Saat membaca Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi (Penerbit Mizan, 1991) yang berisi kumpulan tulisan Kuntowijoyo, pertanyaan ini terus berseliweran dalam pikiran: “Bagaimana jika Ilmu Sosial Profetik (ISP) Kuntowijoyo dibenturkan dengan Marxisme Karl Marx?”. Saat artikel ini ditulis, merupakan kali pertama saya membaca tulisan beliau yang bertajuk “Visi Teologis Islam dan Peradaban Modern, dan Cita-Cita Transformasi Islam”, tepatnya disajikan saat perjumpaan awal saya dengan kawan-kawan di Kelas Mutafakkirun, forum yang dibentuk oleh Gus Fayyadl.
Sekilas tentang Kelas Mutafakkirun, forum diskusi yang dinisiasi oleh Gus Fayyadl ini dulunya (sebelum vakum) bernama ‘Arsiteks’. Kini, dirubah dengan nama Mutafakkirun, diambil dari bahasa Arab, artinya “orang-orang yang berusaha berpikir keras.” Komunitas ini dibentuk untuk membudayakan tradisi membaca, menulis dan mendiskusikan teks dengan tiga tema fokus pembahasan: peradaban, ke-Islaman, dan ke-Indonesiaan.
Oleh Gus Fayyadl, mereka diberikan tugas untuk menelaah dua tulisan Kuntowijoyo dalam bukunya (telah disebutkan di awal): Visi Teologis Islam dan Peradaban Modern, dan Cita-Cita Transformasi Islam. Forum tersebut sekaligus menjadi pertemuan awal saya dengan magnum opus-nya Kuntowijoyo, yaitu Ilmu Sosial Profetik dan transformasi Islam sebagai ilmu.
Sebelumnya, saya sering bergelut dengan Marxisme melalui beberapa buku dan artikel, salah satu yang saya sukai adalah karya Franz Magnis-Suseno: Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), dengan penjelasan yang runtut dan maju saya dapat memahami dengan mudah Materialisme Dialektis dan Historis Marx.
Kritik ISP atas Marxisme
Setelah menelaah keduanya (Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo dan Marxisme Marx), saya menyimpulkan bahwa ISP Kuntowijoyo merupakan Marxisme dalam Islam. ISP adalah kebalikan dari Marxisme. Marxisme menawarkan paradigma baru dengan kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstructure (kesadaran) dengan menyatakan bahwa structre menentukan superstructure.
Berbanding terbalik dengan Marxisme, ISP meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis material (structure). Artinya kesadaranlah yang menentukan materi, kesadaran akan diri dan Tuhan-lah yang menentukan “keberadaan” hal lain di luar diri dan Tuhan-nya.
Tinjauan dari fakta empiris (sosial), marxisme menjelaskan bahwa hidup utamanya berjuang untuk meraih basis materi (structure), mudahnya, yang penting ekonomi selesai maka kesadaran akan selesai. Sedangkan ISP menjelaskan bahwa keharusan awal dalam hidup adalah mengolah diri di level kesadaran (dalam hal ini Kuntowijoyo membagi menjadi tiga level: mitos, ideologi, dan ilmu) sehingga menyikapi materi tergantung dari level kesadaran yang telah dibentuk.
Sebagai contoh, banyak orang yang tertindas secara ekonomi tapi mereka merasa jaya, kejayaan itu dilahirkan oleh kesadarannya – meskipun oleh Marx disebut sebagai sublimasi. Faktanya, tak jarang orang miskin yang berbahagia. Di sisi lain, orang dengan ekonomi banyak, masih tak sedikit yang merasa galau.
Oleh sebabnya, Kuntowijoyo dalam Ilmu Sosial Profetik mengarahkan bahwa dalam hidup yang paling utama harus dilakukan adalah mengolah kesadaran. Pengolahan kesadaran tersebut melalui beberapa tahap: Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi.
Humanisasi
Tahap awal ini sangat penting dilakukan untuk mengobati kondisi masyarakat saat ini yang sedang berada dalam tiga keadaan akut, yaitu dehumanisasi (objektivitas teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi dan individuasi).
Dalam bukunya Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Kuntowijoyo menyebut Islam adalah sebuah humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral (hal. 167). Kuntowijoyo mengusulkan teori Humanisme Teosentris sebagai ganti Humanisme Antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia.
Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas, melainkan transedensi. Oleh sebabnya, humanisasi ini sangat diperlukan.
Liberasi
Menuju Humanisme Teosentris perlu dengan cara membebaskan diri atau liberasi dari kekejaman, kemiskinan, pemerasan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.
Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos. Contohnya, sebagaimana orang beragama tanpa amal (kegiatannya hanya berdoa) adalah hidup tanpa logos dan hanya bersandar pada mitos.
Dalam hal ini, liberasi menyasar beberapa variable yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia, yaitu sistem pengetahuan, sosial, ekonomi dan politik.
Transendensi
Humanisasi dan liberasi dapat dilakukan dengan dasar mentransendensikan diri. Transendensi berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia (tujuan humanisasi dan liberasi). Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat dan teknik, namun karena kekurangan maksud arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan.
Dalam hal ini, transendensi berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dari manusia, bukan pada kehancurannya. Dengan ini pula, masyarakat akan dibebaskan dari belenggu kesadaran materialistik – di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya – menuju kesadaran transendental.
Melalui pengolahan tahap kesadaran (Humanisasi, Liberasi dan Transendensi) dalam Ilmu Sosial Profetik, manusia dapat menjadi umat yang digdaya sehingga visi nilai nilai keislaman bisa diangkat ke level objektif dan universal. ISP juga dijelaskan oleh Firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imron Ayat 110:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Jika diejawantahkan maka, Amar Ma’ruf berarti Humanisasi, Nahi Munkar adalah Liberasi, dan Tu’minu Billah merupakan Transendensi. Tahapan komplit untuk membentuk kesadaran diri dalam paradigma baru Kuntowijoyo: Ilmu Sosial Profetik.