Sebenarnya sistem ini sudah di dilakukan pemerintah dengan menghapuskan sistem perankingan, namun tak banyak orang tua yang masih menanyakannya.
Banyak orang yang mencoba definisi arti kecerdasan. Menurut Steven J. Gould, kecerdasan adalah kapasistas mental yang meliputi kemampuan untuk memberikan alasan, membuat rencana, memecahkan masalah, berpikir abstrak, mengahadapi ide yang kompleks, dan dapat diukur oleh sebuah tes IQ. Sedangkan menurut David Wechsler, intelegensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional, sehingga tidak dapat diamati secara langsung melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan yang nyata.
Multiple Intelligences’ (Kecerdasan Mejemuk)
Ialah teori Howard Gardner dari Universitas Harvard (1983) dalam karyanya ‘Intelligence Reframed: Multiple Intelligences’ yang membagi kecerdasan menjadi 9 bentuk. Gardner memandang bahwa kecerdasan tidak hanya berdasarkan skor standar penilaian kecerdasan namun juga kemampuan manusia untuk memecahkan sebuah permasalahan dalam kehidupan. Kecerdasan tidak harus selalu tentang kemampuan linguistik maupun logika seperti yang kita ketahui saat ini ( dan menjadi standar kelulusan siswa ). Sembilan teori tersebut ialah pertama, kecerdasan Logika-matematika yang mampu dalam menalar dan menghitung. Menyukai konsep teka-teki dan bermain dengan logika. Kedua, Linguistik. Kemampuan yang termasuk di dalamnya cara berfikir dan bahasa, dan mengolah kata-kata secara efektif. Ketiga, kecerdasan Interpersonal, yaitu memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain dan suka pergaulan yang luas.
Keempat, kemampuan dalam memahami diri sendiri dengan bijaksana, intuisi, serta dapat memotivasi diri sendiri disebut dengan kecerdasan Intrapersonal. Kelima, kecerdasan musik yang memiliki keterampilan dalam membedakan nada, ritme maupun timbre. Yang tidak hanya musik namun juga menggunakannya untuk lebih peka terhadap suara-suara di lingkungan dan biasanya mereka dapat belajar dengan musik maupun suka membaca dengan suara keras. Keenam, kecerdasan kinestetik-jasmani, kemampuan menggunakan tubuh secara efektif dan suka bergerak. Suka berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan belajar akan lebih maksimal jika menggunakan aktifitas fisik.
Ketujuh, mereka yang suka akan menggambar, atau mempelajari akan sangat efektif jika menggunakan gambar maupun alat peraga yang dapat dilihat secara langsung, mereka disebut dengan kecerdasan Visual-Spasial. Kedelapan yaitu kecerdasan naturalis. Dimana manusia akan peka terhadap alam, menyayangi hewan, dan suka akan tumbuh-tumbuhan. Dan terakhir adalah kecerdasan eksistensial. Yang lebih peka terhadap asal usul, arti hidup dan mati. Mereka ini memiliki potensi sebagai filsuf maupun pemuka agama.
Kecerdasan di atas biasa disebut dengan kecerdasan majemuk. Jadi, setiap anak akan memiliki beberapa kecerdasan yang berbeda dengan teman-temannya misalnya anak yang memiliki kecerdasan linguistik juga memiliki kecerdasan spasial dan interpersonal. Namun memiliki kelemahan dalam bidang logika-matematika. Sehingga kecerdasan anak tidak hanya dapat diukur dari sebuah satu tes tertentu saja. Seperti tes IQ yang dibuat untuk menunjukkan kecerdasan seseorang. Sehingga orang dengan IQ tinggi akan disebut cerdas sedangkan pada skor bawah tertentu akan disebut bodoh.
Bunda, Anak Anda Cerdas
Kesempatan menjadi ‘pintar’ kadang di kekang dengan adanya standar penilaian yang dibuat oleh sistem. Apabila seorang anak tidak mencapai standar tersebut maka orang tua akan kebingungan untuk memberikan les tambahan maupun menuntut anaknya untuk lebih giat belajar dan kadang tidak sungkan untuk memotong jam istirahat maupun bermain mereka. Padahal hampir setengah hari mereka berada disekolah. Beberapa standar nilai akan menguntungkan bagi bagi anak-anak yang memiliki kecerdasan tersebut. Seperti ketika ada tes matematika, anak yang memiliki kecerdasan matematika akan sangat senang mengerjakannya, namun anak yang kurang dalam kecerdasan tersebut akan mendapat masalah. Atau anak yang suka membuat puisi maupun menulis (kecerdasan linguistik) akan mendapatkan skor tinggi sedangkan yang minim kecerdasan tersebut akan merasa kesulitan.
Perlu diketahui oleh para orang tua maupun calon orang tua, kecerdasan majemuk bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mendidik dan memahami bakat anak-anak. Kecerdasan yang tidak hanya unggul dalam satu bidang saja, namun pada bidang bidang lain. Sehingga tidak mematikan potensi anak tersebut. Misal saja, anak yang mungkin kurang dalam hal pelajaran tertentu namun memiliki kemampuan dibidang kisnestetik tentu akan unggul dalam bidang olahraga. Namun apakah anak tersebut dapat dibilang gagal karena tidak mampu meraih juara dikelas? Masih banyak orang yang berfikir bahwa nilai akan pasti memberikan kesuksesan dimasa depan. Padahal sudah banyak penelitian maupun contoh disekitar kita bahwa banyak orang sukses dalam bidangnya tanpa memperdulikan nilai disekolah.
Contoh Anne Avantie, seorang desainer terkenal di Indonesia. Karyanya sudah dipakai oleh banyak kalangan artis, para pejabat hingga Miss Universe. Semenjak SD ia sudah menunjukkan ketertarikan dalam bidang fesyen dengan membuat gambar-gambar baju, hingga membuat pita-pita lucu yang kemudian dijual kepada teman-temannya. Walaupun hanya lulusan SMP tidak menyurutkan cita-citanya menjadi desainer terkenal hingga ia membuka butiknya sendiri pada tahun 1989.
Di atas hanyalah contoh untuk orang tua agar membesarkan hati anak jika tidak mendapat peringkat seperti temannya. Bukan berarti pendidikan tidak penting. Namun, tanamkan kepercayaan diri bahwa mereka juga hebat dalam bidang mereka. Janganlah sesekali memarahi anak apalagi sampai membandingkan anak karena kemampuan mereka. Karena kita hanya akan menyakiti hati mereka dan menjadikan anak pribadi yang tidak percaya diri.
Dalam hal ini kecerdasan majemuk juga bisa digunakan orang tua untuk mengatur cara belajar anak dengan tepat. Misal anak dengan kecerdasan interpersonal akan lebih memahami pelajaran dengan cara belajar berkelompok, berdiskusi maupun debat. Juga seperti kecerdasan spasial yang mana pelajaran akan mudah diserap dengan adanya gambar, peta pemikiran maupun alat peraga. Di sini kemampuan orang tua maupun guru juga diuji untuk memahami dan menemukan bakat serta karakter setiap anak mereka. Jadi, tidak usah risau jika anak tidak mencapai atau gagal dalam hal tertentu. Orang tua hanya perlu menguatkan menghargai dan menyemangati dengan proses yang telah dilakukan anak. Di samping menemukan bakat dan karakter apa yang ada pada diri setiap anak.